“Misalnya saya sebagai pembeli, masa saya harus beli tanah yang bermasalah, tidak harus memeriksa dulu, masa saya tidak berkonsulatasi dengan tim-tim legal yang bisa menunjuk bahwa model-model begini bisa beli atau tidak, apakah bermasalah dikemudian hari atau tidak,” ungkap Ferdy.
“Jadi negara ini sangat bodok menurut saya, daerah ini, atau dinas perhubungan Manggarai Timur. Kalau bapa Gregorius ini menjual tanpa sertifikat, masa saya harus membeli. Pertanyaan saya apakah staf yang jadi tersangka tidak punya tim legal untuk memeriksa keabsahan dari SPPT PBB ini, kan itu dulu harus ditanyakan. Masa staf yang harus punya otoritatif penuh, untuk membeli tanah tanpa sepengetahuan atasan!” tanya Ferdy.
Menurut Ferdy, Kepala Dinas Perhubungan Manggarai Timur saat itu menjabat yang harus bertanggung jawab atas kasus ini.
“Menurut saya Kepala Dinas yang harus bertangung jawab. Siapa saja yang kepala dinas pada saat itu. Tidak mungkin staf itu yang inisyatif untuk membeli lahan yang nota bene untuk membangun terminal, pasti ini melibatkan sebuah perencanaan yang matang dari atasan sampai di bawah. Pembelian tanah juga pasti atas sepengetahuan atasan,” ungkapnya.
Menurut Ferdy, persoalan ini muncul lantas tahun 2015 masalah terminalnya terbengkelai, aktor intelektual dibalik ini dia mau mengelak. Kata Ferdy, mungkin ada orang yang lobi sana sini dan dia mau coba untuk meletakan kasus ini bahwa yang bermasalah adalah bapak Gregorius. Ini kan aktor intelek tual kita harus dapat. Jadi ini kerja mafia, bahkan dalam kasus ini ada mafia terstruktur dalam penegakan hukum.
“Mereka mencoba untuk menseting bahwa jaksa nanti hanya menuntut orang orang yang istilah bapak Gregorius ini orang kecil lah, mereka tidak punya kuasa untuk melawan, tidak punya kuasa juga untuk melobi. Lalu pertanyaan saya, pertama, kasus yang 3,6 miliar yang sudah teliti tahun 2015 di hilangkan? Lalu yang kedua, orang yang membuat perencanaan atas tanah itu tidak bertanggung jawab?” tanya Ferdy lagi.