Gerardus Kuma
Guru SMPN 3 Wulanggitang, Flores Timur
Dunia pendidikan tanah air kembali berduka. Kabar duka datang dari sekolah menyusul terjadi tindakan penikaman oleh orang tua siswa terhadap Kepala SDI Ndora, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Ngada pada Selasa (08/06/2021). Peristiwa yang terjadi di sekolah tersebut membuat sang guru harus dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ende. Namun, bantuan medis tidak dapat menolong sang guru hingga akhirnya menemui ajal. Sang guru meninggal dengan tenang pada keesokan harinya, Rabu (09/06/2021). Kita doakan semoga sang Kepsek mendapat tempat yang layak di surga.
Sebagaimana diberitakan (florespos.net, /09/06/2021), peristiwa penganiayaan terhadap guru tersebut dipicu tindakan sekolah memulangkan siswa yang merupakan anak pelaku saat ujian akhir semester, karena uang komite sekolah belum dilunasi oleh orang tua. Ayah siswa tidak menerima tindakan guru dan mendatangi sekolah. Setiba di sekolah, dengan membawa pisau, pelaku menunjuk-nunjuk para guru sebelum menikam kepala sekolah di perut bagian kanan.
Tindakan kekerasan terhadap guru ini tidak dipisahkan dari tindakan sekolah memulangkan siswa. Peristiwa pemulangan siswa seperti ini bukan hal baru, juga bukan baru terjadi sekarang. Tindakan ini sering dilakukan sekolah saat menjelang ujian semester. Namun, tindakan demikian dilakukan bukan tanpa dasar. Sering menjadi alasan dibaliknya adalah orang tua (siswa) belum memenuhi kewajiban melunasi uang komite.
Ketika tindakan yang diambil sekolah ini menjadi konsumsi publik, muncul sikap pro-kontra. Ada yang mengamini, ada yang mengecam. Tentu dengan alasan masing-masing. Biasanya mereka yang mengkritik sekolah dengan dalih bahwa tindakan memulangkan siswa menjadikan siswa sebagai korban. Pembayaran uang komite merupakan tanggung jawab orang tua. Siswa tidak bersalah atas kelalaian orang tua. Karena itu, tidak pantas kelalaian orang tua dilimpahkan atas anak. Anak harus tetap mendapat hak atas pendidikan walau uang komite belum dilunasi orang tua. Intinya jangan mengorbankan anak didik.
Sementara bagi mereka yang mendukung tindakan sekolah memulangkan siswa beralasan bahwa antara hak dan kewajiban harus berjalan seimbang. Siswa sudah mendapatkan hak atas pendidikan di sekolah, maka orang tua harus segera melunasi kewajiban membayar iuran komite sekolah. Kewajiban terhadap sekolah tidak boleh diabaikan agar pendidikan tetap berjalan normal. Karena itu, memulangkan siswa adalah tindakan tepat dengan maksud orang tua bisa secepatnya memenuhi kewajibannya.
Mencermati argumentasi masing-masing pihak di atas, semuanya dapat diterima. Anak memang harus dilindungi. Hak anak mendapatkan pendidikan harus dijamin. Sisi lain, kebutuhan hidup guru terus menuntut pemenuhan. Karena itu, melunasi kewajiban membayar gaji guru honorer tidak boleh ditunda-tunda.
Sebagai guru, saya yakin bahwa tindakan memulangkan siswa yang dilakukan sekolah diambil sebagai keputusan akhir. Tentu, proses pemberitahuan atau penyampaian ke orang tua telah dilakukan sebelumnya. Artinya, segala upaya telah dilakukan sekolah, namun respon orang tua terhadap pemberitahuan dari sekolah bisa jadi kurang baik. Dengan memulangkan siswa sekolah tidak bermaksud mengorbankan siswa. Tindakan ini diharapkan ada respon yang positif dari pihak orang tua.
Di sini komunikasi antara orang tua dan guru sangat penting. Sikap saling terbuka menjadi pintu masuk mengurai persoalan ini. Bila orang tua belum bisa melunasi iuran komite mesti ada penyampaian secara terbuka kepada sekolah. Toh, keterlambatan pembayaran iuran komite sekolah tidak hanya terjadi di satu sekolah saja. Apabila komunikasi terbangun dengan baik, tindakan memulangkan siswa tidak akan dilakukan sekolah.
