GardaNTT.id – Ratusan pegawai RSUP Dr. Sardjito, Sleman, Yogyakarta, termasuk tenaga medis dan karyawan administrasi, menggelar protes besar-besaran terkait pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) yang hanya dibayar 30 persen dari total remunerasi mereka.
Protes ini dimulai setelah mereka merasa bahwa besaran THR yang diberikan sangat jauh dari nominal yang diterima tahun-tahun sebelumnya.
Para pegawai yang terdiri dari tenaga kesehatan, dokter spesialis, serta karyawan administrasi, mengikuti audiensi dengan jajaran direksi rumah sakit. Namun, setelah mendengar penjelasan yang dianggap kurang memadai, sebagian besar dari mereka memilih untuk walkout dari pertemuan tersebut.
Harapan untuk Kejelasan dan Evaluasi Kebijakan
Bhirowo Yudo Pratomo, salah seorang perwakilan pegawai, mengungkapkan bahwa para pegawai berharap ada kejelasan dan evaluasi terkait kebijakan THR yang dirasa sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut Bhirowo, pembayaran THR yang hanya 30 persen dari remunerasi bulanan sangat memberatkan para pegawai, terutama mengingat beban kerja yang semakin meningkat.
“30 persen itu sangat jauh dibandingkan dengan penerimaan bulanan kami. Kami berharap bisa ada perbaikan, apakah itu kembali seperti tahun lalu atau bagaimana,” ujar Bhirowo setelah audiensi, seperti dikutip dari CNN Indonesia pada Rabu (26/3/2025).
Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa meskipun pihak rumah sakit berjanji akan mengevaluasi kebijakan tersebut, situasi tetap tidak berubah dan banyak rekan-rekan sejawatnya yang memilih untuk walkout. Mereka berharap masalah ini dapat segera diselesaikan tanpa menimbulkan aksi yang lebih besar.
Direksi Rumah Sakit Berjanji Evaluasi Kembali Besaran THR
Direktur Utama RSUP Dr. Sardjito, Eniarti, menanggapi protes tersebut dengan menyatakan bahwa pihak rumah sakit akan mengevaluasi kembali besaran THR yang diberikan.
Eniarti menegaskan bahwa pihaknya berencana untuk melakukan simulasi ulang pemberian THR dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan rumah sakit.
“Ya, kita sudah bersepakat untuk mengevaluasi kembali. Yang terpenting adalah jika pendapatan rumah sakit naik, tentu kami akan memberikan persentase yang lebih banyak,” ujar Eniarti setelah audiensi.
Lebih lanjut, Eniarti juga menambahkan bahwa rumah sakit sudah menyalurkan hak dasar para karyawan, yakni gaji secara penuh. Namun, pemberian insentif, termasuk THR, sangat bergantung pada sistem remunerasi yang berlaku serta kondisi keuangan rumah sakit.
Aturan yang Mengikat dan Ketimpangan Pembayaran
Eniarti menjelaskan bahwa besaran 30 persen THR yang diberikan merujuk pada aturan keluaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk rumah sakit yang menerapkan sistem ‘fee for service’.
Sistem ini mengharuskan rumah sakit untuk membayar berdasarkan layanan yang diberikan, sehingga THR yang diterima karyawan bervariasi.
Namun, Eniarti juga menekankan bahwa rumah sakit tidak bisa menyamaratakan pemberian THR kepada seluruh pegawai, mengingat setiap posisi dan tanggung jawab memiliki perbedaan yang signifikan.
Kebijakan pemberian insentif harus memperhatikan grade pegawai, agar tidak tercipta ketimpangan yang terlalu besar antara satu pegawai dengan lainnya.
“Kepatutan, keadilan, dan proporsionalitas adalah hal yang harus kami pegang teguh. Tidak bisa dipukul rata. Setiap pegawai memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda,” pungkas Eniarti.
Protes yang terjadi di RSUP Dr. Sardjito menunjukkan ketegangan yang terjadi antara pihak rumah sakit dan para pegawai terkait kebijakan THR yang dinilai tidak adil.
Meskipun pihak direksi berjanji untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan pemberian THR yang lebih besar, masalah ini menggambarkan pentingnya transparansi dan keadilan dalam kebijakan insentif, terutama dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan.
Sebuah solusi yang adil dan proporsional menjadi kunci agar hubungan antara rumah sakit dan pegawai tetap harmonis dan produktif.