Rintihan (Perempuan) Kaum Tertindas
Karya: Maria Rozari Wulandari Jenarut
Aku adalah seorang pelajar SMA yang hidup di sebuah desa yang cukup terbelakang. Aku memiliki hobi dalam menulis apa yang aku lihat dalam kehidupan sehari-hari, seakan menulis menjadi cara untuk meluapkan segala emosi yang membuat dadaku sesak, sejak saat aku menemukan hobi dalam menulis, aku tak pernah menangis, air mata tak pernah lagi hadir membasahi pipiku.
Di desa yang aku tempati, Kebudayaan patriarki sangat tergambar jelas dalam tingkah laku warga desa, seperti keberadaan perempuan yang dipandang sebagai kaum minoritas dan lemah.
Aku perempuan yang sangat dipandang rendah oleh lingkungan sekitarku, karena mukaku yang tak cantik dan kulitku yang tak memenuhi standar kecantikan. Apalagi, Ibuku adalah seorang ibu yang mereka anggap sebagai wanita rendahan, dan miskin, sedangkan ayahku hanya laki-laki yang kecanduan alcohol.
Dia pulang hanya untuk tidur dan memukuli ibuku. Kami hidup dalam rumah yang sederhana, ibu hanya bekerja sebagai buru cuci dan aku seorang anak perempuan yang sedang bersekolah, saat ini masih duduk dibangku kelas 12 sekolah menengah atas (SMA).
Aku ingin keluar dari kebudayaan patriarki dengan bersekolah setinggi tingginya. Karena menurutku Kebudayaan patriarki seringkali membatasi diriku dan wanita di desa ini. Kami seakan dikekang dan tidak bisa untuk menentang kebudayaan patriarki ini.
Namun, kami sebagai wanita berusaha untuk melawanya dengan tindakan menetang. Kami sebagai wanita mulai untuk menentang dengan menjadi wanita yang bersekolah.
Suatu ketika kepala desa yang bernama Santus mengadakan pertemuan di balai desa, pertemuan ini diadakan untuk memperingati perempuan bahwa mereka harus menyadari bahwa mereka hanya perempuan yang berposisi di belakang laki-laki dan semua warga desa pun berkumpul, mereka bercengkrama dengan sangat antusias.
Dalam pertemuan ini kebudayaan patriarki terlihat jelas, seperti kaum laki-laki duduk paling depan dengan bangku yang disiapkan sementara perempuan berada dalam posisi belakang dan hanya berdiri tanpa disiapkan kursi untuk diduduki.
Tibalah saat kepala desa berbicara dalam pertemuan itu:
“Saat ini saya melihat bahwa perempuan semakin kurang ajar mereka seringkali melawan, suaminya tak lagi dihargai, anak-anak perempuan mulai bersekolah, kebudayaan tak lagi dipandang,’’ ujar sang kepala desa.
Mendengar apa yang dikatakan kepala desa itu, perempuan-perempuan seakan ditampar kenyataan. Pengguna kata kasar yang diucapkan kepala desa sangat menyakiti hati. Mereka diam dan saling memandang seakan ingin menyampaikan banyak hal kepada sang kepala desa itu. Tetapi pihak lelaki malah tertawa dan menyetujui apa yang kepala desa lakukan dan katakana.
Di tengah keheningan kaum perempuan, tiba-tiba suara tegas dari seorang wanita muncul, wanita yang bernama Karti. Karti adalah seorang perempuan berumur 35 tahun yang sangat membenci para lelaki karena pada saat kecil, ia sering melihat ayahnya memukuli ibunya dan bahkan membawa perempuan lain untuk ditiduri sedangkan ibunya hanya melihat dan tidak bisa melawan apa yang suaminya lakukan. Hal ini yang mendasari dia sehingga sampai usia yang menginjak kepala tiga, ia belum juga bersuami dan bahkan berjanji untuk tidak menikah. Seakan trauma masa lalunya menjadikan iya perempuan yang kuat dan tidak ingin di tindas. Kartika tidak ingin hidupnya menjadi seperti ibunya.
