Sindiana Janggu
Mahasiswa Program Studi PBSI, Unika Santu Paulus Ruteng
Bulan-bulan akhir tahun merupakan kesempatan bagi perguruan tinggi-perguruan tinggi mengadakan sidang senat dengan agenda tunggal “Wisuda Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana”. Momen ini menunjukkan bahwa ada satu tahapan penyelesaian studi atau kuliah bagi mahasiswa dan dinyatakan layak untuk mendapat gelar pendidikan, seperti sarjana.
Hakikat Sarjana
Sarjana merupakan cita-cita setiap mahasiswa. Seseorang yang menyandang gelar sarjana berarti ia berada pada titik puncak perjuangan untuk dapat terjun ke kehidupan nyata dan dunia kerja. Lebih dari itu, seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “sarjana” sebagai orang yang pandai; gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi.
Pengertian di atas membangun konsep dalam benak masyarakat umum bahwa orang yang telah mendapat gelar sarjana, adalah pribadi yang hebat, yang mampu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, yang bisa berperan kapan saja dibutuhkan – tenaga siap pakai, dan lain sebagainya. Memang, realitasnya banyak yang tekah membuktikan konsep tersebut. Para pendidik di lembaga-pembaga pendidikan merupakan sarjana, para pekerja di lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta umumnya merupakan sarjana.
Perkara pintar atau pandai, Pramoedya Ananta Toer pernah berceloteh, “Kesalahan orang-orang pandai menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang bodoh adalah menganggap orang lain pandai”. Saya mengartikannya bahwa orang yang melahirkan pemikiran tentang orang lain lebih pandai dibandingkan dirinya, juga sebaliknya menganggap diri pandai dan orang lain kurang pengetahuan.
Sebenarnya, setiap orang memiliki kepandaian adalah mereka yang membangun profil diri dengan mahir dan trampil pada bidangnya. Walaupun demikian, ada pribadi yang merasa tidak percaya diri, bahkan rendah diri. Mereka menganggap bahwa orang yang telah menempuh pendidikan adalah segalanya, pandai pada segala bidang, bahkan dalam bidang yang sebenarnya mereka tidak mampu. Dari situ muncullah perbandingan-perbandingan antara diri mereka dengan orang lain. Inilah letak kesalahan pemikiran manusia. Ucapan Pramoedya Ananta Toer tersebut menjadi terbukti.
Satu sisi, persepsi menyanjung sarjana sebagai orang berpendidikan dan berkarakter sangat kental dalam kehidupan sosial manusia. Hal ini karena bagi sebagian masyarakat beranggapan bahwa yang bisa membedakan yang satu dengan yang lain dalam masyarakat adalah pendidikan. Sebab, tidak sedikit dari orang-orang berpendidikan tinggi mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan masyarakat dan terkadang juga cukup terhormat oleh sebagian masyarakat.
Sehingga ketika muncul kesalahan dari mereka yang berpendidikan itu, tercipta pula celotehan miring yang miris, seperti “percuma jadi sarjana”. Hal ini yang menjadi tantangan bagi para mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan dan lulusan perguruan tinggi. Benar kata Najwa Shihab, “Apa arti ijazah yang bertumpuk, jika kepedulian dan kepekaan tidak ikut terpupuk, apa gunanya sekolah tinggi-tinggi, jika hanya perkaya diri dan famili.”
Kata-kata Najwa Shihab memberikan pandangan baru, bahwa esensi dari pendidikan itu sendiri bukan sekadar kita ingin mendapatkan ijazah, cari popularitas dalam masyarakat, bukan juga ingin memperkaya diri dari segala hal. Namun, hakikat dari pendidikan dan gelar sarjana itu sendiri, yakni bagaimana kita bisa bermanfaat terhadap sesama. Lebih dari itu, jika mereka membutuhkan ilmu kita untuk belajar dari pengalaman kita sendiri. Artinya, disiplin ilmu merupakan modal pertama, sedangkan ijazah cuma selembar kertas di atas meja.
Lapangan Pekerjaan
Dalam konteks dunia kerja, muncul pertanyaan. Apakah gelar sarjana menjadi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan di era disrupsi yang penuh persaingan ini? Apakah seseorang yang mendapat gelar sarjana merupakan sosok seperti artinya dalam KBBI?
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merilis jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,75 juta orang. Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk usia kerja Indonesia pada Februari 2021 berjumlah 205,36 juta orang.
Sementara kalau membaca data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), jumlah angkatan kerja di NTT pada Agustus 2020 sebanyak 2,85 juta orang. Sejalan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga naik sebesar 2,77 persen poin. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Agustus 2020 sebesar 4,28 persen atau sebanyak 0,12 juta orang. Akibat pandemi Covid-19 terdapat 373,22 ribu orang yang terdampak Covid-19. Terdiri dari pengangguran karena Covid-19 (13,76 ribu orang), BAK karena Covid-19 (4,98 ribu orang), sementara tidak bekerja karena Covid-19 (16,50 ribu orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 (337,98 orang). Tentu, kalau kita telusuri juga data Badan Pusat Statistik (BPS) setiap kabupaten, pasti kita menemukan masih banyak pengangguran.
