Servant Leadership dan Implementasinya pada Lembaga Pendidikan Bercirikhas Katolik

Ditulis oleh: Bonifasius Supardi, S. Pd.(Guru SMPK St. Stanislaus Borong)

Prolog

Kepemimpinan bukanlah tentang kemenangan tapi tentang pelayanan. Kepemimpinan tersebut peka akan isu atau persoalan serta mampu menemukan solusi yang tepat untuk mengatasinya,” Kofi Annan, Mantan SEKJEN PBB dan Peraih Nobel Perdamaian.

Wacana dan diskusi seputar teori, model dan pendekatan terkait kepemimpinan yang baik dan memadai nampaknya tidak pernah selesai dan sebaiknya tidak pernah selesai. Sejarah membuktikan bahwa model kepemimpinan yang diterapkan memiliki hubungan sebab akibat dengan kualitas sebuah organisasi, baik itu pemerintahan, masyarakat sipil dan tidak terkecuali dunia pendidikan. Secara umum, kepemimpinan berkaitan dengan usaha untuk memengaruhi dan membangun relasi (Khorshid & Pashazadeh, 2014, h. 7). Secara khusus dalam kaitannya dengan tema pendidikan formal, kepemimpinan dilihat sebagai rangkaian proses yang dilakukan untuk mempengaruhi seluruh sumber daya manusia yang ada demi tercapainya visi dan misi lembaga pendidikan. Sebagaimana dijelaskan Asbari (2020), kepemimpinan dalam dunia pendidikan dapat diartikan sebagai upaya pemimpin untuk mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan setiap stafnya agar dapat bekerja secara efektif guna mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan. Dalam konteks organisasi pendidikan, di mana keterlibatan guru, staf, dan komunitas sekolah sangat penting, kepemimpinan yang tepat sasar dapat berdampak pada perubahan yang positif. Kepemimpinan di dunia pendidikan memiliki peran krusial dalam membentuk arah, budaya, dan efektivitas sebuah institusi (Purwoko dkk., 2022). 

Dewasa ini, dapat dilihat fenomena yang mencemaskan di mana meningkatnya indeks kemerosotan nilai-nilai moral dan sosial di tengah masyarakat, tercerabutnya wawasan keagamaan dan kebudayaan, meningkatnya individualisme, konflik sosial dan pelbagai soal-soal lainnya juga berhulu pada carut marut dunia pendidikan tersebut. Guna merespon aneka tantangan tersebut, organisasi pendidikan harus mampu beradaptasi dan merespons perubahan tersebut secara cepat dan efektif dengan berbagai cara dan kegiatan yang diberlakukan di sekolah. Salah satu respon strategis tersebut adalah menerapkan model kepemimpinan yang selaras zaman dalam dunia pendidikan. 

Melalui artikel ini, penulis hendak menunjukkan sebuah model atau pola kepemimpinan yang selaras zaman dan layak untuk diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan saat ini. Model atau gaya kepemimpinan tersebut dikenal sebagai servant leadership atau kepemimpinan yang melayani. 

Servant Leadership

Inti dari konsep kepemimpinan yang melayani atau servant leadership adalah penekanan pada spirit pelayanan baik itu dari pemimpin terhadap anggota dan seorang anggota terhadap anggota yang lainnya dalam sebuah organisasi. Pelayanan merupakan prinsip utama dalam menjalankan seluruh dinamika organisasi, setiap orang diharapkan mampu melayani sesamanya. Model kepemimpinan yang melayani dianggap sebagai sebuah model kepemimpinan yang efektif untuk mengembangkan dan mengelola organisasi (Iswanto, 2017, h. 153). 

Servant leadership sebenarnya merupakan sebuah solusi atas paradigma kepemimpinan yang berkembang dalam dunia industri, yang memandang kepemimpinan sebagai otoritas yang memegang kekuasaan (D’Souza, 2009, h. 13).  Pemimpin pelayan adalah orang yang bersedia melayani terlebih dahulu. Seorang pemimpin pelayan memastikan bahwa anggotanya berkembang, kebutuhannya tercukupi, dan terlayani dengan baik. Dalam kepemimpinan yang melayani, setiap anggota menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas, lebih otonom, dan dengan kesadarannya sendiri lebih terdorong untuk menjadi pelayan dengan Yesus Kristus sebagai teladan. 

Dalam model kepemimpinan servant leadership, pemimpin memengaruhi dan menggerakkan bawahan agar memiliki tanggung jawab atau komitmen, menjalin dan menjaga hubungan baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, memiliki jiwa melayani, mau mendengarkan kritik dan saran orang lain, bersikap empati, membangun moral bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Kenneth H. Blanchard (2009), seorang penstudi teori kepemimpinan merumuskan tiga aspek kepemimpinan yang melayani, yaitu: Pertama, hati yang melayani (karakter kepemimpinan) artinya kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam diri sendiri. Kedua, kepala yang melayani (metode kepemimpinan) artinya seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata, tetapi juga harus memiliki serangkaian metode kepemimpinan agar dapat menjadi pemimpin yang efektif. Ketiga, tangan yang melayani (perilaku kepemimpinan) artinya pemimpin pelayan harus menunjukkan perilaku maupun kebiasaan seorang pemimpin.

