Oleh: Faustina Andu
Bertemu dengannya adalah sesuatu yang tidak pernah aku duga. Menapaki kisah yang dimulai di bawah teriknya matahari diiringi dengan sorakkan penonton kala menonton bola voli. Kau menjadi orang pertama yang bertanya langsung tentang, apakah kau dan aku apakah boleh menjadi kita? Hari itu aku tersipu malu, tak mampu memikirkan pertanyaanmu dengan baik tetapi mulut memang tidak pernah berkompromi.
Aku dan kamu telah menjadi kita. Namun tidak berlangsung lama. Kau terlalu mudah untuk tergoda untuk memetik bunga berbeda warna. Melepaskan setiap kelopak, lalu membiarkan kelopak-kelopak itu jatuh digiling kata manis yang kau sendiri tidak mampu melakukannya. Kau pernah berkata aku adalah bunga yang berharga nan indah. Memuji setiap kelopak yang membentuk keunikan yang tidak pernah kau temukan di bunga lain. Namun saat aku bertanya, apakah kau punya bunga lain yang lebih indah? Kau menyangkal dengan kata manis yang sulit dimengerti tapi aku memilih percaya. Sebenarnya kau siapa sampai dengan mudahnya berkata “aku menyesal” demi bisa kembali bersamaku. Entahlah. Rasanya kesempatan kedua masih bisa diberikan. Setiap manusia melakukan kesalahan bukan?
Aku mencoba kembali membangun tembok kepercayaan berharap tidak akan runtuh lagi hanya karena mulut yang mengucapkan kata-kata semanis gula. Seiring berjalannya waktu, aku mulai memperkokoh tembok itu bahkan mengecatnya dengan kata-kata yang pernah ia ucapkan. “Aku sayang dan serius menjalani hubungan denganmu.” Sehingga memperkuat kepercayaan dan relasi kami kedepannya.
Sekarang ia memperlakukanku layaknya seorang ratu di kerajaannya. Selalu mengalah dan memberikan kenyamanan terbaik layaknya seorang lelaki sejati. Bertindak seolah membuatku merasa hubungan kami benar-benar akan mencapai titik keseriusan. Ia membuatku berpikir bahwa akulah satu-satunya bunga yang menjadi hiasan di meja kehidupannya. Membujukku dengan lembut ketika aku sedang marah dan melakukan tindakan romantis yang diimpikan semua wanita.