Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Perusahaan Migas Raksasa Ramai-ramai Cabut dari Indonesia, Ada Apa?

Jakarta, GardaNTT.id-Tren perusahaan minyak dan gas (migas) raksasa internasional hengkang dari Indonesia masih berlangsung hingga kini. Terbaru, perusahaan energi multinasional asal Amerika Serikat (AS), ConocoPhillips Company, resmi menjual seluruh asetnya di Indonesia pada PT Medco Energi Internasional, Kamis (3/3).

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana iklim investasi Indonesia di sektor hulu migas saat ini. Apalagi di saat harga komoditas energi global sedang melonjak, momentum menggenjot produksi dalam negeri diperlukan agar ketahanan energi nasional bisa terjaga.

Desa Haju

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menjelaskan saat ini iklim investasi di sektor hulu migas Indonesia kalah menarik dari negara produsen migas lain. Dia berpendapat, kemudahan berinvestasi masih menjadi kendala.

“Di sisi lain, fiskal kita tidak begitu menarik dibanding yang lain, karena investor itu lihat banyak faktor. Pertama potensinya dulu, terus lihat bagaimana keekonomiannya, fiskalnya menarik enggak bagi perusahaan. Lalu bagaimana kemudahan investasinya,” ujarnya saat dihubungi kumparan, Sabtu (5/3).

Hal tersebut yang membuat perusahaan migas internasional raksasa dengan portofolio bisnis yang sudah tersebar di banyak negara seperti Chevron, Shell, Total, dan ConocoPhillips berbondong-bondong menarik investasinya dari Indonesia.

“Kita kan masih banyak kesulitan-kesulitan, misal di lapangan dari sisi sosial dan infrastruktur yang belum ada, terus dari sisi pemerintah daerah, mungkin banyak sekali peraturan yang harus diikuti, dan hal-hal yang bersifat non teknis sebenarnya,” lanjut Moshe.

Selain itu, menurut Moshe, perusahaan-perusahaan tersebut juga melihat lapangan migas di Indonesia sudah mulai tua atau masuk fase natural decline. Dia mengatakan, produksi migas di Indonesia pun sudah semakin menurun sehingga tidak lagi menarik bagi investor asing.

“Mereka semakin ketat memilihnya (target investasi). Lapangan di Indonesia sudah mulai tua dan cadangan menurun, biaya untuk produksinya makin meningkat, apalagi kalau sudah masuk ke secondary dan tertiary recovery memerlukan teknologi tambahan,” tuturnya.

Apalagi, lanjut dia, eksplorasi migas di Indonesia sudah mulai masuk ke daerah timur dengan infrastruktur yang tidak selengkap di Indonesia bagian barat. Kegiatan eksplorasi juga sudah banyak memasuki wilayah lepas pantai (offshore) yang biayanya sangat tinggi membebani para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

“Dengan biaya tinggi, risiko juga lebih besar. Sementara dari sisi fiskal sejak tahun 2001 ada UU Migas baru banyak sekali insentif yang ditarik kembali oleh pemerintah. Pada akhirnya banyak KKKS yang ribut dan kembali sedikit demi sedikit,” jelasnya.

“Padahal lapangan eksplorasi maskin susah, produksi makin mahal, tapi insentif dikurangi, kan orang jadi melihat kembali investasi bagus di Indonesia apa di negara lain yang lebih menarik, simple, dan cadangan lebih besar,” tambah Moshe.

Dihubungi terpisah, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Rinto Pudyantoro, menjelaskan alasan banyaknya perusahaan migas internasional mencabut investasinya dari Indonesia. Menurut Rinto, tidak hanya karena iklim investasi.

“Pertimbangan portofolio perusahaan juga berperan besar. Strategi portofolio menjadi pertimbangan apakah dana investasi ditaruh di Indonesia atau di negara lain. Mana yang lebih memberikan keuntungan bagi perusahaan,” kata Rinto.

Tidak hanya itu, dia juga berpendapat upaya penerapan transisi energi untuk mengurangi emisi karbon juga memberikan andil. “Juga ada pertimbangan perusahaan terhadap keputusan untuk pemenuhan net zero emission, yang kemungkinan terjadi pengalihan investasi,” tutupnya

Sumber:kumparan.com