Tarif Impor dan Tragedi Gaza Saat Ekonomi Global Digunakan untuk Membungkam Kemanusiaan dan Mengalihkan Perhatian

Foto udara sebuah kapal bersandar di Pelabuhan Teluk Bayur, Kota Padang yang merupakan pintu utama ekspor dan impor dari dan ke Sumatera Barat. (antranws).

GardaNTT.id – Kebijakan tarif yang diberlakukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bukan sekadar instrumen proteksi ekonomi. Menurut Ekonom Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat, Syafrudin Karimi, tarif impor ini adalah bagian dari arsitektur kekuasaan global yang sengaja menciptakan kekacauan agar dunia kehilangan fokus terhadap isu-isu kemanusiaan seperti tragedi berkepanjangan di Gaza.

“Kebijakan tarif Trump bukan sekadar soal neraca perdagangan, melainkan mencerminkan arsitektur kekuasaan global yang memungkinkan kekejaman tetap berlangsung selama angka ekonomi terlihat ‘stabil’,” kata Syafrudin dalam sebuah pernyataan di Padang, seperti dikutip dari antara news pada Senin (14/4/2025).

Ia menyoroti bagaimana ekonomi global saat ini tidak lagi sekadar tentang efisiensi, tapi juga tentang narasi dan kontrol. Tarif impor digunakan bukan hanya untuk melindungi industri dalam negeri, melainkan juga untuk “mengatur ulang narasi global, mengalihkan perhatian dari kejahatan kemanusiaan dan melindungi kepentingan geopolitik tertentu.”

Dalam konteks ini, ekonomi menjadi alat penekan yang efektif, membungkam solidaritas atas nama stabilitas. Dunia berada di titik kritis, di mana kebutuhan akan keseimbangan ekonomi sering kali bertabrakan dengan suara-suara kemanusiaan yang kian terpinggirkan.

Syafrudin menyebutkan bahwa kebijakan tarif proteksionis dan kebungkaman terhadap kekerasan sistemik di Gaza merupakan “dua wajah dari kekuatan yang sama yakni kekuasaan yang menekan lewat ekonomi dan membungkam lewat ketakutan.”

Kekhawatiran terhadap pembalasan ekonomi dari negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, menjadi alasan mengapa banyak negara enggan menyuarakan kecaman terhadap tragedi kemanusiaan. Hubungan dagang berubah menjadi senjata diplomatik, dan “solidaritas kemanusiaan pun dijadikan sandera.”

Menurut Syafrudin, “Inilah wajah ekonomi global hari ini yakni efisien, tapi membungkam.” Di tengah arus globalisasi yang menyamaratakan angka sebagai tolok ukur keberhasilan, aspek moral perlahan terpinggirkan.

Indonesia pun tidak luput dari dampak tarif proteksionis AS. Produk-produk unggulan seperti tekstil, komponen elektronik, dan hasil industri manufaktur lainnya terkena imbas langsung.

Efek domino pun tak terhindarkan pengangguran meningkat, kemiskinan membayangi, dan konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi.

Namun, di tengah tekanan tersebut, Indonesia tetap mempertahankan posisinya sebagai pembela Palestina. Sebuah dilema moral dan politik yang tidak mudah: menjaga suara kemanusiaan di tengah tekanan ekonomi global yang nyata.

Syafrudin menegaskan bahwa “menolak tarif sepihak dan berdiri bersama Gaza bukanlah dua agenda terpisah, melainkan satu perjuangan yang sama untuk menjaga integritas dunia yang manusiawi.” Ia mendorong agar Indonesia dan negara-negara lain melihat ekonomi sebagai “ruang moral” bukan hanya sekadar kalkulasi untung-rugi.

Sebagai solusi, Indonesia harus mengambil langkah strategis. Diversifikasi pasar ekspor menjadi penting, terutama ke kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.

Diplomasi perdagangan pun perlu diarahkan ke arah solidaritas, membentuk blok dagang alternatif yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan.

Kebijakan fiskal yang ekspansif dan tepat sasaran, terutama di sektor padat karya dan pasar domestik, juga krusial. Tidak kalah penting, penguatan industri dalam negeri harus menjadi prioritas utama demi mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor utama.

Langkah visioner lainnya adalah dengan menginisiasi forum internasional untuk membahas etika perdagangan global. Ini bukan hanya sebagai respons atas ketimpangan yang ada, tapi sebagai upaya nyata untuk menyeimbangkan logika pasar dengan nurani kemanusiaan.

Desa Haju