Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks
Opini  

Negara dalam Lingkaran Korupsi, Sebuah Refleksi Mengenang Hari Anti Korupsi Sedunia

Oleh: Stefanus Jelalut
Peminat Isu Sosial, Tinggal di Manggarai Barat

Opini Korupsi di Indonesia kian menggurita dengan aneka jenisnya. Korupsi transaktif, memeras, investif, perkerabatan / nepotisme, otogenik dan korupsi dukungan ada di Indonesia. Penyimpangan ini sudah merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dan menyusuri lorong-lorong lembaga. Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, pendidikan, agama dan sederetan lembaga lain terlibat korupsi, meski secara kuantitas berbeda. Desentralisasi ekonomi justru membuat korupsi ikut terdesentralisasi. Anatominya seperti piramida terbalik. Semakin ke bawah nilainya semakin kecil.

Desa Haju

Ketua KPK, Firli Bahuri, baru-baru ini mengatakan bahwa selama Tahun 2022, lembaga anti rasuah tersebut sudah menahan 115 orang pelaku korupsi. Terbaru, KPK sudah menahan Hakim Agung, Gazalba Saleh, tersangka kasus suap penanganan perkara di Kantor Mahkamah Agung. Lalu, ada juga Bupati Bangkalan, Abdul Latif Amin Imron, berserta lima orang Kepala Dinasnya, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK pada 08 Desember 2022, karena diduga terlibat dalam skandal suap jual beli jabatan.

Menjamurnya korupsi dalam segala matra kehidupan, justru terjadi di tengah proses pembangunan ekonomi dan politik yang terus meningkat. Tidak mengherankan, karena dalam proses pembangunan tersebut kerap disertai dengan modus tak halal. Untuk menang tender mesti ada “uang pelicin” atau “metode semir” uang suap dan gratifikasi. Lantas, pelaksanaan proyek sarat dengan penyunatan anggaran untuk menutup uang pelicin dan gratifikasi. Apalagi bila disertai dengan cueknya kontrol dari atas (pemimpin dan DPR) dan dari bawah (masyarakat). Bahkan Fungsi kontrol sudah dibungkam dengan uang haram. DPR justru lebih sibuk menyalahgunakan hak budgetingnya untuk memainkan anggaran. Alhasil, rakyat menikmati hasil pembangunan tidak berkualitas. Penyimpangan-penyimpangan itu mensinyalir kehidupan bernegara yang tidak beres. Pertanyaan terbesarnya adalah, apa sebetulnya yang menjadi biang masifnya korupsi di Indonesia?

Ada banyak pemicunya. Namun, dalam tulisan ini, saya coba angkat beberapa soal. Pertama, Feodalisme. Nilai-nilai feodalisme acapkali dijalankan dalam setiap birokrasi seperti takut, sungkan, dan perasaan tidak enak terhadap pemimpin, gengsi, patron, tradisi memberi hadiah dan suap, tradisi Asal Bapa Senang (ABS), tradisi tunduk minus kritis terhadap atasan, senioritas-yunioritas, penekanan pada wewenang yang lebih tinggi dan birokrasi patrimonial. Kebiasaan-kebiasaan ini menjadi akar tumbuhnya korupsi. Pelaksanaan sistem birokrasi patrimonial misalnya, seorang pemimpin sulit membuat distingsi yang jelas antara urusan dinas dan urusan privat. Inilah peluang strategis lahirnya korupsi. Apalagi bila seseorang sangat emosional dengan uang, dia tidak bisa mengendalikannya.

Kedua, Masalah dari keluarga. virus menyebarnya korupsi bisa tumbuh dari keluarga. Pada galibnya, kejujuran, integritas, keadilan, kebenaran dan nilai-nilai moral lainnya mesti dibangun dalam keluarga. Bila benteng nilai-nilai tersebut berantakan dalam keluarga pejabat, maka peluang dia melakukan korupsi sangat besar. Bahkan selama ini ada koruptor yang menilep uang negara melibatkan keluarga.

Ketiga, tingginya cost politik. Banyak anggota DPR dan pemimpin daerah yang digelandang KPK karena culas melakukan korupsi. Bisa jadi, akarnya karena mahalnya biaya politik saat kampanye. Lantas, mereka sangat membutuhkan uang untuk menutup pengeluaran itu. Belum lagi pembayaran iuran ke partai yang tinggi. Situasi inilah yang mengkondisikan terjadinya perilaku korupsi.

Keempat, struktur pemerintahan yang bias. Percaturan politik dalam negara yang disuport oleh kaum kapitalis bisa menjadi titik star korupsi. Pemimpin yang menang dalam percaturan tersebut cenderung menciptakan struktur pemerintahan yang bias terhadap kepentingan diri dan golongan berupa produk kebijakan atau regulasi yang menguntungkan diri dan kaum kapitalis yang mendukungnya. Apalagi bila disertai dengan relasi subyektif yang intens dengan kaum kapitalis. Korupsi bisa tumbuh dari situ.

Kelima, Masalah Integritas. Pribadi yang integral mampu mewujudkan sebuah pengetahuan tentang “yang baik” dan “yang Buruk”, “yang seharusnya” dan “tidak seharusnya”, “yang boleh” dan “yang tidak boleh”. Persoalan korupsi terjadi bukan karena seseorang tidak mengetahui (kekurangan pengetahuan) bahwa korupsi itu “buruk” dan “tidak boleh” dilakukan. Koruptor itu tahu bahwa korupsi adalah bagian dari perilaku menyimpang, merugikan Negara dan tidak boleh dilakukan. Hanya saja, di tengah pengetahuan yang dimiliki itu seseorang tidak mampu melawan keinginannya untuk melakukan korupsi. Sebuah jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.

Membebaskan bangsa dari korupsi memang merupakan pekerjaan berat. Namun apapun beratnya korupsi tetaplah musuh bangsa-bersama. Kejahatan korupsi merupakan sumber kehancuran bangsa. Oleh karena itu, komitmen semua komponen bangsa untuk memberantasnya sangat diharapkan. Birokrasi pemerintahan dan lembaga-lembaga apa saja mesti bebas dari sistem feodalisme: bermental bos, sok kuasa, anti kritik, terima gratifikasi dan semacamnya. Perilaku pemimpin kita mesti dirubah dari kecenderungan dekat dengan kaum kapitalis menuju kedekatan dengan rakyat yang ditandai dengan produk kebijakan/regulasi pro rakyat. Biaya politik mesti diatur dalam regulasi yang menutup kans bagi politisi mengeluarkan biaya mahal dalam pertarungan politik. At last but not least, peranan lembaga keluarga untuk menanamkan dan menghayati nilai-nilai moral sangat diharapkan. Karena penghayatan moralitas keluarga bisa menjadi cerminan penghayatan moralitas publik.