Kepemimpinan Melayani di Sekolah-Sekolah Katolik

Paus Benediktus ke-16 (2010) dalam pidatonya kepada para guru dan religius mengungkapkan sebuah pernyataan terkait sekolah-sekolah Katolik. Pernyataan tersebut berbunyi: “Sekolah yang baik memberikan pendidikan menyeluruh bagi seluruh individu. Dan sekolah Katolik yang baik, lebih dari itu, harus membantu semua siswanya menjadi orang suci.” Ungkapan Paus Benediktus tersebut hendak menegaskan bahwa tidak cukup apabila aktivitas pembelajaran di kelas atau sekolah Katolik hanya menargetkan kecerdasan akademik (aspek kognitif) saja, tetapi juga terarah pada pembentukan karakter moral, emosional dan sosial peserta didik. Dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang pendidikan Kristiani, Gravissimum Educationis, ditekankan bahwa tujuan utama pendidikan adalah agar semua umat beriman semakin mendewasakan imannya, menyadari panggilan hidupnya, melatih diri untuk memberikan kesaksian hidup yang benar serta mendukung perubahan dunia menurut tata nilai Kristiani. Untuk itu, setiap lembaga atau sekolah-sekolah Katolik diutus untuk melayani dan mengembangkan semua orang untuk menjadi manusia yang utuh. Sekolah-sekolah Katolik bertugas untuk menghantarkan manusia kepada kepenuhannya di dalam Kristus. 

Sejalan dengan tujuan dan arah pendidikan Katolik, maka model kepemimpinan yang perlu diterapkan adalah model kepemimpinan Kristiani di mana kepemimpinan Yesus menjadi model utama. Dengannya, kepemimpinan pada sekolah-sekolah bercirikhas Katolik ini tidak hanya dilihat sebagai profesi atau tuntutan formal semata. Lebih daripada itu, kepemimpinan Kristiani adalah suatu panggilan. Saver (2019, h. 2) mengatakan, “kepemimpinan pendidikan bukanlah pilihan karir, itu adalah panggilan”. Sebagai sebuah panggilan, kepemimpinan Kristiani dipandang sebagai sebuah tugas untuk menjalankan kehendak Allah sendiri dengan segala bakat dan talenta yang diberikan oleh Allah sendiri. 

Dengan bertolak pada misi dan karya pengembalaan Yesus, model kepemimpinan selaras zaman yang cocok untuk diterapkan pada sekolah-sekolah berbasis Katolik adalah kepemimpinan yang melayani, sebab roh dan spirit kepemimpinan Yesus ada dalam model kepemimpinan ini. Kepemimpinan yang melayani atau servant leadership selaras dengan model kepemimpinan Kristiani. Yesus dalam karya dan kegembalaannya sebagai pemimpin para rasul menunjukan spiritualitas diakonia atau pelayanan paripurna. Dengan demikian, para pemimpin sekolah-sekolah Katolik perlu berusaha membangun komunitas sekolah sebagai komunitas yang positif dan berlandaskan cinta kasih serta terarah pada kesejahteraan bersama.

Rekomendasi Transfer Gagasan 

Dorongan atau ikhtiar terkait model kepemimpinan yang melayani perlu diperjuangkan atau bahkan diutamakan pada sekolah-sekolah bercirikhas Katolik. Ia mesti menjadi wadah persemaian untuk melahirkan pribadi yang unggul dan berdaya saing, mampu mengaktualisasikan nilai-nilai keagamaan dalam hidup sehari-hari. Selain itu, pola pendidian dan pembinaan di lembaga-lembaga pendidikan Katolik diharapkan juga dapat menyiapkan kader, figur dan calon pemimpin masa depan yang berintegritas, moderat, berwawasan kebangsaan dan profesional. Sebagai panduan, penulis berpatokan pada sejumlah karakteristik kepemimpinan melayani yang diuraikan Spears (2004), seorang pengembang teori kepemimpinan servant leadership, sebagai berikut: 

Pertama, Mendengarkan (Listening). Aspek mendengarkan yang dimaksud adalah pola kepemimpinan yang memiliki komitmen tulus untuk mendengarkan orang lain. Dalam konteks ini, pemimpin pelayan adalah pemimpin yang mau mendengar setiap kebutuhan, impian dan harapan dari setiap anggotanya; 

Kedua, Empati (Empathy). Seorang pemimpin pelayan pastilah berusaha untuk memahami, menerima dan berempati terhadap orang lain. Sikap empati bagi seorang pemimpin berarti menghormati dan menghargai anggotanya sebagai sesama manusia; 

Ketiga, Penyembuhan (Healing). Menyembuhkan atau penyembuhan di sini tidak dimaksudkan penyembuhan secara fisik, namun penyembuhan dari rasa sakit emosional dan mental. Seorang pemimpin pelayan memiliki kesempatan untuk membantu seseorang keluar dari rasa kesedihan, sakit hati dan kegalauan emosionalnya. Pemimpin pelayan membantu seseorang untuk menjadi utuh kembali dari masalah yang pernah dialami; 

