Oleh: Sil Joni
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik
Buku, untuk sebagian orang masih memesona. Mereka begitu intens dan tekun melahap nutrisi intelektual yang tersaji dalam buku. Membaca buku, bagi orang-orang semacam itu, menjadi makanan pokok dan sebuah tradisi yang menyenangkan.
Tetapi, harus diakui bahwa mayoritas manusia di republik ini, tidak menjadikan buku sebagai kebutuhan primer. Buku dianggap benda yang tak ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan yang pragmatis-ekonomis. Aktivitas membaca buku dipandang sebagai kegiatan yang membosankan dan memboroskan waktu saja.
Hari ini, Jumat (23/4/2021) kita merayakan Hari Buku Sedunia. Tentu, bukan ritual seremonial temporal yang menjadi fokus perhatian kita. Peringatan Hari Buku mesti menjadi momentum untuk merefleksikan dan menggugat kesadaran kita tentang pergaulan kita dengan buku. Apakah buku telah menjadi ‘harta berharga’ yang selalu kita buru setiap hari? Bagaimana nasib buku kertas (cetak) di tengah era perubahan saat ini?
Kata (verbum) yang pada jaman nir-leka (pra-sejarah) hanya hidup dalam dunia ide dan diungkapkan secara oral, mengalami proses inkarnasi setelah ditemukannya aksara dan buku. Kata itu mengalami penjelmaan seutuhnya di atas kertas (verbum incarnatum).
Sejarah mencatat bahwa proses inkarnasi kata ke dalam huruf dan buku, menjadi cikal bakal perubahan dan kemajuan peradaban manusia dari masa ke masa. Hanya dalam dan melaui buku, pelbagai ide kreatif dan penemuan revolusioner yang mempengaruhi gerak jaman, bisa dilestarikan dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Horison berpikir dan alam imajinasi manusia pun, mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menakjubkan.
Ada korelasi yang erat antara kemajuan negara dengan kesadaran warganya perihal pentingnya ‘bergaul dengan buku’. Pelbagai hasil survei menunjukkan bahwa negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Amerika, dll memperlihatkan kebenaran tesis di atas. Membaca dan memproduksi buku di negara-negara tersebut sudah menjadi kultur dan kebutuhan hidup.
Hasil studi dari United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) misalnya, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Tentu ini, jauh tertinggal dengan negara-negara maju yang peringkatnya jauh di atas Indonesia.
Sementara, survei berbeda bertajuk “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Itu berarti peringkat Indonesia dalam hal minat baca menempati posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti.
Di era revolusi 4.0 yang ditandai penggunaan internet secara massif, tampilan buku ikut bertransformasi. Dulu buku itu selalu identik dengan kertas. Tetapi, di era teknologi digital saat ini, kita menyaksikan tampilnya buku imajiner yang terpatri pada layar komputer. Kehadiran buku virtual (digitalisasi buku) dalam ruang maya, semakin semarak saat ini.
Dengan demikian, akses untuk mendapatkan buku-buku berkualitas semakin mudah. Tetapi, faktanya minat baca kita tetap saja rendah. Kehadiran buku digital tak berbanding lurus dengan meningkatnya habitus membaca.
Itu berarti masalah utama kita sebenarnya tidak terletak pada minimnya ‘stok buku/bacaan’ bermutu, tetapi lebih kepada masalah budaya. Sepertinya, pesona budaya oral (bincang-bincang) jauh lebih memikat ketimbang budaya tulis. Kita belum beranjak dari jebakan dilema kultural semacam ini.
Membaca buku di negara ini, untuk sebagian besar warganya, belum menjadi kebutuhan primer. Kondisi ini tentu berimplikasi pada mutu sumberdaya manusia yang kurang kontributif bagi akselerasi kemajuan bangsa dan negara. Selagi problem kultural dalam hal berliterasi ini belum terpecahkan, maka rasanya sulit bagi Indonesia untuk mengalami semacam ‘lompatan kuantum’ dalam berkompetisi dengan negara-negara yang sudah sangat maju di semua lini.
Baca Juga: Frater, Salahkah Aku Mencintaimu?
Baca Juga: Perempuan di Ruang Publik