“Apa? Kurang ajar katamu? Berani sekali anda berkata seperti itu. Apakah anda terlahir dari seorang laki-laki sampai anda berkata seperti itu. Saya sangat kecewa dengan pikiran dangkal yang engkau katakana wahai manusia suci dan terhomat. Mengapa jika perempuan melawan? Dosakah yang mereka lakukan.”
Ujar karti dengan suara lantang dan tanpa takut senyuman sinis terukir diwajahnya.
Semua perempuan sangat kagum mendengar apa yang Kartika lakukan, mereka merasa puas dan merasa apa yang dia lakuan sangat mewakili mereka.
Namun, hal itu membuat kepala desa marah dan pergi dari pertemuan itu.
Melihat hal yang yang dilakukan perempuan yang bernama Karti, Aku sangat kagum dan tertarik dengan sikapnya. Sejak saat itu aku sangat mengidolakan perempuan cantik itu. Dan tak lupa menulis kejadian hari ini dalan catatanku yang hampir mencapai lembar ke 78. Kejadian itu selalu terngiang dalam benakku sehingga aku bertekad untuk menjadi seperti dia. Aku mulai giat dan sekolah dan belajar untuk melawan kebudayaan yang sangat membatasi ruang hidupku.
Tetapi masalah tak bisa aku hindari aku dan temanku dibuli di sekolah, aku selalu ditindas oleh kaum lelaki dan orang-orang kaya, mereka selalu menganggap aku hanya lelucon yang ingin mendobrak kebudayaan yang terjalin sejak lama. Aku tak tinggal diam aku pun melaporkan hal itu kepada seorang guru dengan harapan akan mendapatkan perlindungan, tetapi ternyata aku salah, dia hanya menertawakan ku dan bahkan mengiyakan apa yang dikatakan para pembuli. Aku dan temanku merasa sangat kecewa dan putus asa sehingga aku ingin sekali menyerah. Namun melihat apa yang terjadi pada kaum perempuan di desaku terutama ibunya yang selalu ditindas, sehingga aku menjadi semangat untuk memperjuangkan hakku.
Seiring berjalanya waktu, Aku dan teman-temanku mulai terbiasa dengan keadaan yang tak memihak meskipun aku dan dia sangat tidak bisa menerima apa yang mereka lakukan kepada kami. Waktu terus berjalan sehingga tibalah saatnya ku lulus dari sekolah menengah atas, aku pun ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Namun keinginanku sangat ditentang oleh lelaki yang sangat aku benci yaitu ayahku. Dia bukan lagi cinta pertama tetapi luka besar yang tergores dalam hatiku.
“Ayah aku ingin ingin melanjutkan pendidikanku, aku ingin berkuliah dan menjadi seorang penulis”. Ujarku sambil meneteskan air mata.
“Apa? Kuliah? Menjadi seorang Penulis? Hahhahha, Kamu sadar dengan ucapanmu? Untuk apa perempuan bersekolah? Kan ujung-ujungnya tetap menjadi babu lelaki. Lihat si karti sekolah tinggi tetapi tetap saja menjadi manusia yang melarat, tak bersuami.” Jawaban sang ayah.
“Tidak, aku ingin sekolah, aku tak ingin menjadi seperti ibu, menjadi seperti perempuan bodoh di desa ini, mereka tertindas karena kebodohan untuk tak melawan. Aku tak ingin menjadi perempuan lemah,aku tak ingin menjadi ibu yang menerima apa yang ayah lakuka, aku tak ingin dipukul aku tak ingin di duakan, seperti yang dulu ayah lakukan kepada ibu”. Jawabku.
“Silahkan saja jika kamu bisa, tapi yang pasti aku akan menjohkan kaus dengan lelaki yang aku utangi.kamu akan menjadi jaminan atau utang uang yang aku gunakan untuk menghidupimu selama ini.” ucap ayah.
Mendengar apa yang ayah katakan, aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan kampung ini. Jika aku kembali ke kampung ini lagi, aku sudah menjadi perempuan yang sukses dan mampu mengembalikan derajat kaumku.