Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks
Opini  

Kinipan dan Paradoks  Pembangunan

Krisis Ekologis

Wacana seputar lingkungan menyesaki halaman editorial media massa, kolom berita media-media online, dan tayangan di berbagai kanal media elektronik (You Tube, Tik-Tok, dll) tahun-tahun belakangan ini. Persoalan seputar lingkungan hidup banyak diberitakan, diulas, dan menjadi perhatian dunia internasional. Wakil Presiden RI Ma`aruf Amin saat berpidato di Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim, mengingtkan dunia menghadapi tiga krisis, yakni perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Semua begitu mendesak dan harus segera diatasi (Kompas, 8 November 2022).

Desa Haju

Permasalahan ekologis adalah permasalahan manusia secara universal. Ia menuntut kesadaran bersama dan upaya secara universal pula untuk mengatasinya. Namun, miris melihat realitas saat ini di mana tingkat kesadaran untuk menjaga lingkungan begitu rendah. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Perubahan Iklim di Sharim el-Shikh, Mesir diwarnai pesimisme akan aksi nyata dalam mengatasi krisis iklim. Bagaimana tidak, upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca terkesan hanya sebatas formalitas agar tidak dikucilkan dari panggung dunia internasional atau juga sebagai bahan kampanye dalam perlehatan demokrasi guna mendulang suara. Target untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celcius tidak terpenuhi. Sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terakhir di Glasgow, hanya 29 dari 194 negara yang berkomitmen dengan sungguh untuk menurunkan emisi.

Untuk konteks Indonesia, krisis ekologis atau permasalahan lingkungan memperoleh respon dari banyak kalangan. Di antaranya aktivis lingkungan, lembaga swadaya yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, masyarakat adat, dan juga pemerintah. Dalam upaya mitigasi dan penanggulangan krisis ekologis di tingkat nasional, pemerintah memiliki peran penting. Pemerintalah yang memegang berbagai kebijakan. Khususnya dalam hal pembangnan. Model pembangunan di Indonesia dinilai kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Bahkan metode pembangunan bangsa menjadi salah satu faktor penyebab krisis ekologis. Hal ini dapat ditemukan dalam film dokumenter garapan sutradara Dandi Laksono. Film tersebut di antarannya Sexi Killers dan Kinipan yang diunggah channel You Tube Watch Doc. Sexi Killers menampilkan berbagai aktivitas tambang beserta dampak destruktifnya bagi lingkungan. Tambang batu bara yang dinilai dapat meningkatkan perekonomian rakyat di area seputar tambang dan memacu kualitas pembangunan justru menjadi sumber penderitaan bagi rakyat. Aktivitas tambang hanya menyebabkan polusi udara, bertambahnya angka pengangguran karena rakyat kehilamgan mata pencaharian utamanya, rusaknya habitat berbagai flora dan fauna, dan terlebih lagi rakyat tidak menikmati keuntungan ekonomis seperti yang diharapkan.

Pada bagian akhir film ditampilkan suatu fakta memilukan, bahwa mayoritas tambang yang beroperasi di tanah air dinaungi berbagai perusahaan milik sejumlah pemangku jabatan di negeri ini. Sungguh sebuah ironi bahwa pemerintah turut ambil bagian dalam melahirkan penderitaan bagi rakyat. Pembukaan tambang oleh pemerintah dengan alasan mulia demi pembangunan tidak lebih dari sebuah proses pemiskinan sistemik.

Film dengan judul Kinipan menampilkan persoalan lain. Tetap dengan alasan serupa, yakni demi pembangunan, pemerintah membabat hutan di Kalimantan dalam frekuensi yang besar. Program Swambesada Pangan/Food Estate yang dicanangkan pemerintah membawa dampak buruk bagi lingkungan. Di antaranya turunya kualitas udara dan rusaknya habitat flora dan fauna. Selain itu program Food Estate dibuktikan dalam laporan investigasi sejumlah media massa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seperti kisah seorang warga asal Kelumpang, Kalimantan Tengah, yang mengalami berbagai persoalan akibat proyek pangan yang gagal. Seperti rusaknya hidrologi lahan gambut yang menjadi sumber kebakaran setiap musim kemarau, populasi hewan hutan menurun. Hewan buruan dan buah-buahan hutan menghilang. Belum lagi problem pelanggaran hak asasi masyarakat karena memberikan perlawanan terhadap perusahaan yang beroperasi. Masyarakat merasa ada ketidakadilan, tetapi tidak berdaya (Kompas, 1 September 2022).

Dari berbagai pristiwa yang ada lahir kesan bahwa pemerintah seolah mengabaikan dampak krisis iklim yang makin terasa. Akibat krisis iklim, hampir 90 persen bencana di Indonesia ialah bencana hidrometeorologis atau bersumber dari cuaca ekstream. Pola siklon tropis di Indonesia pun tak normal. Siklon tropis yang normalnya menjauhi khatulistiwa justru mendekati khatulistiwa dalam beberapa tahun terakhir. Laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menyebut, waktu untuk mengatasi krisis iklim amat terbatas, kurang dari 11 tahun. Masikah kepentingan ekonomi dan politik di atas segalanya? Hingga mengabaikan lingkungan?

Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju Desa Haju