Argumen “Ad Hominem”

Antonius Nesi (foto dok. pribadi)

Oleh: Antonius Nesi*

Meskipun dalam suatu dialektika hal yang dipentingkan ialah objektivitas fakta dan autentisitas alat bukti, suatu konstruksi argumen yang paten dari seorang pendebat dapat saja meruntuhkan uraian fakta dan alat bukti, apalagi fakta dan alat bukti yang disajikan lawan telah dimanipulasi sedemikian rupa. Model argumen ad hominem sebagai suatu tipe konstruksi serangan di dalam retorika tidak seutuhnya dipandang negatif. Ada sisi positif dari suatu serangan terhadap pribadi yang justru dinilai relevan dan kredibel.    

Menyitir Walton (2008), argumentum ad hominem, ‘argumen yang ditujukan kepada orang itu’, merupakan salah satu variasi retorika yang dapat dimanfaatkan seorang pendebat untuk melakukan serangan dengan memanfaatkan kelemahan pribadi lawan. Dalam beberapa kasus, mengumbar perilaku, karakter, motif, dan sejenisnya relevan untuk membuktikan suatu klaim, tetapi serangan balik dari lawan dapat saja meruntuhkan konstruksi itu manakala argumen beserta alat bukti yang disajikannya lebih terang dari cahaya.

Dua Sisi Ad Hominem

Sebenarnya semenjak zaman Yunani kuno para filsuf telah menyajikan suatu model retorika yang bermartabat. Di dalam salah satu karya monumentalnya Sophistic Refutations, Aristoteles menguraikan tentang argumen ad hominem yang tidak salah (argumentum ad hominem nonfallacious). Dalam model argumen tersebut, konsep dan asumsi lawan digunakan sebagai bagian dari strategi dialektik untuk menggiring lawan dengan menunjukkan ketidakseimbangan argumen melalui serangan pribadi. Konsep dan asumsi lawan debat itu perlu diuji menuju ke pembuktian kebenaran materil.

Model argumen ad hominem nonfallacious dalam diktat Sophistic Refutations itu terutama ditujukan kepada pribadi lawan tetapi tanpa menyerang sifat atau karakter pribadinya. Artinya, di dalam upaya menuju ke pembuktian ada subjektivitas tetapi subjektivitas itu sendiri harus mengandung kebenaran objektif, bukan fitnah. Ringkas kata, argumentipe ad hominem nonfallacious wajar digunakan di dalam suatu ajang debat tetapi dengan syarat perlu ada hubungan logis antarpernyataan disertai alat bukti yang sahih.

Model argumen ad hominem nonfallacious dapat terformulasi dalam dua bentuk, langsung dan tidak langsung. Pada bentuk langsung, pendebat dapat mengungkapkan maksudnya secara eksplisit, terus terang, apa adanya. Sebaliknya, dalam bentuk tidak langsung, pendebat dapat mengimplisitkan maksudnya, yakni memberi kesempatan kepada lawan debatnya untuk memahami maksud tersembunyi di balik pernyataannya.

Pernyataan, “Mulutmu besar sekali, terlalu banyak dalil abstrak yang Anda sajikan di sini” adalah argumentum ad hominem nonfallacious tipe langsung bergaya hiperbol. Pernyataan itu berbeda jika pendebat memilih untuk menyatakan, “Banyak orang selalu menyajikan dalil-dalil abstrak serupa khotbah tanpa pernah mempraktikkannya” justru bergaya sinisme yang secara tidak langsung menyerang pribadi lawan, sehingga dapat dikategorikan sebagai argumentum ad hominem nonfallacious tidak langsung.  

Meskipun semenjak awal para filsuf merekomendasikan penggunaan model argumen ad hominem nonfallacious,pada kenyataannya banyak ditemukan penggunaan model argumen ad hominem yang keliru, salah, bahkan sesat (argumentum ad hominem fallacious). Serangan terhadap pribadi yang sedianya adalah seni dan keterampilan untuk menguji kebenaran materil dari adanya inkonsistensi pendebat justru disalahgunakan dengan melakukan serangan terhadap pribadi lawan secara membabi-buta, seperti mengumbar sisi kelemahan fisik, psikis, karakter, bahkan perilaku moral. Penggunaan argumen ad hominem fallacious ini justru berpotensi merusak reputasi diri sendiri sebagai pendebat serta menurunkan derajat topik atau objek materil perdebatan.

Harus “Lebih Terang dari Cahaya”

Model argumen ad hominem nonfallacious tidak langsungtampaknya merupakan jalan tengah untuk keluar dari suatu dialektika yang tidak bermutu atau jika para pendebat ingin menjauhkan diri dari kesan debat kusir. Kredibilitas pernyataan di dalam suatu debat justru harus mengandung kebenaran objektif. Meskipun seorang pendebat dapat saja menyerang pribadi lawan, ia mesti lebih mengutamakan harkat dan martabat dirinya sendiri di satu sisi serta menghargai lawan debatnya di sisi lain.

Dalam catatan Walton (2008), terkadang argumen ad hominem dikaitkan dengan tu quoque ‘untuk kamu juga’. Artinya, selain suatu serangan ‘tertuju kepada orang itu’ (lawan), juga sebenarnya tertuju kepada diri sendiri. Hal itu ibarat ketika jari telunjuk diarahkan ke muka orang lain secara bersamaan ibu jari ikut menunjuk diri sendiri. Kehati-hatian untuk menyajikan tuduhan kepada orang lain, meskipun dalam formulasi ad hominem nonfallacious tidak langsung harus juga dibarengi dengan bukti. Hal itu disebabkan di dalam adu argumentasi, hal yang dipentingkan ialah alat bukti sebagai saksi (saksi bisu). Dalam konteks persidangan pidana, misalnya, berlaku asas ‘probationes bedent esse luce clariores’, ‘alat bukti harus lebih terang dari cahaya atau seterang cahaya’.

Menuduh seseorang, misalnya, sebagai ‘pribadi ganda’ seperti yang dipersoalkan pengacara Sambo di dalam sidang pidana kasus Sambo, cs., harus diwaspadai bahwa secara psikologis umumnya seorang manusia senantiasa memiliki dua sisi tetapi sisi manakah yang lebih dominan itu harus dibuktikan melalui autopsi psikologis dengan melibatkan secara langsung pribadi bersangkutan, bukan sekadar kata orang lain – ahli sekalipun – tentangnya. Pernyataan yang tidak disertai alat bukti, atau, kalaupun disertai alat bukti tetapi alat bukti yang disajikan  itu ‘tidak lebih terang dari cahaya’, maka argumen yang dikemukakan justru gampang dipatahkan manakala lawan menggunakan strategi tu quoque. Apalagi, ia dengan sangat meyakinkan dapat menunjukkan alat bukti yang tampak ‘lebih terang dari cahaya’.    

Penggunaan model argumen ad hominem di dalam suatu debat, bahkan di dalam suatu kasus pidana, wajar saja digunakan pihak mana pun. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa serangan pribadi secara inheren sangat berbahaya, apalagi proposisi serangan tidak didukung fakta dan alat bukti yang valid. Oleh karena itu, penggunaan model argumen ad hominem dalam suatu debat perlu ditempatkan dalam konteks kebermaknaan argumen itu sendiri terhadap objek materil, bukan semata pada alibi untuk mengumbar kepribadian lawan, atau mempertontonkan sisi negatif pribadi lawan.*

*Penulis adalah Dosen Unika St. Paulus Ruteng; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Semarang

Desa Haju