Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Pilatus: Tak Sekedar Cuci Tangan

Ket. Foto: P. Kons Beo, SVD/ Dok. Pribadi

(Suatu Permenungan Lepas)

Oleh: P. Kons Beo, SVD

Rasionalisasi- Dramatisasi Kehidupan

Rasionalisasi itu, muasalnya, punya arti sehat. Di antaranya bahwa ia diterima sebagai “Proses pergantian nilai, tradisi, emosi masyarakat perilaku mereka saat kini, dengan pemikiran dan tindakan yang nampaknya lebih rasioanl” Praktisnya, manusia mesti hadapi, menerima, atau menjelaskan sesuatu dengan diktum-diktum yang masuk akal. Mudah dicerna otak dan dapat dipahami. Tak bertele-tele serta berbelit-belit yang bikin pusing otak! Di ujungnya ada apa yang disebut consolatio intellectualis. Itulah kepuasan akal budi yang tercerahkan. Sisi cognitif manusia sekian berbinar cahaya.

Tetapi, rasionalisasi sebagai satu dinamika tak selamanya berjalan mulus. Bahwa nantinya sesuatu diterima bulat-bulat begitu saja. Uraian ilmiah dokter tentang satu-dua sebab dari sakit yang diderita, misalnya, bisa saja tabrak karang keyakinan bahwa ‘sakit itu tetap tetangga yang buat.’ Sekian modernnya sarkes, tak sesederhana untuk kalahkan dengan mudah penyerahan diri pada  kesaktian mantra-matra si dukun. Tentu ada contoh-contoh lain yang bertebaran sana-sini yang lebih menggigit. Sekedar untuk katakan bahwa “berani tahu” (sapere aude),motto mulia dari Aufklarung itu, bisa juga tak berkutik hadapi tesis-tesis arkais, semisal “dari dulu-dulu memang begitu sudah.”

Dan, ada pula apa yang disebut dramatisasi. KBBI lukiskannya sebagai“hal membuat satu peristiwa menjadi mengesankan atau mengharukan.” Dramatisasi bergerak pada arus afektif. Ia menjelajahi dunia rasa dan kata hati. Dramatisasi menarik atensi impresif.  Kisah-kisah manusia itu mesti berbobot  spektakular. Mendatangkan aura decak kagum. Penuh terperangah keheranan. Hingga diucapkan, “Heran kah, dikau”? Namun, dramatisasi membekaskan pula aura melankolik. Itulah pelukisan kisah-kisah hidup yang menyedot energi keterharuan! Menggumpal dalam baperan.

Maka yakinlah, dunia dramatisasi itu amat apik dalam kawinkan gesture dan diksi. Gerak tubuh dan kata-kata harus menarik simpatik penuh rasa. Karena itu mimik, raut wajah, yang dibungkus ketepataan berkata-kata adalah senjata serentak amunisi ampuh demi menggoyang dunia rasa.

Rasionalisasi-Dramatisasi Vs Kebenaran

Tak ada yang salah, bahkan harus, dengan segala penjelasan yang masuk akal. Demikian pun sepantasnya dimaklumkan segala peran-peran kehidupan dan segala kisah manusia saat ditayangkan sebagai aksi teatrikal. Semua bermuara untuk dapat dipahami, diterima dan lalu disikapi.

Namun, dalam kenyataannya, rasionalisasi dan dramatisasi sering terjebak dalam dirinya sendiri. Alasan sekedar penuh akal-akalan serta segala mimik yang dibuat-buat acapkali menutupi apa yang seharusnya. Di baliknya, bersemayamlah kepentingan yang disamarkan. Di situ, rasionalisasi dan dramatisasi sering berakrobat dalam politisasi linguistik. Diksi diseleksi ketat.  Menata kata dan frase diseriusi penuh teliti. Di situ terjadi apa yang saya sebut saja sebagai hedonisme verbal, yakni nikmatnya il gioco delle parole (permainan kata-kata) dengan karakter hyperbolik yang kental. Demi membius rasa. Praktek literasi sesat ini semakin sempurna oleh polesan mimik yang sungguh hendak memperdayai.

Di ujung dramatisasi, misalnya, ada harapan demi satu compassion. Maksudnya, terlahirlah  daya magnet untuk menarik gejolak turut berbela rasa.  Maka, terbentuklah solidaritas afektif-emosional. Apalagi bila dramatisasi itu digulirkan sebagai teater dari satu adegan playing victim. Seolah-olah sudah jadi korban atau tumbal dari satu prahara politis, misalnya. Dalam dunia sepakbola, cuma satu tekel lemah dari pemain lawan, bisa direaksi dengan ‘erangan penuh kesakitan.’ Namun segera sembuh ketika pemain lawan itu telah diganjar kartu.

Tetapi, kita tak boleh lupa bahwa dramatisasi terjadi amat sengit pula dalam sikap keberagamaan. Ya, dalam dunia yang diyakini sakti, bercitra sakral serta tampakan ulah kesalehan. Jan Walgrave, dalam percakapannya dengan R. Rolheiser, misalnya, berkomentar bahwa “our age contitutes a virtual conspiracy against the interior life” (1998). Praktisnya begini, kita berdoa tetapi jauh dari sikap batin sungguh beriman. Kita mohon pengampunan dan belaskasih, tetapi kita tetap setia  pada pedang dan segala praktek anti belaskasih. Itu terungkap dalam rupa-rupa kekerasan, aksi teror serta variasi tindak penuh kekejaman. Kita terbelah antara sikap batin interior dan ungkapan tindak eksterior yang seharusnya. Dramatisasi agama terjadi saat kita membesarkan Tuhan dengan memperkecil manusia; dengan praktek membela ketuhanan dengan membelah kemanusiaan.