Manggarai.GardaNTT.id- 15 sampai 20% kontribusi media sosial terhadap munculnya penyimpangan dan patologi sosial seperti perselingkuhan, perceraian, perkawinan di bawah umur, perundungan (bullying), pemerkosaan, penjualan manusia (human trafficking), bunuh diri, tawuran, meningkatnya gaya hidup konsumeristik dan suka pamer, terkena sindrom ‘fomo’ (fear of missing out; sindrom takut kehilangan moment dan takut kehilangan pengikut di media sosial), dll., yang terjadi di Manggarai Raya selama ini.
Hal tersebut diungkapkan Dosen Unika St. Paulus Ruteng, Dr. Marianus Mantovanny Tapung, sebagai narasumber pada webinar tentang Gerakan Nasional Literasi Digital yang diselenggarakan Kominfo bekerjasama dengan Siber Kreasi dan Indonesia Maju, Rabu (9/6).
Dosen yang akrab disapa Mantovanny itu menambahkan, selebihnya karena faktor seperti kemiskinan, kesenjangan ekonomi, pengangguran, angka putus sekolah, melemahnya kontrol sosial, budaya permisif, dan minimnya pendidikan karakter baik di sekolah maupun di rumah.
Dosen Ilmu Sosial dan Filsafat di Unika St. Paulus Ruteng itu juga mengatakan, mengedepankan tentang rendah keterampilan berpikir kritis ketika berjejaring di media sosial menjadi salah satu penyebabnya.
Menurutnya, rendahnya sikap kritis ketika bermedia sosial bisa berdampak terhadap psikis di mana muncul sikap kurang empati, cepat depresi, gampang emosi, cepat mengambil keputusan fatal, dan tak sabar menunggu hasil karena terbiasa berinteraksi dengan sesuatu yang dampak terhadap fisik, banyak sel otak terdegradasi (lelah) karena rangsangan berlebihan; mengakibatkan turunnya konsentrasi dan berkurangnya memori.
Ia menjelaskan, kecanduan internet susah ditangani ketimbang kecanduan narkotika/alkohol (narkolema:narkotika lewat mata). Tak ada zat yang bisa diluruhkan karena efeknya langsung pada memori. Obat medis hanya untuk menurunkan dopamin dan depresi saja. Dampak psiko-sosial: terkonstruksi gaya hidup konsumptif, pragmatis dan instan. Karena multi dampak ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan kecanduan internet ini sebagai penyakit internasional ke-11.
Menurut Mantovanny, angka 15-20% sangat signifikan dan menjadi lampu kuning untuk mengevaluasi perkembangan peradaban kehidupan masyarakat di Manggarai Raya saat ini. Ketika kurang kuat keterampilan berpikir kritis, maka presentasi ini akan terus bertambah dan sudah pasti mengancam keseimbangan kehidupan masyarakat.
Mantovanny meminta kepada para pemangku kepentingan seperti pemerintah, masyarakat, sekolah, perguruan tinggi, tokoh agama, untuk menjadikan fenomena degradasi peradaban akibat penetrasi digital yang masif yang tidak didukungan oleh keterampilan berpikir kritis yang mumpuni, harus menjadi bahan evaluasi dan refleksi.
“Perlu ada kerja sama yang baik untuk memikirkan secara bersama fenomena ini dan bagaimana mengatasinya pada masa yang akan datang agar tidak menjadi ancaman bagi kehidupan lokal di Manggarai raya, dan juga integrasi dan stabilitas bangsa,” jelas Mantovanny dalam pemaparan materi webinar yang diikuti sebagian besar kalangan mahasiswa, pelajar dan orang muda.
Mantovanny mengungkapkan, pemberdayaan berpikir kritis dalam diri masyarakat menjadi salah satu pilihan dasar (optio fundamentalis) dalam mencegah pengaruh negatif dari media sosial. Keterampilan berpikir kritis mesti diberdayakan sejak dini melalui pendidikan formal mulai di sekolah-sekolah, dan informal di rumah.