“Efata” Buat Kepala Daerah Se-NTT

Ket Foto: Dokpri

Bernardus T. Beding

Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng

Peristiwa kerumuman para pejabat se-NTT di pantai Pulau Semau seperti para penderita bisu-tuli. Kalau orang bisu-tuli dalam Injil merupakan penderita fisik, sementara para pejabat yang berkerumun di pantai Pulau Semau boleh dikatakan, mereka adalah penderita bisu-tuli sosial.

Kondisi bisu, tuli, dan cacat membuat orang sangat menderita. Bahkan, bagi umat Perjanjian Lama. Kondisi tersebut dipandang sebagai nasib sial, karena merka tidak bisa mendengarkan Firman Yahwe dan memuliakan kebesaranNya. Orang-orang dalam kondisi seperti itu dibawab kepada Yesus seperti yang dikisahkan dalam Injil Markus 7:31-37. Ketika itu, Yesus dan pengikut-pengikutNya melewati daerah Dekapolis – daerah sepuluh kota yang didirikan serdadu  Yunani setelah kematian  pemimpin legendarisnya, Aleksander Agung – dalam perjalanan menuju Yerusalem.

Tentu, orang membawa penderita bisu-tuli kepada Yesus dengan harapan mendapat penyembuhan. Harapan mereka cukup beralasan. Dari banyak kasak-kusuk, sudah tersiar info tentang Yesus, pemuda Nazareth yang mereka nanti-nantikan. KekuatanNya luar biasa. Mata orang buta diceliknya, telinga orang tuli dibuatnya mampu mendengar, orang lumpuh dibuatnya melompat-lompat seperti rusa.

Namun, Yesus tidak langsung menghadirkan mujizat. Ia terlebih dahulu meyakinkan orang bisu-tuli bahwa diriNya memang dicintai. Yesus memperhatikan kasusnya, penderitraannya, dan mau sungguh-sungguh menyembuhkannya. Karena itu, Yesus menarik dia ke samping, menjauhkan diri dari massa, orang banyak yang hanya menantikan mujizat.

Yesus lalu memasukkan jari ke telinga orang itu, membuka kembali saluran komunikasi. Ia menunjukkan cintaNya kepada pribadi yang menderita itu. Meludahi dan meraba lidahnya untuk membuka kembali komunikasi pada orang yang selama ini tertutup untuk diri dari dunianya sendiri. Kemudian, sambil menengadah ke langit, Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya, “Efata, yang artinya terbukalah!” Sembuhlah orang bisu-tuli itu.

Efata, terbukalah merupakan sebah kata yang indah. Kata ini dipakai juga dalam rumusan liturgi baptis Kristiani, “Efata, terbukalah, supaya engkau dapat mengakui imanmu dan memuliakan nama Tuhan.

”Maksudnya bahwa orang Kristen yang telah mendengarkan Wahyu Tuhan, menerima tugas untuk mewartakan Sabda Tuhan itu. Tangannya harus terbuka siap menolong dan menyembuhkan. Paus gregorius Agung berkata, “Berilah makanan kepada orang yang kelaparan,. Karena kalau Anda tidak memberi, maka Anda membunuhnya.”

Seorang rahib Benediktin, Daniel Durken mengatakan, kata efata harus menjadi bagian hidup kita. Harus kita ucapkan terus menerus. Efata kepada orang kaku pendiriannya, yang tidak kreatif, kepada orang yang sudah kehilangan sense of humor, orang-orang yang selalu sinis, supaya mereka terbuka kepada tantangan dan surprise  yang ada. Dan juga efata kepada kita sendiri, supaya mata kita terbuka akan kebesaran dan keajaiban-keajaiban Allah, telinga terbuka terhadap kebijaksanaan Allah.

Kalau “efata” dibawa ke konteks kegiatan Pengukuhan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD), Jumat (27/8/2021) di Pantai Pulau Semau, Kabupaten Kupang yang dihadiri oleh Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi, dan wali kota dan para bupati se-NTT, serta sejumlah pejabat lainnya memang perlu permenungan ekstra hati-hati. Saya coba membawa peristiwa itu berakar pada kondisi penderita bisu-tuli seperti dikisahkan oleh Penginjil Markus. Tentu dari hati saya mohon maaf jika pelukisan ini kurang pas.

Peristiwa kerumuman para pejabat se-NTT di pantai Pulau Semau seperti para penderita bisu-tuli. Kalau orang bisu-tuli dalam Injil merupakan penderita fisik, sementara para pejabat yang berkerumun di pantai Pulau Semau boleh dikatakan, mereka adalah penderita bisu-tuli sosial. Rasanya para Kepala Daerah se-NTT ini sudah tidak bisa berkata dan menyerukan “tetap menjaga protokol kesehatan” kepada masyarakat. Mereka malah “Bahkan, mereka sepertinya tidak mendengarkan perintah dan arahan Presiden Joko Widodo. Ini artinya mereka sudah bisu dan tuli secara sosial.

Padahal, kalau kita membaca kembali pernyataan-pernyataan Gubernur NTT, beliau sangat pro-aktif terhadap mahsyarakat dan mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo. “….bangsa ini membutuhkan kemajuan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang hebat yang bekerja dengan hati, pikiran, dan keberaniannya. Pemimpin seperti itulah yang didukung sepenuhnya oleh para pemimpin di wilayah NTT. Itu sikap dari seluruh tokoh Nusa Tenggara Timur dan dukungan moril kepada Bapak Presiden Joko Widodo. Kami akan berada di depan, berhadapan dengan siapapun,” demikian sepengpenggalan-penggalan pernyataan Gubernur NTT seperti dirilis dalam akun video YouTube tahun 2019. Inti seruannya: Jangan coba-coba jatuhkan Jokowi! Bagi NTT Jokowi adalah segalanya. Tagar.id (23 sept 2019) untuk kisah ini beri judul penuh tegas: “Gubernur NTT Pasang Badan Buat Jokowi.”