Tentang iuran komite yang menjadi dasar pemulangan siswa, di kalangan masyarakat awam banyak orang masih mempertanyakan hal tersebut. Mengapa harus ada uang komite sementara sekolah sudah mendapat dana Bantuan Operasional Sekolah dari pemerintah? Pemahaman ini tidak keliru tetapi tidak utuh. Sebagai guru, sependek yang saya tahu, pemanfaatan uang komite lebih banyak diperuntukkan bagi pembayaran gaji guru honorer selain kegiatan pendidikan yang tidak dibiayai dari dana BOS.
Sementara dana BOS yang diterima sekolah penggunaannya sudah diatur dalam petunjuk teknis. Karena itu, segala aktivitas di sekolah tidak semuanya dibiayai dari dana BOS. Termasuk di dalamnya pembayaran gaji guru honorer. Aturan dana BOS memperbolehkan hanya 50 persen total dana BOS bagi sekolah negeri untuk membayar gaji guru honorer. Tidak semua guru honorer di sekolah mendapatkannya. Hanya guru honorer yang sudah memiliki NUPTK yang boleh mendapat gaji dari dana BOS. Sementara guru honorer yang tidak memiliki NUPTK tidak berhak mendapat gaji dari dana BOS.
Sementara realitas di sekolah masih ada guru honorer yang belum memiliki NUTPK. Untuk mengatasi masalah ini, maka iuran komite dari orang tua siswa menjadi solusi. Tentang guru honorer, nasibnya memang masih memprihatinkan soal upah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa besarannya masih jauh dari layak. Guru honorer masih diupah lebih rendah dari UMR.
Tidak seperti guru negeri yang memiliki gaji sama berdasarkan masa kerja dan golongan, besaran gaji guru honorer bervariasi setiap sekolah. Memprihatinkan, di tengah biaya kebutuhan hidup yang terus mencekik leher, seorang guru honorer masih dibayar dengan Rp. 300.000 setiap bulan. Gaji guru yang demikian pun harus ditunggak pembayarannya sampai berbulan-bulan karena mandeknya uang komite.
Mari kita mendudukkan persoalan ini secara proporsional tanpa mengorbankan hak anak akan pendidikan dan juga tidak mengabaikan hak hidup guru yang layak.
Refleksi Atas Kematian Ibu Azi Delfina
Apa pun alasan di baliknya, peristiwa penikaman yang mengakibatkan kematian ibu Azi Delfina harus dikutuk. Ini adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Peristiwa ini merefleksikan beberapa hal berikut. Pertama, kurangnya rasa hormat akan guru. Peran guru yang begitu mulia dalam mendidik dan membimbing siswa sudah tidak dihargai. Masa lalu, guru sangat dihormati. Seiring perkembangan zaman, penghormatan terhadap guru semakin pudar.
Menurun sikap respek terhadap guru merupakan persoalan umum yang dihadapi dunia pendidikan sekarang. Kelunturan rasa hormat pada guru telah menjadi fenomena umum. Beraneka macam perlakuan buruk yang diterima guru menunjukkan lunturnya sikap hormat pada guru. Tidak hanya dikalangan siswa, tetapi juga orang tua dan masyarakat. Di kalangan murid, tidak segan ada yang melawan guru. Demikian pula orang tua dan masyarakat begitu ringan tangan terhadap guru.
Kedua, tidak ada jaminan keamanan terhadap guru. Aturan yuridis perlindungan profesi guru memang sudah ada. Namun, semua itu belum mampu menjawab keresahan guru akan rasa aman dalam menjalankan tugas profesi. Aneka tindakan kekerasan terhadap guru terus berulang. Perlakuan kasar yang melukai batin maupun fisik terus dialami guru. Kekerasan verbal maupun fisik yang menimpa guru kian hari kian akut.
Sayang, kekerasan dilakukan baik oleh siswa yang dididik guru maupun orang tua yang anaknya didiknya guru. Tindakan kekerasan yang terus dialami guru menunjukkan bahwa hantu kekerasan terhadap guru masih bergentayangan. Hantu kekerasan yang terus mengancam guru ini tentu menimbulkan rasa takut dalam diri guru.
Ketiga, rendahnya perhatian akan nasip guru. Hal ini berkaitan dengan penghargaaan akan dedikasi dan pengorbanan guru, khususnya nasib guru honorer. Perlakuan yang berbeda atas status guru membuat nasib guru honorer di negeri ini tidak menentu. Panggilan hidup menjadi guru (honorer) tidak memberi jaminan hidup yang layak. Karena upah yang diterima guru tidak sebanding dengan dedikasi dan pengorbanan yang diberikan.
Kiranya kekerasan yang menumbalkan Ibu Azi Delfina membuka mata hati semua pihak untuk lebih menghormati guru, memberikan rasa aman bagi guru, dan tidak memandang rendah nasib guru. Mudah-mudahan.