Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Ketika Sekolah Ingin Merdeka

Alfred Tuname*

Catatan ini bermula dari membaca sebuah buku yang ditulis oleh para pendidik di SMAN 1 Kota Komba. Judulnya, “Sekolah Kami Ingin Merdeka” (Penerbit Amerta Media, 2023). Tulisannya menggunakan metode reflektif-ilmiah atas praktik baik yang pernah mereka buat.

Sebagai catatan reflektif, buku tersebut diterbitkan secara serius dan bagus. Artinya, apa yang tersajikan benar-benar berisi pengalaman, ide dan harapan. Mulai dari Kepala Sekolah sampai para guru mata pelajaran terlibat dalam “sharing” yang saling menguatkan.

Gerakan Kepemimpinan

Sang Kepala Sekolah (Kepsek), Zakarias Nggabut, S.Pd, memulai catatannya dengan dasar-dasar kepemimpinan dan gaya kepemimpinan. Dalam pengalamannya, ia menerapkan gaya kepemiminan demokratis-dialogis. Gaya kepemimpinan itu memiliki daya transformasi. Artinya, ada peran Kepsek untuk menggerakan dan mempercayai guru dalam berkreasi mencapai tujuan pendidikan.

Tentu saja, tanggung jawab sekolah ada pundak Kepsek, tetapi tanggung jawab pendidikan dimulai dari pikiran dan hati para guru pendidik. Kalau Kepseknya “mati gaya”, guru pasti “mati langkah” (:leadership gap). Sekolah pun hanya akan bergerak statis, kalau Kepsek (mungkin) lebih senang “mengamankan” Dana BOS daripada mengekstraksinya pada kreativitas guru.

Sebagai guru penuh pengabdian, Marselino Giovani Patu coba mancacah raison d’etre dari Program Merdeka Belajar. Guru bergelar Master Pendidikan itu, dalam proses duc in altum-nya, menemukan bahwa persoalan pendidikan tidak hanya melulu infrastruktur. Ada juga persoalan kualitas guru. Jawaban sementaranya adalah Program Merdeka Belajar, dengan spirit filososfis-nya Ki Hajar Dewantara (:berakar pada budaya dan jati diri bangsa Indonesia).

Infrastruktur dan kualitas guru sekolah adalah dua sisi mata uang: sama-sama penting. Sekolah butuh gedung dan fasilitas penunjang yang layak. Infrastruktur yang layak membuat proses belajar-mengajar akan berlangsung dengan baik. Gedung sekolah tak perlu mentereng, yang penting layak dan aman.

Keteladanan Pendidik

Begitu juga halnya guru, kualitasnya harus “lurus” dengan perhargaan yang diberikan. Guru juga manusia, ada banyak kebutuhannya. Ia akan “patah arang” apabila kualitas mengajar dan pengabdian tidak dihargai dengan gaji yang layak.

Kualitas dan pengabdiannya itu tentu ditakar dalam semangat Merdeka Belajar. Bahwa perhatian dan kreativitas mengajarnya terarah pada bakat, minat dan potensi peserta didik. Guru membimbing dan melatih murid untuk meningkatkan kecerdasan dan karakater. Di sini, kualitas guru diukur dari kreativitas dan inovasi mengajar; pengabdian ditakar dari ketulusan, kesabaran dan kerendahan hati dalam proses mendidik.  

Dalam hal kreativitas dan inovasi, guru PAK (Pendidikan Agama Katolik), Elisabeth Nggiring, S.Pd, menggunakan semua prinsip kompetensinya (:pedagogi, kepribadian, profesional dan sosial) dalam pengajarannya. Hal itu dimaksudkan agar para murid semakin tinggi pemahaman agama dan mewujudkan iman Katolik  dalam realitas hidupnya.

Idealnya, guru tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi teladan. Omongan sesuai dengan perbuatan. Neka dion tombo, dion pande. Atau mengutip Pakubuwono IV dalam Serat Wulangreh, “ngelmu iku kalakone kanthi laku…” Ilmu itu dipahami dengan teladan. Kalau bersama guru, murid terlibat dalam kegiatan rohani di sekolah atau paroki, keteladanan itu mantab, bu!

