Mari kita ambil contoh lainnya. Praktek semisal rasionalisasi postur anggaran justru sering bergeser menjadi hal yang irasional. Rasionalisasi akal bulus dalam hal mamon ini justru menjebak siapapun ke perangkap tindak koruptif. Praktek mark up serta tambal sulam manajemen nampak sekian nyata. Sedihnya lagi bahwa ia bisa dianggap sebagai satu skill. Jauh dari apa disebut rasa malu dan bersalah. Sejatinya, yang hendak dikatakan adalah, sekali lagi, tak ada yang aneh dan sesat dari upaya rasionalisasi dan dinamika dramatisasi itu. Itu selagi keduanya masih bergerak di lintasan sehat dan positif. Lalu, apa yang menjadi persoalannya?
Tetapi, patut diseriusi bahwa apapun tujuan dari rasionalisasi dan dramatisasi, mesti disejajarkan dengan apa yang disebut kebenaran (obyektif) sebagai standar dasar. Yang mesti diterima sebagai satu conditio sine qua non (syarat mutlak). Rasionalisasi dan dramatisasi harus bertolak dari kebenaran dan serentak tetap setia berpayung pada kebenaran itu. Dan ketika kebenaran itu terpaut erat pada fakta interior dan kenyataan esterior, maka siapapun harus (pasti) maklum: contra factum argumentum non valet. Ya, melawan kenyataan (hal yang sebenarnya) segala pernyataan itu tidak kuat (lemah). Akibatnya, kita hanya berputar-putar sebatas rasionaliasi yang tercecer dan dramatisasi yang kebablasan.
Pilatus yang Patut Disayangi?
Pilatus tak sekedar sebuah nama. ‘Pilatus’ sudah diamini sebagai satu peta buta kehidupan. Ia berisikan aneka tingkah laku yang beraroma tak sedap. Segala kegagahan Pilatus sebagai petinggi terhormat, wali negeri imperium Romanum, di Propinsi Yudea, telah terkudung dalam adegan cuci tangannya dan narasi irasional “Aku tidak bersalah atas darah orang ini”(Mat 27:24). Yang bersalah atas darah orang itu adalah teriakan berjamaah yang menuntut, “Salibkan Dia, Salibkan Dia!”(Yoh 19:6). Padahal, Pilatus memang telah yakin “Aku tidak temukan satu kesalahanpun atas orang ini yang patut dihukum dengan hukuman mati” (Luk 23:34).
Ternyata ‘tindakan cuci tangan’ itu tak cuma loloskan hasrat Pilatus untuk bebas! Tetapi bahwa orang banyak pun diloloskan untuk menghukum yang tak bersalah menurut hukum mereka sendiri. Dramatisasi dan rasionalisasi Pilatus adalah simbolisme kuasa yang tak berdaya. Itulah kuasa yang tak bertaji di hadapan kebenaran ‘terluka’ yang tetap berdiri tegak. Tanpa akting dan tiada kata sedikitpun. Kebenaran itu berdiri kokoh di hadapan pengadilan. Tanpa ada keributan sensasional (para) pengacara. Tanpa dramatisasi penuh ornamen untuk menarik simpati. Tanpa suara menggelegar. Sekedar ingin mengotak-atik rasa solider penuh haru yang menggelikan.
Di balik Pilatus memang terlihat bangunan kuasa yang rapuh. Yang ciut nyali dalam kecemasan, rasa takut, tak nyaman atas kehilangan segala atribut kebesaran kuasa itu sendiri. Bagaimanapun, apakah Pilatus dengan segala sandiwaranya melawan kebenaran tetap terus dihujat? Tanpa mendulang makna di baliknya? Apakah gerak Pilatus itu tak sedang membongkar segala abuse of power di masa kini yang secara licik ingin amankan diri, sambil tega korbankan yang tak bersalah? Serta mengkambinghitamkan yang lain?
Mari kita berimajinasi pula. Ganti sebagai penghakim terhadap kebenaran, dapat dibayangkan bahwa si Pilatus itu sendiri kini sebenarnya adalah seorang terdakwah murni, sah dan meyakinkan! Yang tengah membuang air cuci tangannya ke khalayak (orang banyak). Agar khalayak itu segera tervirus kesetanan dan lebih erat bersatu dalam solidaritas negatif yang destruktif.
Lebih Dari Sebatas Cuci Tangan
Tak pernah boleh terpenjara lagi oleh tindakan cuci tangan. Itulah tindakan licik mencari jalan terbaik bagi diri sendiri. Demi selamatkan diri dari segala keharusan dan kebenaran yang mesti dipikul. Ekspresi dan tindakan lepas tangan adalah bahasa lain dari ketidakpedulian.
Perang terhadap cuci tangan adalah sikap ulurkan tangan! Artinya, ulurkan tangan untuk diborgol oleh karena kebenaran adalah selalu lebih mulia, ketimbang tindakan cuci tangan untuk mengakali khalayak. Dengan segala rasionalisasi dan dramatisasi penuh jebakan.
Dunia kini sudah terlalu sumpek dengan banyak sandiwaranya. Bahkan tak perlu lagi banyak pemeran untuk sebuah aksi teater. Karena, baik si protagonis, si antagonis, serentak mediatornya sebenarnya sudah bersahabat mesrah di dalam ketunggalan diri dan dalam kelompok. Dalam aura politik, misalnya, dalam ungkapan pasar, “Sendiri yang sudah bikin gaduh sana-sini, lalu tampil sebagai penghujat untuk menuduh yang lain. Dan akhirnya bertingkah seolah-olah sekian sibuk mencari sumber kegaduhan dengan segala narasi yang menyesatkan.”
Tetapi, mari kita arahkan seluruh jiwa raga kita pada keagungan Kata-Sikap-dan Tindakan Yesus yang damai, lurus, tenang. Tanpa kepalsuan!
Akhirnya, siapapun kita kini dipanggil menuju DIA yang tersalib. DIA yang adalah kebenaran yang kokoh. Yang tak rapuh diperdayai oleh kuasa suram manapun. Karena DIA yang tersalib adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6). Dia yang senantiasa ingatkan kita dan semesta, “Jika Ya, hendaklah kamu katakan Ya; jika Tidak, hendaklah kamu katakan Tidak, sebab apa yang lebih dari itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37).
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro–Roma