Gelegar pernyataan pemimpin daerah tersebut terbukti dan memberi aroma pasti bahwa kepemimpinan Joko Widodo ada di hati masyarakat NTT. Hal ini dibuktikan dengan suara unggulan masyarakat NTT untuk memenangkannya di dua periode. Bahkan, timbal baliknya Presiden Joko Widodo sering mengunjungi NTT untuk memberi atensi pada kemajuan daerah ini.

Namun, sangat disayangkan peristiwa di Desa Otan, Kecamatan Semau yang berlabel “Pengukuhan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD)” oleh para petinggi pemerintahan daerah NTT bersama jajaran memberi aroma negatif. Yah, mereka benar-benar “menepuk air di dulang”.

Kegiatan penting dan mulia itu oleh sejumlah media publik disematkan sebagai “pesta”. Yah, kalau sudah disebut pesta, ini sangat sensitf pada takaran perasaan. Masyarakat NTT pasti berasosiasi dengan ramai, kerumuman, orang banyak, musik, dan joget, sehingga penjelasan rasional dan logika nalar panitia tidak ada faedahnya. Logika perasaan masyarakat NTT lebih mendominasi sikap.

Sekali lagi, sepertinya kepekaan rasa para pejabat sudah hilang. Kalau mau bilang kasar, tidak ada rasa malu dalam diri mereka ketika mengadakan ‘pesta’ dalam situasi pandemi level 4 yang mencekam ini. Padahal, salah satu budaya yang menjadi “roh” kehidupan masyarakat NTT adalah budaya malu. Hal ini yang saya gambarkan sebagai penderita bisu dan tuli sosial.

Satu sisi, ada rasa ketidakadilan. Ketika masyarakat kecil adakan “pesta”, pihak pemerintah bubarkan. Segala aktivitas untuk pemenuhan kebutuhan rohani, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan dibatasi, dihalangi, bahkan ditiadakan dengan aturan yang dibuat oleh para pejabat daerah sendiri. Tidak salah lahirnya kecemburuan sosial dan wajar kalau masyarakat marah.

“Efata” tepat untuk para kepala daerah di NTT. Artinya, kepala daerah yang telah mendengarkan seruhan Presiden Joko Widodo, menerima tugas untuk mewartakan sabda kesehatan, “Mematuhi Protokol Kesehatan”. Tangannya harus terbuka siap menolong dan menyembuhkan rakyat NTT dan daerah pimpinannya dari rayap virus korona. Pesan Paus gregorius Agung, “Berilah makanan kepada orang yang kelaparan, Karena kalau Anda tidak memberi, maka Anda membunuhnya” pun harus menjadi semangat para kepala daerah di NTT, memperhatikan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Sehingga, sayang ketika kepala daerah yang adalah sumber pewartaan kebaikan, malah menjadi sumber pewarta keburukan.

Barangkali “Efata, yang artinya terbukalah” perlu direfleksikan buat para peserta “pesta” di pantai desa Otan, Pulau Semau. Saya pun memiliki keyakinan mereka pasti memiliki a side of interior life. Kisah pantai Desa Otan dapat memberi hikmah positif untuk kita belajar keluar dari kebisuan dan ketulian sosial kita. “Efata” harus membawa kesejukan dan secerca harapan bahwa nasib peristiwa itu bukan kata terakhir dalam kepemimpinan dan kehidupan manusia (masyarakat NTT). Tentu, aroma negatif di pantai Desa Otan itu bisa diatasi dan diolah menjadi aroma positif. Dengan “permohonan maaf” dari hati secara publik, kerja keras, dan perjuangan terus menerus memungkinkan peristiwa itu kembali berwibawa di mata masyarakat NTT.

Bulan September merupakan bulan Kitab Suci Nasional untuk Umat Katolik. Dan tahun ini BKSN mengusung tema “Yesus Sahabat Seperjalanan Kita”. Kita semua diajak untuk “bertolak ke tempat yang dalam” menjadi sahabat satu sama lain dalam mengentaskan pandemi ini.

Dalam mengisi bulan ini, baik juga kalau kita menyisikan kesempatan untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci, khususnya dalam keluarga. Ini tentu bukan sesuatu yang baru. Tetapi toh ternyata cukup sulit juga membaca dan merenungkan KS secara sungguh-sungguh. Apalagi melaksanakannya dalam kehidupan nyata setiap hari.

Karena Sabda Tuhan sering menyakitkan. Tapi kalau kita tidak takut untuk masuk ke dalam diri bathin kita sendiri dan memusatkan perhatian pada pada gerak jiwa kita sendiri, kita mengetahui bahwa kita dicintai. Kita bisa mencintai karena kita lahir oleh kasih, kita dapat memberi karena kita hidup dalam anugerah, kita dapat membuat orang lain bebas kalau kita sudah dibebaskan oleh Dia yang hatinya jauh lebih besar dari pada kita.

Sabda Allah bisa mengubah murid-murid yang cemas menjadi sakisi-saksi penuh semangat. Sabda Allah membuat orang menjadi dermawan dan ramah tamah. Sanda Allah memungkinkan kelompok yang tertutup dan picik menjadi terbuka bagi gagasan-gagasan dan pemahaman-pemahaman baru. Siapa pun yang meau memberi perhatian tanpa pamrih, harus kerasan di rumahnya sendiri. Artinya, harus menemukan pusat hidupnya di dalam hati sendiri. Efata, terbukalah.

Desa Haju