Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Dosen IPB Kupas Ketahanan Pangan di ICEHHA Unika Santu Paulus Ruteng

Prof. Dr. Ir. Andreas Santosa, MS (Foto: Dok. Panitia ICEHHA)

Prof. Andreas pun melihat perkembangan pangan Indonesia sejak kepemimpinan Presiden Soekarno.

“Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno 1946, Indonesia mencapai puncak kejayaan penghasilan beras. Beras di ekpor  0,5 m ke India. Kejayaan itu tidak berlangsung lama. Hingga akhir 1959, harga beras mulai mahal karena dipicu oleh rendahnya produksi beras. Keadaan semakin memburuk. Antara tahun 1959 sampai 1964 Indonesia menjadi negara impor tersebar di dunia disebakan oleh kerawanan pangan dan pergolakan sosial (perebutan kekuasaan secara paksa oleh PKI, kemudian Soeharto Ambialih kekuasaan. Era presiden Soeharto tahun 1984, pangan Indonesia stabil. Bahkan di tahun yang sama, Presiden Indonesia mendapat penghargaan dari Food and Culture Organization karena berhasil mempertahankan stabilitas pangan dalam negeri. Namun, beberapa tahun kemudian, yakni 1992 – 1998 Indonesia kembali menjadi negara impor terbesar di dunia. Impor beras begitu besar menyebabkan krisis monoter dan terjadinya pergolakan sosial berujung pada runtuhnya pemerintah Soeharto. Lebih tepat penyebabnya bukan karena krisis monoter, namun karena krisis pangan. Bahkan, tahun 2004 – 2006 sekitar 37 negara mengalami krisis pangan karena la nina dan kurangnya produksi pangan. Krisis pangan dunia disebabkan oleh kekerasan terhadap orang (genosida) pergolakan pemerintah di Afrika Utara dan Timur tengah sehingga banyak pengungsi dari Afrika ke Eropa dan Amerika. Bahkan, tahun 2019 orang Sudan berdemonstrasi menggulingkan presiden akibat krisis pangan,” jelas pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Desa Haju

Prof. Andreas menambahkan, berdasarkan data yang dimilikinya sejak 2001 hingga 2017 ditemukan selisih yang cukup besar.

“Kalau kita mau jujur, produksi pangan, khususnya padi di tanah air kurun waktu belasan tahun terakhir tidak melulu mengalami kenaikan. Kadang naik, kadang turun setiap tahunnya. Kalau kita melihat data pangan yang ada, terjadi kenaikan terus yang dapat menyebabkan adanya selisi data pangan yang ada dengan realitas di lapangan. Jika data pangan tidak akurat dengan realitas maka dapat merugikan semua elemen, seperti petani, pedagang/pelaku usaha, dan konsumen,” kata Prof. Andreas.