Mantovanny Tapung: 15-20% Media Sosial Berdampak Patologis di Manggarai Raya

Dengan memberdayakan keterampilan berpikir kritis ini, jelas Mantovanny, seseorang bisa membedakan mana informasi yang baik dan benar, mana yang tidak baik dan tidak benar.

Dalam hal ini menurut Mantovanny, berpikir kritis ketika bermedia sosial dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan mengapa dan untuk apa bermedia sosial, apakah ada manfaatnya bagi pengembangan hidupnya, dan sejauh mana media tersebut berdampak positif bagi masa depannya.

Menurutnya, berbagai pertanyaannya ini merupakan bagian dari tahapan awal berpikir kritis sebelum masuk pada hal yang lebih dalam tentang rangkaian tahapan berpikir kritis, seperti membuat analisa, membuat dalil atau argumentasi, membuat evaluasi, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

Mantovanny, penulis disertasi berjudul Model Emancipatory Learning (Juergen Habermas) mengatakan, untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis (EL-KBK) Siswa SMP dalam menangani permasalahan sosial pada pembelajaran IPS (Studi Pengembangan pada SMP/MTs di Kota Ruteng), selain sebagai salah satu keterampilan yang harus diberdayakan pada abad 21 ini, namun yang lebih penting, keterampilan berpikir kritis menjadi sangat penting di tengah masif penetrasi digital pada masyarakat dunia saat ini.

“Bayangkan saja, dari 7,6 miliar penduduk dunia ada 4 miliar yang  bisa mengakses internet (3,2 miliar  adalah milenial/orang muda); 57%  (143,3 juta) penduduk Indonesia sudah terkoneksi internet.  34,45% (90 juta) adalah milenial/orang muda,” jelasnya.

Menurut Mantovanny, rata-rata orang Indonesia habiskan 3-4 jam sehari untuk  mengakses media sosial (Kompas, 20/09/2018).

“Sehingga jangan heran, Prensky (pakar media digital) menyebut generasi zaman now/generasi ‘Z’ sebagai generasi ‘digital sejak lahir’ (born digital) atau ‘generasi yang fasih berjejaring’ (net savvy),” ungkapnya

Mantovanny mengatakan, mengutip data BPS Statistik Pemuda 2018, sebanyak 88,35% orang Indonesia berselancar di internet untuk bermedia sosial (facebook, twitter, instagram, dll). Sedangkan 75,02% untuk sekedar mendapat informasi atau berita.

Sementara di Manggarai, jelas Mantovanny, hasil penelitian dosen Unika St. Paulus Ruteng, Redy Jaya & Edu (2018), Penetrasi Digital untuk orang muda Manggarai sebesar 83%; tingkat kepercayaan kepada media digital hingga 86%. Dan 78% mengakses internet untuk kepentingan bermedia sosial. Bahkan temuan penelitian dua dosen ini, 69% orang muda Manggarai langsung membagikan informasi dari medsos, tanpa melakukan analisis kritis terkait kebenaran.

“Cukup banyak yang mengabaikan perbedaan informasi yang diakses, dan kurang kritis dan selektif dalam melihat kualitas dan kredibilitas sumber, terjebak menyimpulkan berita dari judul saja (click bait), dan begitu cepat menelan berita-berita bernarasi palsu (fake news) , informasi-informasi palsu (hoax) dan berita yang dibuat-buat tidak sesuai fakta atau konteks (fabricated news),” ungkap Mantovanny

Lebih jauh mantovanny menjelaskan, ancaman paling besar dalam bermedia sosial adalah terjebak dengan hoaks. Hasil penelitian MASTEL (2017) dalam hoaks, terdapat unsur seperti: berita bohong yang disengaja (90,3%), berita yang menghasut (61,6%), berita yang  tidak akurat (59%), berita ramalan (14%), dan berita yang menyudutkan (12,6%), dan produksi kepalsuan diulang-ulang yang kemudian dianggap sebagai sebuah kebenaran (post truth).

Selain Mantovanny, webinar yang diikuti oleh sebagian besar kalangan mahasiswa, pelajar  dan orang muda ini, hadir pula pembicara lain seperti: Ahmad Afandi (Key Opinion Leader), Adinda Atika (Businnes Development Manager Fintech Tunai Kita), Sofia Sari Dewi (Designer, pengiat social media & socialpreneur), Inosensius Sutam (Ketua Komisi Budaya dan Pariwisitas Keuskupan Ruteng), dan Yulian Noor (moderator).

Desa Haju