GardaNTT.id-Arus informasi di zaman ini sedemikian deras, malah tak terbendung. Selain penggunaan media sosial yang massif dan hampir menjangkau semua orang, pihak yang turut ambil bagian di dalam pergerakan informasi ini adalah media-media massa, khususnya yang berbasis online. Kehadiran beragam media massa berbasis online memang memiliki sisi positif luar biasa. Aneka berita dan peristiwa tersaji dengan cepat dan dalam hitungan menit, bahkan detik, telah sampai kepada pembaca, lalu diteruskan, dan seterusnya. Namun, salah satu noda kecil yang ada di balik penting dan positifnya media massa berbasis online ialah menjadi terlalu reaktif. Artinya, media-media menyebarkan begitu saja berita atau informasi tentang suatu hal atau peristiwa bahkan sebelum melakukan validasi untuk menguji keabsahannya. Entah apa yang dikejar. Mungkin agar beritanya cepat beredar atau mungkin, sisi gelapnya, semata bermaksud meraup jutaan pembaca yang berdampak pada penghasilan atau pendapatan media bersangkutan. Pada tataran ini media semata menjadi ladang bisnis, bukan corong kebenaran.
Selain reaktif, hal lain yang kurang diperhatikan adalah soal identitas atau hal lain yang semestinya tidak dibenarkan untuk ditayangkan secara βvulgarβ atau tanpa saring atau tanpa penggunaan inisial. Contoh paling umum dan lumrah mengenai hal ini ialah saat terjadi kasus bunuh diri. Adakalanya media tertentu secara gamblang menunjukkan gambar atau secara terang-terangan menyebut nama orang. Ini keliru. Tentu dari sisi etik. Hal ini pun diperparah dengan adanya berita sepotong-sepotong yang tidak memuat nilai edukatif untuk diendap oleh pembaca, misalnya, sekadar masukan ke publik agar mampu mengolah persoalannya bersama orang lain, sehingga kasus serupa tidak kembali terjadi.
Dua noda kecil media massa online di atas juga sangat tampak dalam peristiwa yang melibatkan seorang imam di salah satu paroki di Kabupaten Manggarai Timur. Perihal benar atau tidaknya klarifikasi yang beredar, tetap saja media-media yang paling awal menyebarkan dan mempublikasikan informasi tentang peristiwa ini keliru. Informasi tersebut dilayangkan ke publik tanpa validasi yang berimbang sehingga isinya sarat menyudutkan satu pihak. Media-media ini harus bertanggung jawab dan memiliki kewajiban moral untuk menarik kembali informasi yang kurang tepat yang telah mereka sampaikan ke publik, tentu jika kebenaran tentang peristiwa ini telah terungkap. Media-media ini telah βtersesatβ karena informasi yang mereka berikan terlalu reaktif, apa pun alasan dan tujuannya. Penyebutan media-media ini sebagai yang reaktif makin mantap manakala ada klarifikasi yang beredar tentang pristiwa ini. Selain reaktif, media-media yang secara gamblang menyebutkan identitas mereka yang terlibat dalam peristiwa ini sedikitnya menyalahi kode etik media.
Mengingat dua noda di atas, kita, media-media massa online, yang menjadi corong informasi di tengah kemajuan teknologi dan informasi mesti belajar untuk berhati-hati dan mengenakan kembali kaidah-kaidah yang harus dipatuhinya sebagai media. Hendaknya, beragam media yang ada tidak hanya berorientasi pada bisnis atau jumlah like dan viewers yang berdampak baik bagi media, melainkan berjuang untuk mempublikasikan yang benar. Selain media, kita semua, para pencari dan penikmat informasi yang diberikan media-media, juga diajak untuk tidak asal βsebarβ atau meneruskan informasi. Kita mesti menjadi pembaca bijaksana yang mau βberpikir dua kaliβ sebelum mengklikan jari untuk menyebarluaskan berita yang kita dapat. Kita juga diajak untuk menanggapi aneka informasi dengan mengendepankan sopan santun. Hendaknya kita tidak memberikan komentar-komentar yang mengabaikan nilai-nilai sopan santun.
Demikian surat kecil untuk media, dan kita semua yang membutuhkan kehadiran media. Isi tulisan ini bukan penghakiman atas media massa, khususnya yang berbasis online, terkait sifatnya yang reaktif dan kadang melanggar kaidah media/jurnalisme. Ini hanya surat kecil dan sederhana dari pembaca.
Penulis: Hubert Herianto