GardaNTT.id – Aset properti milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris kini terancam disita sebagai akibat dari eksekusi putusan arbitrase yang melibatkan perusahaan satelit swasta, Navayo International AG.
Kasus ini bermula dari sengketa terkait pengadaan bagian-bagian satelit antara Kementerian Pertahanan Indonesia (Kemhan) dan Navayo, yang berujung pada tuntutan pembayaran ganti rugi senilai US$16 juta. Pemerintah Indonesia tengah berupaya keras untuk menyelesaikan kasus ini dengan cara yang tidak merugikan citra negara di mata internasional.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam konferensi pers yang digelar pada Kamis (20/3), menyatakan bahwa pemerintah akan berupaya secara komprehensif untuk mengatasi masalah ini.
Di sisi lain, temuan dugaan wanprestasi dari pihak Navayo juga membuka peluang bagi pemerintah untuk mengambil langkah hukum lebih lanjut, termasuk potensi penuntutan pidana terhadap perusahaan tersebut.
Proses Arbitrase dan Potensi Penyitaan Aset
Dalam persidangan yang melibatkan sengketa pengadaan satelit Kemhan pada tahun 2016, Indonesia melalui proses arbitrase di Singapura kalah, dan diwajibkan membayar sejumlah utang atau ganti rugi kepada Navayo.
Setelah beberapa tahun berlarut-larut, pada 2018, Navayo mengajukan gugatan dengan nilai sebesar US$23,4 juta ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Singapura, yang memutuskan pada 2021 bahwa Indonesia wajib membayar US$16 juta.
Namun, jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, Navayo berhak mengajukan permohonan untuk mengeksekusi putusan tersebut di Pengadilan Prancis, yang dapat berujung pada penyitaan sejumlah aset pemerintahan Indonesia di negara tersebut, termasuk properti milik KBRI di Paris.
Yusril Ihza Mahendra menganggap ancaman ini sebagai masalah yang sangat serius, terlebih Indonesia memiliki alasan kuat untuk menentang pelaksanaan eksekusi tersebut. Salah satunya adalah ketentuan dalam Konvensi Wina yang melindungi aset diplomatik dari penyitaan.
Upaya Pemerintah untuk Menghindari Eksekusi
Meski sudah ada keputusan pengadilan Prancis yang mengizinkan eksekusi, pemerintah Indonesia tetap bertekad untuk menghambat proses tersebut.
Yusril menegaskan bahwa Indonesia akan memperjuangkan perlindungan terhadap aset diplomatiknya dan menantang pelaksanaan eksekusi tersebut, dengan alasan bahwa itu bertentangan dengan hukum internasional.
Di sisi lain, pemerintah juga tengah menyiapkan strategi mitigasi risiko untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
Selain mengupayakan penyelesaian hukum terhadap Navayo, pemerintah berencana untuk mengambil langkah lebih tegas terhadap perusahaan tersebut, terutama setelah audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan adanya ketidaksesuaian nilai pekerjaan yang dikerjakan oleh Navayo dengan kontrak yang disepakati, yang hanya tercatat senilai Rp1,9 miliar dari total kontrak sebesar Rp306 miliar.
Ancaman Hukum dan Tindakan Ke Depan
Pemerintah Indonesia, menurut Yusril, tidak akan ragu untuk mengajukan Navayo sebagai tersangka tindak pidana korupsi, apabila cukup bukti untuk mendukung hal tersebut. Jika penyidikan mengarah pada keterlibatan perusahaan dalam praktik korupsi, maka Interpol akan dilibatkan untuk mengejar para pelaku dan membawa mereka ke Indonesia untuk diadili.
Selain itu, Yusril mengimbau kepada seluruh kementerian dan lembaga terkait agar lebih berhati-hati dalam merancang kontrak internasional, dengan memastikan bahwa setiap kesepakatan disusun berdasarkan prinsip kehati-hatian dan telah melalui konsultasi yang matang dengan pihak-pihak terkait, termasuk Kemenko Kumham Imipas dan Kementerian Hukum.
Penyelesaian Transparan dan Adil Jadi Prioritas
Kasus sengketa dengan Navayo ini menjadi pembelajaran penting bagi Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menjalin kontrak internasional. Pemerintah Indonesia bertekad untuk menyelesaikan kasus ini dengan cara yang transparan, adil, dan berlandaskan hukum yang kuat.
Oleh karena itu, untuk memastikan penyelesaian yang efektif, sebuah Satuan Tugas (Satgas) yang dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum, Nofli, akan dibentuk.
Penanganan yang tegas dan komprehensif terhadap kasus ini akan menjadi prioritas utama, guna menjaga nama baik Indonesia di dunia internasional serta melindungi aset negara.