Politik Jalan Keluar

Politik
Foto: Ferdiano Sutarto Parman/Dokpri

Penulis: Ferdiano Sutarto Parman
Warga Lembor Selatan-Manggarai Barat

Opini – Sekarang, rakyat dijajah banyak masalah. Pangan mahal, lapangan kerja susah, pengangguran tinggi. Saat bersamaan, pendapatan terbatas, sementara pengeluaran rumah tangga semakin bertambah. Situasi itu membuat rakyat tertekan dan sulit begerak. Tak banyak pilihan selain melawan keadaan untuk sekedar bertahan hidup.

Memasuki fase pemulihan ekonomi, hidup rakyat tak banyak berubah. Kebanyakan masih hidup susah. Meski didorong sejumlah paket subsidi pemerintah, tapi ekonomi rakyat belum banyak tertolong. Banyak usaha mikro dan kecil masih lesu setelah dihajar pandemi covid 19 selama setahun lebih.

Data BPS menunjukan, terdapat 11,53 juta orang penduduk usia kerja yang terdampak Covid 19, terdiri dari: pengangguran 0,96 juta orang, Bukan Angkatan Kerja (BAK) 0,55 juta orang. Sementara, tidak bekerja 0,58 juta orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja 9,44 juta orang.

Pada saat yang sama, pengangguran terbuka pada Februari 2022 masih tinggi. Tercatat ada 8,40 juta orang atau 5,83 persen turun 0,43 persen atau 350 ribu orang dibandingkan Februari 2021. Pada saat yang sama, ada peningkatan jumlah angkatan kerja sebanyak 144,01 juta orang atau naik 4,20 juta orang dibandingkan bulan yang sama pada 2021.

Jalan keluar

Sengkarut di atas tak cukup dibahas, tapi lebih dari itu harus diatasi. Karena itu, waktunya, orang politik bicara jalan keluar. Jalan keluar lewat kebijakan politik. Tak boleh lagi bahas masalah apalagi basi-basi untuk menghibur rakyat. Rakyat tak butuh itu. Rakyat ingin dituntun dari jurang masalah ke jalan keluar menuju hidup layak dan sejahtera.

Untuk itu, perlu pemimpin yang paham masalah, sebab jalan keluar itu dirancang berdasarkan kondisi nyata rakyat. Karenanya, pikiran pemimpin tak boleh mengawang-awang tapi mendarat di atas konteks hidup rakyat. Dengan demikian, harapan rakyat dapat dirangkai sehingga mereka tak putus asa.

Poinnya, otak pemimpin utamanya berpikir jalan keluar. Tak boleh berputar-putar di sekitar masalah apalagi dikuasai masalah. Sebab jika demikian, pemimpin bisa tersesat menuju jalan keluar. Sebaliknya, dia harus mengontrol masalah agar tak bergerak liar dan membuat situasi makin tak terkendali.

Tentu saja otak bagus tak cukup. Perlu keberanian mengambil keputusan sekalipun resikonya besar. Mampu membuat terobosan dan inovasi. Hal itu dicapai kalau pemimpin optimis dan melihat jauh ke depan. Bukan orang pesimis dan selalu menggerutu. Pemimpin optimis itu lihai melihat peluang dari masalah, lalu memanfaat peluang itu dengan sumber daya yang ada. Sebaliknya, pemimpin pesimis tak melihat peluang dari masalah sehingga malas mencari jalan keluar.

Memang jadi pemimpin itu berat, apalagi pemimpin yang memberi jalan keluar. Tak semua orang bisa. Perlu orang khusus yang sudah melewati proses dan ditempa melalui banyak tantangan. Karena itu, jadi pemimpin itu tak boleh coba-coba, apalagi hanya modal nekat sebab ditanganya nasib rakyat banyak ditentukan.

Geser standar

Lahirnya pemimpin jalan keluar mutlak butuh dukungan rakyat. Caranya, standar rakyat memilih pemimpin mesti bergeser dari sekedar sederhana dan dekat dengan rakyat menuju ke pemberi jalan keluar. Sebab sifat sederhana hanya akan membuat pemimpin berwibawa dan dicintai rakyat. Sementara, untuk menyelesaikan masalah rakyat, perlu pemimpin yang berani ambil keputusan. Sebab yang dipertaruhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan itu adalah nasib rakyat, bukan citra dan kepentingan pribadi sang pemimpin.

Ciri pemimpin jalan keluar itu dapat dilihat dari rekam jejaknya. Dari rekam jejak, tergambar pengalaman dan sepak terjang calon pemimpin. Dari situ juga, kita bisa tahu sifat asli sang calon pemimpin. Jika calonnya bersih, berani dan inovatif maka sebaiknya dipilih untuk berkuasa. Sebaliknya, jika orangnya berwatak cengeng dan selalu menggerutu, maka calon pemimpin semacam itu tak layak dilirik apalagi dipilih.

Untuk itu, penting sekali rakyat dididik agar bisa mengenal calonnya dengan baik. Tak boleh tergoda kemasan lalu abaikan isinya. Sebab, pemimpin itu tak perlu jago pidato dan pintar berteori, tapi kaliber pemimpin diukur dari sejauhmana mahir menata gagasan, berani ambil keputusan dan handal menangani kebijakan. Itulah pemimpin efektif.

Kesadaran itu tak mungkin muncul dengan sendirinya, tapi diasah dengan gerakan nyata terutama oleh kelompok-kelompok pro perubahan. Sebab, rakyat harus dididik agar paham masalahnya sendiri sehingga waras saat memilih calon pemimpinya.

Waras itu sederhana yakni memilih dengan pertimbangan akal. Semua aspek ditimbang matang terutama rekam jejak dan integritasnya. Jadi, kalau tak pakai akal, rakyat sendiri yang akan celaka. Karena itu, rakyat perlu diajak untuk tinggalkan pragmatisme lalu beralih ke politik gagasan. Politik yang bertumpu pada akal dan berorentasi pada jalan keluar. Dengan demikian, masalah teratasi dan hidup rakyat akan sejahtera.