Menurut Jasra, sekolah perlu di perkenalkan berbagai kebijakan SafeChild Guarding (Kebijakan Perlindungan Anak) agar dapat melakukan secara mandiri bersama komunitas belajarnya dalam mendukung keamanan anak selama proses penyelenggaraan pendidikan. Seperti tidak membiarkan anak hanya bersama guru sendirian dalam waktu pelajaran yang panjang, dan selama 10 tahun.
Begitu juga berbagai nama program peningkatan kompetensi guru yang memberi insentif, juga menuntut asesment lanjutan lebih dalam kondisi para guru, karena punya tujuan kepada kualitas SDM guru. Seperti pelaku AS yang memiliki permasalahan dalam melaksanakan pengajaran dan masalah rumah tangga, sama sekali tidak terdeteksi secara SOP ataupun sistem. Agar aspek kerentanan bisa diantisipasi dalam rencana rencana sekolah dalam durasi panjang 10 tahun mencegah kejahatan seksual.
“Sepertinya sekolah harus memilki sensitifitas kepada para korban, belajar dari kondisi TKP, yang membuat pelaku leluasa selama 10 tahun melakukan kejahatan seksual kepada anak anaknya. Agar tidak terulang,” jelasnya.
Ia mengatakan, dengan Kepolisian menerima laporan dari masyarakat, tapi tidak langsung dari anak anak yang menjadi korban, juga menandakan pentingnya sekolah memiliki tempat yang aman, nyaman, terpercaya untuk anak melapor. Tim penanggulangan kekerasan sebagaimana mandat Permendikbud 82 penting menjalankan tugasnya. Agar anak anak sejak dini tahu kemana harus melapor, memiliki figur yang di percaya untuk melapor, ataupun ada tempat yang di rasa anak aman dan nyaman untuk melapor.
Melalui Jasra Putra, KPAI mengingatkan, pentingnya payung satu atap dalam gugus tugas penanganan anak korban kejahatan seksual. Karena dari pengalaman, pelaku oknum guru bisa melakukan perbuatan kejahatan seksual yang sama di sekolah lainnya. Begitupun para korban, yang pindah sekolah, namun berpotensi menjadi korban lagi. Akibat pelaku masih bisa melakukan di lembaga pendidikan lainnya.
Dari peristiwa para korban kejahatan seksual dan para penyintas, kata Jasra, bahwa hukuman mati akibat kejahatan seksual, telah dijalani dengan bunuh diri oleh para korban sejak lama, sedangkan hukuman pelaku seumur hidup. Artinya kejahatan seksual memberi daya rusak luar biasa kepada kejiwaan para korban, sampai memilih bunuh diri karena gangguan panjang yang menghantui selama hidup.
Lebih jauh Jasra mengatakan, sebelumnya ada pro-kontra tentang hukuman mati untuk pelaku kejahatan seksual. Namun kita juga apresiasi tuntutan hukuman seumur hidup untuk para pelaku kejahatan seksual, yang menandakan pelaku akan menjalani masa pidana hukuman selama hidupnya melalui program program di lembaga pemasyarakatan.
“Namun di sisi lain, kita masih di hadapi dengan penanganan para korban yang penanganannya terlalu pendek, durasinya tidak sampai setahun. Artinya penanganan korban juga menuntut pengawasan jangka panjang, karena sewaktu waktu kondisi korban yang sangat membutuhkan perhatian.” tutup Jasra
Sumber: KPAI






