Habitus Westernisasi, Virus Budaya Lokal

Penulis: Charlesy Setiawan Jemaon

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terlahir sebagai bangsa multikultural, yakni sebagai bangsa yang memiliki beragam budaya, bahasa, ras, dan suku. Hal inilah yang kemudian menjadi kekhasan bangsa Indonesia.

Desa Haju

Setiap wilayah memiliki budaya dengan karakteristiknya masing-masing. Keberagaman ini pun serentak menjadi ikonik atau ciri khas dari setiap daerah. Sehingga tidak mengherankan ketika setiap daerah dengan Kawasan yang sama namun memiliki perbedaan yang menonjol dari segi gaya hidup atau bahkan tradisi yang diimani (Hardiman, 2018).

Sebut saja budaya. Budaya ada sejak manusia lahir. Dengan kata lain budaya lahir sebagai hasil refleksi Panjang hidup manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya dilihat sebagai hasil aktivitas dan karya batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Seorang tokoh sentral dalam dunia Pendidikan Indonesia yakni Ki Hajar Dewantara juga mendefinisikan budaya sebagai buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam.

Dengan demikian, budaya merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial seperti susunan perilaku dan kebiasaan sebagai hasil dari interaksi atau aktivitas (akal budi) manusia yang diwariskan secara turun temurun, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat yang kemudian menjadi pedoman bagi masyarakat dalam bertingkah laku atau dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena budaya diyakini sebagai warisan leluhur yang sepatutnya diwariskan secara turun temurun karena dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat dalam bertingkah laku atau dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Maka, sudah sepatutnya kita generasi muda yang disebut sebagai generasi z mempunyai tanggung jawab untuk tetap menjaga eksistensi dari budaya itu sendiri agar tidak memudar atau bahkan punah ditelan zaman.

Namun, persoalan yang penulis lihat dalam kesempatan kali ini bahwa budaya lokal kehilangan eksistensinya dikarenakan masyarakat lebih dominan meniru budaya atau gaya hidup kebarat-baratan atau westernisasi. Jika ditelaah lebih dalam, fenomena ini sudah menjamur ke seluruh lapisan Masyarakat.

Westernisasi merupakan proses pembaratan, pengambilalihan, atau peniruan budaya barat. Segala perilaku dalam westernisasi mengacu pada budaya dunia barat, (Supriatna, dkk , IPS Terpadu kelas IX: 2021).

Jika ditilik dari akar katanya, westernisasi terdiri dari kata west (bahasa Inggris) yang artinya barat. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa westernisasi yakni sebuah proses pengambilan atau imitasi budaya barat yang dilakukan secara langsung tanpa melalui filterisasi atau penyesuaian dengan budaya setempat.

Budaya lokal seakan kehilangan panggung karena perhatian masyarakat dialihkan pada budaya baru yakni westernisasi yang datang dari luar.

Dalam hal ini pula, penulis melihat bahwa generasi muda juga amnesia akan peran yang seharusnya diemban yakni menjaga dan melestarikan budaya lokal. Bahkan generasi muda menjadi pemakai utama budaya westernisasi. Ini semua tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang kehadirannya tidak dapat dibendung karena memang apa yang ditawarkan oleh globalisasi betul- betul memudahkan manusia dalam berbagai bidang kehidupan.

Sebut saja smartphone, televisi, dan kendaraan beroda dua maupun roda empat yang terus berinovasi menghasilkan produk yang lebih mutahir dari sebelumnya. Globalisasi juga membuat batas- batas geografis memudar sehingga jarak berpuluh kilometer akan dijangkau dalam hitungan jam atau bahkan menit. Maka, westernisasi merupakan produk dari globalisasi dikarenakan dalam tubuh globalisasi itu sendiri ada sebuah proses atau strategi negara-negara barat untuk memperluas produk dan pengaruhnya, dalam hal ini budaya (Alfadhi, dkk : 2021).

Dewasa ini animo gelombang pengaruh globalisasi telah terasa mulai dari masyarakat golongan atas (kaum berada) sampai pada masyarakat menengah, baik tua maupun muda. Dalam artian globalisasi tidak dapat dihindari (Purnomo : 2020).

Oleh karena penulis melihat pembahasan akan westernisasi terlalu kompleks maka fokus penulis ialah bagaimana arus westernisasi menggeser budaya luhur kita yakni kesopanan dalam berpakaian.

