Manggarai, GardaNTT.id – UKM Literasi Sastra Universitas Katolik Indonesia (Unika) Santu Paulus Ruteng menyelenggarakan Seminar nasional bertajuk “Eksistensialisme Jean-Paul Sartre” secara daring melalui platform media zoom meeting pada Sabtu (26/3/2022).
Kegiatan ini atas inisiatif UKM Litera. Dua pembicara dalam seminar ini adalah Frumensius Arwan mahasiswa STF Driyakara Jakarta dan Oktavianus Ediwisius Plaja Soge mahasiswa STFK Ledalero.
Frumens membawakan materi tentang Filsafat Jean-Paul Sarte. Dalam penjelasannya dia mengatakan Sartre memfokuskan bagian terakhir Being and Nothingness untuk mengembangkan idenya tentang kebebasan.
Lebih lanjut, mahasiswa asal Manggarai itu mengungkapkan, Sartre juga mengemukakan pandangannya yang terkenal bahwa manusia “bebas secara absolut” sebuah pandangan yang banyak disalahtafsirkan. Di seluruh pemaparan Being and Nothingness, Sartre menguraikan dengan jelas perbedaan antara “kebebasan ontologis” yang merupakan kebebasan memilih dan “kebebasan praktis” yang menyangkut kebebasan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
“Seperti yang dikemukakan beberapa kritikus, kebebasan mutlak bagi Sartre tidak berlaku untuk kebebasan praktis kita, melainkan hanya berlaku untuk kebebasan ontologis kita,” paparnya.
Alumnus Seminari Pius XII Kisol itu juga mengatakan, Sartre berbicara tentang “kebebasan ontologis” manusia, konsepsinya tentang kebebasan sebenarnya lebih dipahami dalam istilah fenomenologis.
Edi Soge selaku pembicara kedua mengatakan eksistensi mendahuli esensi menyatkan pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri, terjun ke dalam dunia dan baru setelah itu ia mendefenisikan dirinya.
Menurut dia, corak eksistensialisme ada dalam sastra. Jika ingin tiba di medan ini, salah satu jalan terbaik ialah menulis (sastra). Menulis sastra merupakan selebrasi terbaik dari ekspresi kebebasan yang berkesadaran.
Kesadaran akan diri yang merdeka dan akan individualitas tampak juga dalam proses kreatif penyair Chairil Anwar yang diungkapkan dalam puisi Aku.
“Sartre mengagungkan kebebasan, dan sosialitas manusia baginya adalah relasi konfliktual, relasi saling mengobjekan. Orang lain adalah neraka (hell is other people). Begitu juga Chairil, menyatakan diri binatang jalang, hidup bebas dalam gaya bohemian dan menampilkan autetisitas dirinya,” ujarnya.
Edi juga menjelaskan bahwa Sartre menolak yang lain, tetapi tidak mungkin bebas dari yang lain. Dia menegaskan tanggung jawab hanya pada being-for-itself pada dirinya sendiri, tetapi itu tidak mungkin bebas dari etika sosial. Chairil juga demikian, di dalam proses kreatifnya, meskipun sedemikian maju, dia toh terjebak dalam tindakan plagiat.
“Dari Sartre dan Chairil kita belajar soal realisasi dan ekspresi diri yang jujur dan autentik lewat menulis. Menulis (sastra) adalah ekspresi kesadaran yang tinggi dan dan dalam jalan ini manusia menjadi bebas,” tutupnya.
Kontributor: Sindi Janggu