Oleh: Bernardus Tube Beding
Tentu, masih segar dalam ingatan kita pemberitaan tentang seorang ayah perkosa anak kandung di Manggarai NTT, bahkan aksinya direkam pakai handphone. Bahkan, tidak sedikit media massa memberitakan kasus serupa di berbagai daerah.
Pembicaraan seputar pemerkosaan (dan pornografi) menjadi semakin ramai di kalangan masyarakat. Banyak diskusi dan reaksi bermunculan di media massa maupun komentar-komentar lepas secara langsung dari mulut masyarakat. Berbagai komentar itu, membuat niat ingin menulis sedikit tentang pornografi dan pemerkosaan. Baik juga saya ingin membaca maksud konsep pornografi dan kemudia menjelaskan kemungkinan sebagai gerbang penangkal praktik pemerkosaan.
Membaca Pornografi
Termin pornografi seperti yang kita pakai selama ini sebetulnya berasal dari dua kata Yunani, yakni porne dan graphe. Kata porne berarti pelacur, sedangkan graphe artinya tulisan. Pornografi dalam pengertian ini memberi kesan cabul, seperti halnya pada prostitusi. Arti ini kemudian berkembang, tidak hanya menyangkut tulisan-tulisan, tetapi juga berita-berita, tutur kata, dan gambar-gambar yang bisa merangsang gairah seksual.
Bagian-bagian tubuh yang erat kaitannya dengan aspek ini, misalnya payudara, aurat, pantat, dan sebagainya yang menurut adat keberadaban sebagian umat manusia (termasuk mayoritas penduduk di negara kita ini) tidak pantas untuk diperlihatkan secara terbuka tanpa motif positif sosial pada publik. Tentu saja aspek ini tidak dikenakkan pada kelompok masyarakat yang tidak bisa mengenakan pakaian modern seperti di beberapa suku pedalaman Papua, karena keberadaan mereka lebih dilihat sebagai suatu kenyataan sosial yang seharusnya dan bukan terutama dipandang atau dinilai sebagai sesuatu yang porno.
Dalam kehidupan kita sehati-hari, sebetulnya ada juga banyak hal yang bersifat pornografi. Hal-hal yang porno itu seringkali sengaja diciptakan demi tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, demi hiburan atau untuk sekadar kelakar; juga misalnya untuk mengumpat lawan.
Jadi, bertolak dari itu pornografi dalam arti yang paling konkret, sebetulnya bukanlah sesuatu yang asing dalam masyarakat pada umumnya, termasuk masyarakat di Indonesia. Hanya tingkat rasa p[ornografi tersebut kadang-kadang berbeda dari satu orang dengan orang lain , atau dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Persis seperti dikatakan oleh David Herbert Lawrence (1885-1930), seorang penulis asal Inggris: What is pornograpgy to one is the laugher of genius to another (apa yang dianggap sebagai pornografi oleh seorang adalah beban lolucon bagi orang lain).
Kendatipun demikian, ada model pornografi tertentu yang direkayasa secara khusus untuk menimbulkan birahi pada orang-orang yang melihat atau menikmatinya. Misalnya, gambar-gambar atau foto-foto porno dengan gaya-gaya yang merangsang atau juga adegan-adegan dalam film dan klip video tertentu yang memperlihatkan aksi seksual secara seronok tanpa sensor. Sebagai contoh saya ambil klip video yang mungkin familiar pada masa itu, yaitu video lagu “Jutify My Love” dari Madonna. Dalam video klip tersebut, Madonna yang sering dijuluki sebagai “boom seks” musik dunia itu mengekspresikan wajah dan tubuh seksinya dalam kenikmatan beradegan seks yang beraneka ragam, mulai dari adegan seks normal, sodomi, hingga lesbi. Dan para pemujanya terhipnotis dengan acting tersebut lalu berhalusinasi dalam birahi bersama Madonna yang bernama asli Loise Ciccone itu (Populer, No. 123, April 1998).
Pornografi di sini menurut beberapa pendapat seakan menjadi pencemar “kemurnian” sebuah peristiwa seksual. Peristiwa seksual yang secara umum dilihat sebagai sesuatu yang sangat privat dan khusus dijadikan bahan tontonan murahan. Lawrence sekali lagi melihat peristiwa ini sebagai suatu upaya untuk menghina dan menajiskan seks. Ia menulis, “pornography is the attempt to insult sex, to do dirt on it”.
Namun, Roger Dawson bisa memanfaatkan daya pengaruh pornografi itu untuk kepentingan yang penting. Misalnya, sebagai sarana untuk menambah kekuatan bujukan. Dalam bukunya, Secrets of Power Persuasion, Dawson menulis bahwa makanan dan seks merupakan dua pengalih perhatian yang paling baik. Khusus tentang seks, ia mengatakan, “Tinjukkan kepada seorang pria foto seorang wanita telanjang dan Anda akan bisa memengaruhi pandangannya secara lebih mudah daripada kalau tidak ada yang mengalihkan perhatiannya.”
Jelas bahwa gambar-gambar atau adegan-adegan yang bersifat porno memengaruhi para penikmatnya dan menimbulkan rangsangan serta khayalan secara seksual tertentu. Kalau Cuma terbatas pada tahap ini sebetulnya tidak terlalu menjadi soal karena hal itu lebih merupakan peristiwa pribadi dan interpretasi subjektif; bukan terutama menjadi kemelut sosial.
Yang menjadi soal justru pada dampak selanjutnya. Salah satu dampak negatif yang sering muncul adalah tindakan pemerkosaan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak kasus pemerkosaan terjadi setelah para pelaku menonton film porno atau gambar-gambar porno. Beberapa media massa pers memberitakan kasus-kasus pemerkosaan model ini yang tidak jarang terjadi di daerah kita.
Olehnya muncul pendapat bahwa pornografi mesti sedapat mungkin diamankan, sebab kalau dibiarkan akan merusak tatanan moral masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum munculnya pornografi, moral masyarakat kita sudah mapan: no problem. Mungkin yang dimaksudkan adalah bahwa sebagian masyarakat kita belum cukup matang untuk menghadapi pornografi secara sangat transparan seperti dalam gambar-gambar dan film-film yang terbuka untuk umum. Apalagi kalau yang menontonnya adalah anak-anak dan remaja yang secara logis-psikologis belum matang pertimbangan-pertimbangannya dan mudah terpengaruh pada peristiwa-peristiwa seksual. Di sinilah letak ketakutan kita.
Namun, apakah pornografi seperti itu bisa “diamankan” secara tuntas? Tampaknya upaya itu tidak mungkin, sebab kita sekarang hidup dalam suatu dunia yang sangat terbuka dan penuh dengan kemudahan informasi dan sarana-sarana elektronik yang canggih. Orang akan dengan gampang mendapatkan barang-barang yang terlarang sekalipun. Apalagi soal pornografi yang esensinya sangat sensitif dan mengasikkan untuk segala lapisan masyarakat. Maka upaya apa pun dilakukan hanya akan sampai pada peminimalisasian pornografi dan tidak akan sampai pada pemusnahan secara tuntas.
Berdasarkan hipotesa semacam itu, maka tugas kita yang paling utama adalah menutup gerbang praktik pemerkosaan dengan mematangkan komitmen moral dan kepribadian kita sedemikian, agar tidak “terjerat” dan “panik” terhadap pelbagai bentuk pornografi.
*Penulis adalah Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng