GARDANTT.id- Seseorang yang membatalkan puasanya dengan sengaja, baik dengan makan, minum, atau melakukan hal sain yang membatalkan puasa, maka puasanya dianggap batal dan ia wajib menggantinya. Namun, hal ini tidak hanya sebatas kewajiban untuk mengqadha puasa, melainkan juga dapat mendatangkan dosa jika tidak ada alasan yang dibenarkan secara syariat. Tindakan tersebut bertentangan dengan tujuan puasa, yang merupakan bentuk pengendalian diri dan ketaatan kepada perintah Allah.
Selain itu, orang yang sengaja membatalkan puasanya tanpa alasan yang sah dapat dikenakan kafarat, yaitu puasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap Muslim untuk menjaga niat dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah puasa, serta menghindari segala hal yang bisa membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan dalam agama.
Balasan untuk Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa
Melansir detikhikmah, Sabtu/1/3/2025), Sanksi bagi orang yang sengaja membatalkan puasa tanpa alasan syar’i adalah dirobek mulutnya hingga mengeluarkan darah. Pernyataan ini disampaikan Rasulullah SAW dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلَانِ، فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ، فَأَتَيَا بِي جَبَلَا وَعْرًا، فَقَالَ: اصْعَدْ فَقُلْتُ: إِنِّي لَا أَطِيقُهُ فَقَالَ: إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ ، قُلْتُ: مَا هَذِهِ الْأَصْوَاتُ؟ قَالُوْا: هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ثُمَّ انْطَلَقَا بِي، فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِيْنَ بِعَرَاقِيْهِمْ، مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ، تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا ، قَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُوْنَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Artinya: Dari Abu Umamah, ia menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Ketika saya sedang tidur, saya didatangi oleh dua orang laki-laki. Keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang sangat terjal.”
Keduanya berkata, “Naiklah.” Saya mengatakan, “Aku tidak mampu.” Kemudian mereka berdua berkata, “Kami akan membantumu.” Maka aku pun menaikinya sehingga ketika saya sampai di pegunungan yang gelap, tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Lalu saya bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian saya dibawa berjalan-jalan hingga saya menyaksikan orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan dari robekan itulah mengalir banyak darah. Kemudian saya (Abu Umamah) bertanya, “Siapakah mereka itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.” (HR Ibnu Khuzaimah).
Selain itu, ada hadits lain dengan redaksi berikut ini:
عَنْ أَبي أُمَامَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا. قُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Artinya: “Dari Abu Umamah berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Pada saat aku tidur, aku bermimpi didatangi dua orang malaikat membawa pundakku. Kemudian mereka membawaku, saat itu aku mendapati suatu kaum yang bergantungan tubuhnya, dari mulutnya yang pecah keluar darah. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum diperbolehkan waktunya berbuka puasa’.” (HR An-Nasa’i).
Idrus Abidin, LC., M.A., Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menjelaskan tentang dosa orang yang berbuka puasa sebelum waktunya tanpa udzur syar’i. Beliau mengatakan, siapa saja yang sengaja tidak puasa Ramadhan bukan karena sakit atau udzur lainnya maka dosa yang dilakukan lebih jelek daripada berzina dan menenggak minuman keras. Bahkan, orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka munafik atau sempalan.
Kondisi yang Diperbolehkan untuk Membatalkan Puasa
Ada beberapa kondisi di mana umat muslim boleh dan dalam kondisi tertentu harus meninggalkan puasa. Berikut di antaranya:
- Sakit
Orang yang sakit boleh membatalkan puasa. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185.
وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ
Artinya: “Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.”
Menurut buku Batalkah Puasa Saya?’ karya Muhammad Saiyid Mahadir, Lc. MAg, Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, puasa bagi orang sakit dibedakan menjadi:
Jika penyakit diprediksi kritis hingga boleh tayammum, maka penderitanya makruh untuk berpuasa. Dia diperbolehkan tidak berpuasa.
Jika penyakit kritis itu diduga kuat, benar-benar terjadi, menyebabkan kehilangan nyawa, dan mengakibatkan disfungsi salah satu organ tubuh, maka pasien tersebut haram berpuasa. Dia wajib membatalkan puasanya.
Jika sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayammum, pasien haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh tidak khawatir penyakitnya bertambah parah.
- Musafir
Dalam ayat yang sama, Allah berfirman bahwa orang yang dalam perjalanan boleh mengganti puasa tersebut di hari lain. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW juga pernah membatalkan puasa karena alasan ini. - Hamil dan Menyusui
Berdasarkan kesepakatan ulama ahli fiqih, wanita hamil dan menyusui juga boleh membatalkan puasanya saat khawatir dengan fisiknya atau buah hatinya. Menurut laman IAIN Kudus, ibu hamil dan menyusui dihukumi seperti orang sakit, dimana ketika berpuasa, maka akan terasa berat. - Lanjut Usia
Orang yang sudah lanjut usia dan memang sudah tidak kuat untuk berpuasa diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Atas mereka berlaku ayat:
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ
Artinya: “Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin.”
Menurut buku Panduan Lengkap Ibadah oleh Muhammad Al-Baqir, Al Bukhori meriwayatkan dar Atha, bahwa dia mendengar Ibnu Abbas membaca surat ini. Maka Ibnu Abbas berkata, ayat ini ditujukan untuk laki-laki atau perempuan yang amat lanjut usia dan tidak mampu berpuasa.
- Pekerja Berat
Para pekerja berat yang tidak mempunyai sumber penghasilan selain melakukan pekerjaan mereka, seperti kuli bangunan, pengangkut barang atau buruh kasar di pabrik boleh tidak berpuasa. Seperti orang lanjut usia, mereka dibolehkan tidak mengqadha puasanya d hari lain sepanjang puasanya amat memberatkan. Namun mereka harus membayar fidyah. - Wanita Haid dan Nifas
Dalam hal ini, wanita haid dan nifas wajib membatalkan puasa. Nantinya puasa tersebut diganti di hari lain sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkan. Larangan puasa saat haid dan nifas tidak dijelaskan secara jelas dalam Al-Qur’an, namun terdapat hadits tentang mengqadha puasa berikut ini:
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Artinya: “Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ sholat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah,” akan tetapi aku hanya bertanya. Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ sholat.” (HR Muslim).
Wallahu a’lam.
Membatalkan puasa dengan sengaja tanpa alasan yang sah akan membatalkan ibadah puasa dan mengharuskan seseorang untuk menggantinya (qadha). Selain itu, tindakan tersebut dapat mendatangkan dosa dan, jika dilakukan dengan sengaja, wajib menanggung kafarat, yaitu berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga niat dan kesungguhan dalam menjalankan puasa agar ibadah ini diterima dan tidak sia-sia.