Begitu juga halnya persoalan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di sekolah. Soal itu membuat guru Bahasa Indonesia, Dra. Ludgardis Vince Dade, kian galau. Analisisnya, pemakaian variasi dan pembauran bahasa daerah membuat para peserta didik “gagap” menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Siswa-siswi tidak fasih berbahasa Indonesia secara lisan maupun tulisan.

Salah contoh yang dibahas adalah kalimat “mai su le kita pi kelas” [Sic]. Sang ibu guru menerjemahkannya tampak sebagai kalimat imperatif, “mari kita pergi di kelas!”. Terjemahan itu agak wagu dan kelewat verbatim. Kalau menggunakan secuil psikologi bahasa, kalimat itu sebenarnya bermakna persuasif. Sebaiknya terjemahannya begini: “ayo, kita masuk kelas”.

Praktis Pembelajaran

Dari beberapa contoh yang diangkat, terasa agak janggal dan anomli ragam bahasa kesehariaanya.  Kalimat “mai su (le) pi kita pi kelas, kamu pi mana (le), kamu su kumpul tugas bahasa Indonesia ko?”  sebenarnya merupakan bahasa kolokial (colloquium) dialek Kupang. Partikel ”le” hanya sebagai tamban dari dialek setempat.

Pembahasannya akan semakin menarik, kalau contoh yang diunggah itu lebih kontekstual, yakni penggunaan dari variasa ragam bahasa Rongga, bahasa Mbaen, bahasa Pae’, bahasa Kepo, bahasa Toe, bahasa Riwu, bahasa Rembong (juga bahasa Bajawa dan bahasa Ende), dan bahasa Manggarai dialek Waelengga, Ruteng, Mukun, Kisol, dll (ethongraphy of speaking). Makin keren lagi kalau ada pembahasan soal dialek sosial (Akrolek dan Basilek)  yang berpengaruh pada cara berbahasa Indonesia di sekolah. Sebab variasi ragam bahasa dan dialek itu sangat mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia.

Tentu saja, cakap berbahasa Indonesia pada murid merupakan tanggung civitas academica sekolah, bukan hanya guru bahasa Indonesia. Semua dimulai dari para guru. Guru memberikan teladan dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam segala kegiatan di lingkungan sekolah. Selebihnya, biarkanlah kreativitas guru bahasa menuntun murid untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Menuntun murid dengan memanfaatkan perangkat IT kekinian juga sangat baik. Perangkat pendukung pembelajaran itu memancing rasa penasaran murid sekaligus proses Belajar-Mengajar tidak membosankan. Itulah best practice yang telah dilakukan oleh guru Fisika, Elias Nabung, S.Pd.

Best practice pada mata pelajaran Sejarah juga dilakukan oleh guru Yohanes Santing, S.Pd. Dengan media peta, ia menuntun para peserta didik untuk mengenal letak wilayah dan apa yang pernah di sana. Secara berkelompok, para murid membuat peta timbul. Metode ini memudahkan abstraksi dan ingatan para murid tentang sejarah (peristiwa, orang dan tempat).

Sejarah tidak berhenti pada “mengetahui”, tetapi harus “memahaminya” juga. Paham sejarah berarti “mengantisipasi” masa depan. Orang Prancis bilang, “le histoire se repete”. Sejarah dapat “terulang” kembali. Manusia belajar dari sejarah untuk tidak mengulangi kekelaman yang sama. Eits, jalan lupa juga Nobar (Nonton Bareng)  Film, pak guru! Film memudahkan imajinasi dan abstraksi murid tentang peristiwa sejarah.

Nah, dengan buku “Sekolah Kami Ingin Merdeka”, para guru telah menciptakan sejarah (sekolah), sekaligus napak akademis guru sendiri. Ada barisan pengetahuan dan irisan harapan untuk pendidikan yang lebih “merdeka”. Merdeka karena insan pendidiknya tangkas berkreasi, peserta didiknya cerdas memahami ilmu.

Akhirnya, ketika sekolah ingin merdeka, mulailah (juga) dengan mengurai ide dalam tulisan. Verba volant scripta manent! Setidaknya itu juga harapan Leonardus Jafar, S.Pd dan Lukas Sumba, S.Fil. Mereka adalah Pengawas Sekolah ikut menitipkan motiviasi dalam buku tersebut. Profisiat! Sampai ketemu di buku selanjutnya dan salam literasi, guru!

*Penulis merupakan Esais tinggal di Borong, Kabupaten Manggarai Timur