Itu berarti masih banyak pengangguran di sekitar kehidupan sosial masyarakat. Kalau mau jujur, tidak sedikit pengangguran merupakan para sarjana. Menjadi pertanyaan, mengapa bisa terjadi? yah, barangkali para sarjana hanya berorientasi “yang penting punya ijazah” tanpa melihat peluang kerja. Setelah tamat perguruan tinggi, mereka hanya berharap informasi “lowongan kerja” dari pemerintah, lembaga, atau perusahan tertentu.
Sebenarnya, mental seperti itu harus dibasmi oleh para sarjana yang berpendidikan untuk dapat membangun Indonesia yang lebih maju, membangun daerah yang lebih bermartabat. Karena persaingan di arena kerja ibarat perang. Siapa yang lihai dalam menembak sasaran dan pintar dalam membuat strategi, dia yang akan menang.
Realitas menunjukkan juga bahwa setiap tahun ribuan lulusan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kalau semua lulusan itu berperang untuk menang mendapatkan pekerjaan, tentu lowongan yang ditawarkan belum tentu menampung mereka semua.
Membangun Profil Diri
Lantas apa yang harus dilakukan oleh para lulusan perguruan tinggi itu? Sederhana saja menurut saya. Setiap orang bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sesuai bidang ilmu yang dipelajari dan dimiliki selama masa perkuliahan. Inisiatif ini bedampak positif pada orang-orang sekitar, khususnya para pengangguran dapat memperoleh pekerjaan.
Saya berpendapat bahwa ketika masa kuliah, orientasi mahasiswa hanya supaya bisa menambah gelar sarjana di belakang namanya. Mereka tidak merancang masa depan mereka pada awal masuk kuliah. Masa perkuliahan hanya sebagai aktivitas formal, supaya keluarga dan masyarakat tahu bahwa dirinya mahasiswa. Bahkan, tidak sedikit mahasiswa memiliki orientasi supaya lulus dengan Indeks prestasi Kumulatif (IPK) yang terpuji tanpa tahu arah untuk apa dan ke mana IPK tersebut setelah lulus.
Intinya bahwa selama masa perkuliahan, mahasiswa sudah membangun persiapan dengan merancang masa depan dan target pekerjaan yang akan dirinya lakukan pasca menempuh pendidikan tinggi. Tentu hal ini beralasan, yaitu merujuk pada hakikat sarjana sesungguhnya. Sarjana pada hakikatnya sebagai orang yang pandai, orang berpendidikan yang sudah dibina untuk dapat terjun langsung ke dunia kerja.
Selama masa kuliah, mahasiswa harus menjadikan kampus sebagai arena ekspresi potensi dan skill diri, selain mendapat konsep pengetahuan dari ruang kelas. Keberadaan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sebagai wadah untuk mengembangkan talenta dan potensi diri. Penawaran kompetisi-kompetisi, baik internal maupun eksternal kampus merupakan ajang untuk belajar dan bersaing menjadi yang terbaik. Menjadi pengurus dan kepanitiaan dalam satu unit atau kegiatan kemahasiswaan adalah kesempatan untuk membangun nadi manajerial dalam diri.
Semuanya itu merupakan senapan yang siap membidik sasaran pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian. Tidak bisa hanya dengan menyandang gelar sarjana, kita dapat menang bersaing dalam memperebutkan kursi kerja di lapangan. Belum cukup juga hanya mengandalkan ijazah sebagai modal mencari kerja. Pengalaman dan keahlian (potensi diri) malah mendapat tempat prioritas dalam dunia kerja zaman sekarang.
Apalagi, orientasi sarjana adalah harus menjadi PNS atau pegawai swasta. Bagi saya itu bukan merupakan suatu keharusan. Sesungguhnya, sarjana bisa menjadi apa saja karena mendapat gelar sarjana berarti pribadi itu memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain, yaitu ilmu. Ilmu inilah yang menjadi dasar yang bermanfaat untuk dapat bersaing dalam dunia kerja. Meskipun diri berpendidikan tinggi (sarjana) tapi esensi dari pendidikan itu sendiri, yakni memanusiakan manusia tidak ada dalam diri seseorang, makanya sejatinya tujuan dari pendidikan itu belum sempurna.
Sekadar permenungan bagi orang-orang yang telah menyelesaikan kuliahnya di perguruan tinggi dan mendapat gelar sarjana, apa dan bagaimana engkau berikan pada bangsa, daerah, dan masyarakatmu setelah pendidikan tinggi telah engkau tuntaskan. Itulah bersarjana, bukan berijazah.