Idul Fitri dalam Terang Bahasa Baru (Ketika Momentum Idul Fitri dan Hari Kenaikan Tuhan Yesus Bersanding)

Ket. Foto: P. Kons Beo, SVD/ Dok. Pribadi

Bukankah bangsa Indonesia telah terluka dan merasa asing di tanah air sendiri oleh karena bahasa lama yang telah dimainkan? Distorsi relasi tak terhindarkan. Polarasi sempit dalam berbagai sisi kehidupan menjadi perjuangan yang sungguh menggelikan. Kita mudah jatuh dan terisap oleh rawa-rawa hoaks, strategi palsu, atau gerak-gerik penuh tipu daya. Kita tampaknya tidak sehat akal untuk sadar akan bahasa-bahasa lama berciri maut. Itulah bahasa yang sungguh merusakkan dan bahkan mematikan.

Di hari Kenaikan Tuhan Yesus ke surga, umat Kristen diingatkan bahwa hanya Tuhan yang berkuasa dalam kebadian. Injil Markus lukiskan, bahwa “Yesus Tuhan, yang telah naik ke surga, kini duduk di samping kanan Allah” (cf Markus 16:19). Sungguh, hidup manusia adalah kesementaraan belaka. Pada saatnya semuanya kembali ke Yang Maha Kuasa; kembali kepada ‘kekudusan yang mutlak. Pulang kepada ‘Kesucian yang abadi.

Tetapi, kesementaraan hidup tentu bukannya tanpa makna. Setiap kita bertarung untuk memberikan pengartian penuh makna dalam setiap etape ziarah kehidupan ini. Tentu, perjuangan menuju hidup yang baik menuntut kehendak yang baik serta kekuatan untuk bertarung. Saat menjadi jauh oleh kegelapan hidup, maka seruan untuk ‘kembali suci adalah harapan.

Jika Idul Fitri adalah sebuah peragaan jihad, maka bahasa baru yang dipakai adalah perangilah dan tumpaslah! Mari kita renungkan kata-kata Abu Hamid Al Ghazalih:

“Menyatakan Jihad pada dua belas musuh Anda yang tak terlihat, yaitu egois, arogansi, kesombongan, keegoisan, keserakahan, nafsu, intoleransi, kemarahan, berbohong, mengakali, bergosip dan memfitnah. Jika Anda dapat menguasai dan menghancurkan mereka, maka Anda akan siap melawan musuh yang Anda lihat…”

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H dan Hari Raya Kenaikan Tuhan.

Desa Haju