Bertanggung Jawab dalam Berpikir

Oleh: Sil Joni

Actus theoria (kontemplasi) terjadi dalam ranah privat. Tak seorang pun yang dapat ‘mengendalikan’ atau membunuh aktivitas berpikir tersebut. Itulah sebabnya, meski tubuh terkurung dalam penjara’, kegiatan berpikir tetap berjalan. Bahkan sejarah mencatat justru ketika berada dalam jeruji bui, beberapa orang memperlihatkan produktivitas dan kreativitas berpikir yang mengagumkan.

Itu berarti kegiatan berpikir itu melampaui fenomen spasio-temporal. Selagi kita berada di semesta fana ini, aktivitas berpikir tak pernah berhenti apalagi dihentikan. Berpikir adalah unsur pembeda yang khas (differentia spesifica) antara manusia dan hewan.  Filsuf Blaise Pascal menegaskan bahwa manusia secara kasat mata lahir untuk berpikir. Seluruh  martabat  dan kewajibannya ada di dalam pikiran tersebut.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebesaran manusia terletak pada pikirannya. Kita hanya mengenal ‘jejak manusia masa lampau’ melalui pikiran yang terekam dalam pelbagai artefak sejarah termasuk karya intelektual dalam bentuk buku. Tak dapat dibayangkan manusia tanpa pikiran.  “Jika terjadi yaitu manusia tanpa pikiran,  maka manusia tidak bedanya dengan sebuah batu atau suatu keburukan”, tegas Pascal.

Diskusi soal status ontologi dari ‘pikiran’ itu, bersifat konklusif. Bahwasannya, pikiran menjadi penanda eksistensi kemanusiaan kita. Tetapi, dengan pengakuan itu, refleksi soal aktus berpikir tidak akan pernah rampung.

Beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan adalah bagaimana semestinya kita berpikir? Apa fungsi dan tujuan dari pikiran yang melayang dalam alam imajinasi kita? Bagaimana caranya agar pikiran itu berdampak positif bagi yang lain? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita kepada suatu afirmasi bahwa manusia, siapa pun engkau,  berpikirlah yang benar dan berpikirlah dengan tanggung jawab, karena itu adalah martabatmu (human dignity).

Tentu, tidak mudah untuk mendefinisikan perihal ‘berpikir yang benar dan bertanggung jawab tersebut’. Soal kebenaran sebuah pikiran, rasanya belum ada jawaban yang absolut dan definitif. Saya kira, memang sebaiknya kita tidak boleh ‘mempersempit’ makna kebenaran dalam berpikir. Setiap pribadi bisa dengan bebas mengeksplorasi potensi berpikirnya dalam memajukan peradaban dan memaknai kehidupannya bersama dengan yang lain.