Potret Perjuangan Ibu Ensi dari Jual Pisang Goreng: Saya ingin mereka sekolah setinggi-tingginya

Ibu Emerensiana Yudit (dok. gardantt.id)

Sebuah gubuk di tepi Jl. Kartini Kelurahan Pau Kecamatan Langke Rembong menadah rintik hujan pada 25 November 2022 pukul 12:27. Setidaknya hawa dingin yang datang tiba-tiba mampu mengusir hawa panas sejak pagi yang membuat Ibu Emerensiana Yudit berkali-kali menyeka keringat menggunakan sehelai kain. Gubuk itu seperti menghadirkan memori yang terukir rapi pada bekas asap kompor yang menempel pada dinding seng sejak tahun 2016 silam. Berdiri kokoh, bertahan menghadapi segala bentuk perubahan cuaca demi meraup rejeki bermodal asa menjual gorengan sederhana.

Ibu Ensi terdiam menatap hujan yang semakin deras sembari menunggu minyak dalam kuali panas. Sinar matanya pasrah pada sang pencipta, mungkin hari ini sepi pelanggan. Ia kembali fokus mencelupkan tahu isi yang telah disiapkan dari rumah ke dalam toples berisi setengah adonan berbahan dasar tepung terigu. Panas kompor Hock berukuran besar begitu gampang membuat Ibu Ensi kembali menyeka keringat. Namun, ia tidak merasa terganggu ataupun mengeluh malah dengan sabar menunggu lalu membalikkan tahu isi tersebut karena dirasa sudah matang. Baru saja ia mengeluarkan tahu isi tersebut dari kuali, seorang pembeli datang memakai mantel hujan dan terburu-buru ingin membeli tahu isi itu. Si pembeli sepertinya tidak menyukai hujan dilihat dari ekspresi kesal saat hujan membasahi kakinya. Melihat tingkah pembeli seperti itu, Ibu Ensi tetap tersnyum bahkan dengan sigap membungkus pesanan tahu isi sebanyak empat biji seharga Rp. 5000.

Enu, mai emi tahu so’o ya, asi ritak.” (Nona, sini ambil tahu isi ini, jangan malu) Bujuk Ibu Ensi lembut. Kami mencoba tahu isi tersebut sekaligus penasaran juga. Gigitan pertama saja sudah terasa enaknya. Apalagi dimakan saat masih panas dan sedang hujan pula. Mungkin begini rasanya ketika sesuatu yang sederhana dibuat dengan niat yang tulus lalu memberikan rasa yang istimewa. Tentu ini bukanlah sebuah review yang semata-mata ingin meningkatkan citra penjual saja. Buktinya pembeli tadi rela menurunkann egonya melawan derasnya hujan demi membeli tahu isi.

“Saya pernah coba jual gorengan seharga 1000 untuk satu gorengan, tapi tidak ada untungnya. Karena harga minyak goreng dan tepung terigu naik. Apalagi sekarang sedang terjadi krisis minyak tanah di kota Ruteng. Jadi, saya naikkan harga, 2000 dapat satu gorengan.” jelas ibu Ensi sambil tangannya membalikan pisang goreng

Desa Haju
Editor: Adi Jaya