GardaNTT.id – Menjelang Lebaran, fenomena yang tak jarang terjadi adalah tuntutan uang Tunjangan Hari Raya (THR) dari organisasi masyarakat (ormas) kepada pelaku usaha besar maupun kecil.
Meskipun sering kali dikemas dalam bentuk permintaan yang disertai dengan alasan kebiasaan atau kebutuhan, kenyataannya, aksi ini sering kali berujung pada tindakan yang meresahkan dari pemerasan hingga pengancaman yang dapat merugikan banyak pihak.
Dalam beberapa kasus, bahkan tindakan kekerasan terjadi, seperti yang baru-baru ini terjadi di Tangerang dan Bekasi.
Di Tangerang, dua satpam dari SMKN 9 Tangerang menjadi korban penusukan dan penganiayaan oleh anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setelah menolak permintaan THR mereka. Sementara itu, di Bekasi, seorang pria yang mengaku sebagai ‘jagoan Cikiwul’ dipolisikan setelah terbukti melakukan pemalakan terhadap sebuah perusahaan.
Tak hanya ormas, bahkan oknum aparatur sipil negara (ASN) juga terlibat dalam praktik serupa, seperti yang terjadi di Pasar Induk Cibitung, Kabupaten Bekasi.
Selain itu, fenomena ini juga merambah ke instansi kepolisian, di mana seorang anggota Bhabinkamtibmas Polsek Metro Menteng, Jakarta, dilaporkan meminta THR kepada sebuah hotel.
Akibatnya, anggota bernama Aipda Anwar itu harus menjalani penempatan khusus untuk pemeriksaan lebih lanjut oleh Propam Polres Metro Jakarta Pusat.
Perspektif Sosial dan Ekonomi
Fenomena permintaan THR oleh ormas dan kelompok lainnya bukanlah hal baru di Indonesia. Menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta, praktik ini sudah berlangsung lama, namun tahun ini fenomena tersebut terjadi secara sporadis dan meluas di berbagai wilayah. Ia mengaitkan hal ini dengan kondisi ekonomi Indonesia, yang cenderung memberi dampak pada kelompok menengah ke bawah.
Widyanta juga menambahkan bahwa dengan pengeluaran yang meningkat selama bulan Ramadan dan Lebaran, kelompok-kelompok tertentu merasa perlu untuk mencari tambahan pendapatan, bahkan dengan cara yang kontroversial, seperti memalak dengan alasan THR.
“THR hanya menjadi momentum untuk melakukan pemalakan. Praktik semacam ini jelas merugikan sektor swasta yang bergerak di bidang bisnis,” ujar Widyanta seperti dikutip dari CNN Indonesia pada Selasa (25/3/2025).
Ia juga berpendapat bahwa fenomena ini merupakan bagian dari spiral kekuasaan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Ketidaknyamanan di Dunia Usaha
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengungkapkan bahwa fenomena permintaan THR ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan pelaku usaha. Menurutnya, ormas seharusnya bukanlah pihak yang berhak mendapatkan THR karena mereka bukan mitra atau bawahan dari pengusaha.
“Jika ormas menganggap dirinya sebagai atasan pengusaha, maka mereka merasa berhak diberi THR,” ujarnya.
Adrianus juga menyebutkan bahwa ormas atau pihak lain yang tidak memiliki akses untuk memperoleh THR akan berusaha keras untuk mendapatkannya dari mereka yang dianggap mampu, termasuk melalui cara-cara yang merugikan. Untuk itu, ia menegaskan pentingnya upaya serius dari kepolisian untuk mengatasi masalah ini.
Kepolisian dan Antisipasi yang Masih Kurang
Dalam hal ini, Polri seharusnya sudah memiliki langkah-langkah antisipasi yang lebih matang mengingat fenomena ini adalah masalah tahunan. Menurut Adrianus, persiapan untuk mengatasi praktik pemerasan yang melibatkan ormas harusnya sama seriusnya dengan persiapan Korlantas dalam mengelola arus mudik dan balik Lebaran.
Namun, ia menilai Polri belum serius dalam menangani masalah ini, meskipun sebelumnya Mabes Polri menyatakan komitmennya untuk menindak tegas ormas yang terlibat dalam aksi pemerasan dan pungutan liar (pungli).
“Polri seharusnya lebih siap dan tidak hanya merespons dengan retorika. Mereka perlu tindakan yang nyata agar tidak memberi ruang bagi praktek-praktek seperti ini untuk terus berkembang,” tegasnya.
Perlindungan Negara yang Masih Terabaikan
Fenomena permintaan THR oleh ormas dan kelompok lainnya menjelang Lebaran menambah daftar panjang masalah ketidaknyamanan yang dialami oleh pelaku usaha dan masyarakat. Praktik pemerasan yang dilakukan dengan alasan tradisi THR memperlihatkan adanya celah dalam sistem perlindungan hukum dan pengawasan yang seharusnya diberikan oleh negara.
Peran negara, terutama dalam hal penegakan hukum dan pengawasan terhadap organisasi masyarakat, harus lebih tegas dan terstruktur agar tidak ada ruang bagi tindakan-tindakan yang merugikan, baik bagi pelaku usaha maupun masyarakat.
Jika hal ini terus dibiarkan tanpa solusi yang jelas, dampaknya bisa semakin besar dan merugikan stabilitas sosial dan ekonomi negara.