Masyarakat Indonesia pada umumnya melihat tubuh manusia sebagai pemberian Tuhan yang sepatutnya dijaga dan dirawat dan akan dikatakan sebagai hal yang tabuh dan tidak bermoral apabila tubuh dijadikan tontonan atau alat untuk menarik perhatian orang lain.

Namun kehadiran westernisasi dewasa ini perlahan menggeser kepercayaan tersebut. Berdasarkan data bahwa masyarakat sekarang cenderung memakai produk-produk luar negeri seperti pakaian yang cenderung terbuka dan akan merasa bangga jika mengenakannya. Situasi seperti ini terjadi sebagai akibat dari masyarkat yang konsumtif.

Hal ini didukung dengan sifat alamiah dari masyarakat itu sendiri yang mana keinginan untuk mencoba hal baru sangat tinggi. Kemudian rendahnya SDM juga berpengaruh terhadap penyebaran westernisasi di tengah masyarakat karena tidak adanya akulturasi yang kritis maka terjadinya asimilasi yang mempertemukan dua kebudayaan yang berbeda dan menghilangkan unsur kebudayaan asli.

Namun dalam kondisi ini juga, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan masyarakat. Dalam kondisi ini penulis melihat bagaimana pemerintah seakan membuka gerbang besar akan kehadiran westernisasi.

Di sisi lain pemerintah dengan gencarnya memberikan doktrin kepada masyarakat agar sekiranya tetap menjaga dan melestarikan budaya yang diwariskan secara turun temurun terbukti di berbagai daerah di Indonesia dengan rutin menyelenggarakan Festival budaya setiap tahunya. Namun, sangat disayangkan ketika pemerintah sendiri yang lebih berpihak kepada budaya westernisasi.

Mengapa demikian? Seperti yang dilansir dari tribun seleb, ada begitu banyak konser yang sudah dilakukan oleh band-band luar negeri. Sebut saja Band rock asal Inggris, Bring Me The Horizon (BMTH), Coldplay, Fujii Kaze, Radwimps, dan masih banyak lagi. Kehadiran dari band-band ini bukan saja akan menghibur masyarakat dan menguntungkan beberapa pihak, tetapi juga secara tidak langsung mereka akan membawa kebudayaan yang mereka miliki dan memperlihatkannya kepada masyarakat Indonesia. Sebut saja style berpakaian yang cendrung lebih terbuka.

Oleh karena banyaknya penggemar yang mereka miliki di Indonesia, maka tentu apa yang menjadi ciri khas dari idola atau apa yang dikenakan oleh sang idola kemungkinan besar akan dikenakan juga oleh penggemar dalam hal ini masyarakat Indonesia. Sehingga penulis melihat bahwa adanya ketidaksesuaian dari pemerintah antara apa yang menjadi kebijakan dan apa yang diterapkan.

Tidak hanya itu, kehadiran media sebagai hasil dari perkembangan internet juga menyumbang pengaruh besar dalam transformasi budaya. Laporan we are social, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 213 juta atau 77 % dari total masyarakat indonesia per Januari 2023. Itu artinya bahwa dapat dikatakan hampir semua masyarakat indonesia mengakses internet dengan alasan utamanya yakni memudahkan segala kegiatan sehari-hari. Nampak tidak ada yang salah dengan hal ini. Namun problemnya ialah dalam media disuguhkan berbagai hiburan dan kebudayaan yang datang dari empunya media yang didominasi oleh negara-negara barat. Sehingga dari sinilah, proses imitasi budaya muncul.

Suatu harapan terbesar dari Masyarakat Indonesia yang sadar sudah terhipnotis oleh budaya westernisasi ialah bagaimana fenomena westernisasi dihilangkan atau paling tidak dilunturkan dari panggung yang menggerus budaya lokal. Maka dari itu penulis menawarkan solusi terkait fenomena westernisasi ini.

Salah satu solusi solusi yang tepat menurut penulis adalah, semangat nasionalisme harus dikencangkan lagi dengan cara pendalaman pengetahuan sejarah agar generasi muda atau gen Z terhindar dari yang namanya amnesia Sejarah. Lalu penyesuaian norma dan nilai kultural yang original di tengah prahara pengaruh westernisasi. Dengan demikian, semangat nasionalisme selalu menjadi kekinian dan bukan hanya dimiliki secara sah historik oleh generasi yang dulu melainkan milik setiap generasi yang akan datang.

Penulis merupakan siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II labuan Bajo.

Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju