Paradoks ANBK di Manggarai NTT

Ironis dan miris tentunya tindakan sang guru dan murid. Tapi apa mau dikata, niat tidak mau ketinggalan dan “ketakutan” di tengah keterbelakangan fasilitas sebagai penyebabnya.

Bagi sang guru aksinya bersama muridnya menunjukkan dia sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang rela berkorban untuk anak-anak didiknya, juga bangsa dan negara.

Tetapi tindakan tersebut juga merupakan kritikan-sinis terhadap pemerintah yang “memaksakan sebuah kebijakan” tanpa menghadirkan fasilitas penunjang.

Haruskah ANBK Diterapkan?

Aksi sang guru dan murid memburu signal yang diviralkan itu menyentil Kementerian Komunikasi dan Informasi. Karena kementerian tersebutlah yang bertanggung jawab langsung terhadap teknologi informasi, penunjang ANBK.

Tapi kita juga perlu memahami dengan baik apa itu ANBK yang menjadi tanggung jawab kementerian pendidikan.

Assesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) adalah program penilaian terhadap mutu setiap satuan sekolah dasar hingga menengah. Penilaian tersebut melalui komputer sebagai basis instrumennya.

Mutu satuan pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar murid yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Melalui komputer atau teknologi informasi berbagai informasi tersebut diperoleh dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.

Assesmen Nasional memberi gambaran tentang karakteristik esensial sebuah satuan pendidikan yang efektif untuk mencapai pendidikan yang bermutu. Melalui sistem ini Dinas Pendidikan dapat memfokuskan sumber daya pada perbaikan mutu pembelajaran.

Pertanyaannya, apakah tanpa komputer assesmen atau penilaian itu tidak bisa dilakukan? Perlu digarisbawahi komputer bukanlah esensi dari penilaian tetapi komputer hanyalah instrumen untuk mempermudah assesmen.

Karena ini berupa penilaian maka assesmen ini tidak seharusnya berbasis komputer yang terkoneksi internet. Khususnya bagi sekolah-sekolah yang fasilitasnya terbatas.

Dinas Pendidikan bisa turun ke lapangan untuk mengambil data lalu diinputkannya melalui komputer yang lengkap di lembaganya.

Assesmen berbasis komputer hanya untuk mempermudah Dinas Pendidikan, Kementerian terkait dalam mengakses data, memberikan penilaian, dan membuat pemetaan. Tetapi yang mengalami kesulitan adalah sekolah-sekolah yang minim fasilitas penunjang.

Kalau kita mengkaji lebih jauh dari assesmen tersebut ada dua kelemahan dasar bila dipaksakan pada sekolah-sekolah yang minim fasilitasnya. Pertama kelemahan unsur obyektivitas penilaian. Kementerian pendidikan  tidaka dapat memastikan  apakah data  informasi yang diperoleh sesuai dengan kenyataan di lapangan. Unsur subyektivitas pengimput data sanagat berperan. Syukur kalau tidak ada manipulasi data.

Kalau orang tidak obyektif mengimput datanya bagaimana pemerintah dapat memetakan secara baik tentang mutu pendidikan di Indonesia dan pada akhirnya melahirkan kebijakan yang salah juga.

Kedua, data yang terkirim tidak tersubmit. Hal itu disebabkan oleh jaringan internet dan juga kelemahan atau kekeliruan dari subyek yang mengirimkan data. Hal ini tentunya sangat bermasalah bagi sekolah-sekolah yang fasilitas dan SDM-nya terbatas, salah satunya adalah di Manggarai NTT yang tengah viral.

Desa Haju