Keempat, Kesadaran (Awareness). Aspek kesadaran diartikan bahwa seorang pemimpin pelayan memiliki keberanian dan kemampuan untuk menangkap secara mendalam (daripada orang biasanya) segala tanda-tanda yang dinyatakan oleh lingkungan atau orang lain. Kesadaran membuat pemimpin pelayan mampu melihat makna atau nilai dari suatu peristiwa dengan jelas. Semakin besar kesadaran seorang pemimpin pelayan dalam melihat makna dari suatu peristiwa atau pribadi orang lain, maka semakin bijaksanalah pemimpin itu menempatkan dirinya sendiri. 

Kelima, Persuasi (Persuasion). Spears (2004, h.9) menjelaskan bahwa seorang pemimpin pelayan lebih suka menggunakan persuasi daripada otoritas kekuasaannya dalam pengambilan dan pelaksanaan keputusan. Persuasi dalam konteks penyelenggaran pendidikan sekolah-sekolah bercirikhas Katolik berkaitan dengan kemampuan pemimpin dalam hal mempengaruhi anggotanya dengan baik tanpa menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang berasal dari kedudukannya; 

Keenam, Konseptualisasi (Conceptualization). Konseptualisasi adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengonsepkan suatu gagasan demi perkembangan organisasi. Pemimpin yang memiliki konseptualisasi dapat mencita-citakan sesuatu yang besar, namun juga mampu menyesuaikan dengan realitas sehari-hari. Pemimpin-pelayan dipanggil untuk mencari keseimbangan antara pemikiran konseptual dan pemikiran sehari-hari. Untuk konteks lembaga pendidikan Katolik, aspek ini dapat dikembangkan apabila kepemimpinan yang diterapkan melibatkan kepala sekolah, para guru dan staf untuk terus meningkatkan kemampuan yang ada pada dalam dirinya dalam melihat suatu permasalahan; 

Ketujuh, Kejelian dan Pandangan ke Masa Depan. Jeli atau teliti dalam memahami pelajaran dari masa lalu, realitas saat ini dan kemungkinan konsekuensi dari keputusan untuk masa depan. Pemimpin yang memiliki pandangan ke masa depan berarti memiliki prediksi-prediksi mengenai masa depan berdasarkan situasi yang dihadapinya pada masa kini dan masa lalu. Kemampuan memandang ke masa depan juga berkaitan dengan penemuan dan penciptaan inovasi serta cara-cara agar gagasan itu bisa terwujud;

Kedelapan, Komitmen untuk Pertumbuhan Orang (Commitment to the Growth of People). Seorang pemimpin pelayan adalah pribadi yang mengusahakan agar setiap anggotanya berkembang secara integral, menyangkut pengembangan profesionalisme, spiritual, maupun pribadi. Seorang pemimpin pelayan dalam hal ini melakukan segala kemungkinan yang ada untuk memelihara pertumbuhan anggotanya. Untuk konteks Lembaga pendidikan Katolik, aspek komitmen dapat diwujudkan dengan adanya pembagian tugas-tugas yang disertai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab yang jelas, mengarahkan setiap guru untuk melihat dan mengevaluasi proses pembelajaran, serta memperhatikan proses pembelajaran di luar kelas. Selanjutnya pengembangan diri pada siswa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan OSIS, ekstra kkurikuler, pembinaan iman dan rohani siswa, dll; 

Kesembilan, Membangun Komunitas (Building Community). Untuk konteks sekolah-sekolah bercirikhas Katolik, aspek ini diwujudkan apabila kepemimpinan yang diterapkan mewujudkan hubungan kemanusiaan dalam interaksi di lingkungan sekolah. Hubungan yang harmonis ini hanya menjadi mungkin apabila komunitas sekolah juga menjadi sebuah komunitas insani di mana setiap warganya dapat bertumbuh dan dihargai martabatnya. Semangat dan kekuatan komunitas juga selanjutnya perlu berdampak ke tengah kehidupan masyarakat melalui aksi-aksi pengabdian sosial, baik dalam bidang kerohanian, pembangunan dan bidang-bidang lainnya. Sekolah-sekolah bercirikhas Katolik perlu menjadi miniatur komunitas yang harmonis, toleran dan berkeadilan. 

Akhirnya, model kepemimpinan yang melayani (servant leadership) sebagai pendekatan kepemimpinan yang khas Kristiani sangat cocok diaplikasikan dalam penyelenggaraan pendidikan pada sekolah/lembaga pendidikan bercirikhas Katolik. Semangat kepemimpinan melayani yang selaras dengan nilai-nilai Kekatolikan dapat mendorong dan membantu sekolah-sekolah bercirikhas Katolik dalam mencapai tujuannya yaitu terciptanya sumber daya manusia (SDM) pelajar yang unggul, beriman dan berwawasan luas.