Menyoal Fungsi Otoritatif BPOLBF

Dengan demikian, pengembangan industri pariwisata itu tidak semata-mata berkonsentrasi di kawasan Labuan Bajo, tetapi juga terdistribusi hingga ke seluruh wilayah koordinasi BOPLBF di Flores dan Kabupaten Bima di NTB.

Secara teoretis-normatif pihak BPOLBF begitu optimis bahwa tidak akan ada benturan dan tabrakan antara keberadaan BOPLBF dengan Pemerintah Kabupaten dalam kerangka otonomi daerah sebab BPOLBF tampil luntuk memperkuat fungsi koordinasi, sehingga menjamin eksistensi kehadiran dan peran dari seluruh dinas atau lembaga yang sudah ada khususnya yang mengurusi kepariwisataan.

Terkait fungsi otoritatif, BOPLBF mempunyai kewenangan (otoritas) untuk menciptakan destinasi baru (Hand Made Destination) di kawasan yang dikuasai oleh Negara. Dalam Perpres itu dijelaskan bahwa BPOLBF akan mengelola lahan seluas 400 hektar di kawasan hutan Bowosie-Nggorang.

Untuk memuluskan agenda ‘penguasaan itu’, regulasi formal diutak-atik agar status perolehan dan kepemilikan lahan itu bersifat legal. Dibuatlah peraturan baru bahwa kawasan Hutan Lindung itu akan dikonversi menjadi area bukan hutan yang untuk selanjutnya menjadi area bisnis pariwisata. Status rencana lahan otoritatif tersebut bergantung pada proses verifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sudah bisa ditebak bahwa hasil verifikasi KLHK tentu saja sejalan dengan ‘ide besar Negara’ untuk memperlancar proses alih fungsi atas lahan itu.

Karena bagaimana pun juga, pembangunan yang dilakukan BOPLBF hanya bisa dilakukan di atas kawasan lahan otoritatif, sebab fungsi paling utama yang dimiliki BOPLBF adalah fungsi koordinatif. BOPLBF tidak punya kewenangan membangun apapun di luar kawasan otoritatif.

Narasi yang dibangun selama ini adalah BOPLBF merupakan salah satu elemen untuk memperkuat pemerintah daerah (Pemda) dalam menata sektor pariwisata. Negara menilai bahwa Pemda tak mampu untuk mengelola industri pariwisata secara progresif dan akseleratif.

Sering juga dikemukakan bahwa kehadiran BOPLBF bukan untuk menggantikan peran pemerintah daerah, namun salah satunya untuk melakukan pemberdayaan dan penguatan kapasitas pemerintah daerah dan ini harus menjadi domain BOPLBF.

Untuk itu, selau ada seruan politis agar perlu dilakukan pertemuan-pertemuan lebih lanjut antara DPRD, BOPLBF, bersama Pemda untuk lebih mendalami manfaat keberadaan BOPLBF, khususnya bagi masyarakat Manggarai Barat secara keseluruhan.

Catatan Kritis
Selalu ada diskrepansi antara konsep normatif dengan tahap implementasinya. Kendati terkesan ‘mulia’ pada tataran idealisme, penjabaran fungsi koordinatif dan otoritatif dari BOPLBF sering menimbulkan problem yang serius.

Pertama, proses kelahiran lembaga politik ini, tidak melalui persalinan yang demokratis. Perpres No 32 tahun 2018 yang membidani kelahirannya, hanya berdasarkan ‘hasil imajinasi politis Jakarta’, bukan berdasar pada serapan aspirasi politis rakyat Mabar khususnya dan Flores umumnya. Negara yang terjelma seutuhnya dalam diri Presiden Joko Widodo bermimpi soal akselerasi pembangunan Pariwisata di Mabar agar secepatnya menyamai dan bahkan melebihi Bali.

Desa Haju