Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Antara Larantuka dan Waiwerang

Robert Bala (Foto: Dok. Istimewa)

Robert Bala*

*Diploma Resolusi Konflik Asia – Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol

Postingan Januar Bala Lambelawa Selasa,3/8/21 cukup menarik perhatian pembaca. Pasalnya, Januar mengambil pemantauan ‘sekilas’ tentang situasi pelabuhan-pelabuhan laut di Lamaholot: Larantuka, Adonara, Solor,dan Lembata.

Dalam postingan itu, disebutkan 2 suasana kontradiktoris. Pelabuhan Larantuka (dan Adonara) penuh perilaku buruh pelabuhan yang disebutnya ‘agak biadap’ terutama saat Kapal Pelni masuk. Buruh kapal menarik penumpang dan sedikit memaksa meminta bayar sesuai yang dikehendaki dan bukan atas kesepatakan. Mengerikan.

Keadaan itu berbeda dengan yang terjadi di Lembata dan Solor. Di sana, demikian Januar, orang kelihatan ‘adem’ saya. Di kedua pelabuhan ini orang menawarkan harga pelayanan secara santun dan jauh dari kesan pemaksaan.

Pertanyaan muncul, “Mengapa perilaku seperti itu? Apakah perilaku di pelabuhan ini menggambarkan perilaku orang yang mendiami tempat itu, karena disebut sebagai pintu gerbang dan barometernya?”

“Bukan Komunitas”

Terhadap postingan di atas, ada orang yang mengubungkan dengan komunitas tertentu. Disebut oleh seorang netizen, bahwa kalau ditelusuri, maka ada indikator untuk menyebutkan bahwa orang yang sama sebenarnya berasal dari komunitas tertentu.

Tentu, menghubungkan perilaku di sebuah tempat publik dengan komunitas tertentu sangat tidak beralasan. Kalau pun ada kesamaan dalam hal komunitas asal para buruh pelabuhan, tetapi apakah komunitas itu hanya ada di Adonara dan Larantuka? Tentu saja tidak. Komunitas itu pasti juga ada di Lembata dan Solor.

Bisa saja ada pertanyaan balik, “Kalau ada komunitas itu di Lembata dan Solor, mengapa di sana tidak terjadi seperti itu?” Dengan demikian, tidak tepat mengaitkan keamburadulan dalam hal pelayanan dengan komunitas tertentu. Memang peluang itu bisa saja ada, tetapi ia tidak bisa disebutkan sebagai penentu.

Membuat perbandingan seperti ini mengingatkan saya akan kenangan di tempat lain, seperti Batam dan Singapura. Bagi orang yang bepergian dari Batam ke singapura (via penyeberangan Ferry Batam Centre) misalnya, selalu diingatkan bahwa sesampai di Singapura orang tidak boleh membuang sampah sembarangan. Namun, yang terjadi apabila orang Singapura datang ke Batam, maka ketika mereka tiba, kerap mereka juga membuang sampah sembarangan. Hal ini menandakan bahwa bukan soal ‘komunitas’ asal tetapi kondisi di daerah itu turut membentuk perilaku orang.

Berhenti untuk hanya menyangkali adanya komunitas tertentu yang dominan, tentu tidak cukup. Perlu disepakati bersama bahwa gelagat dan perilaku orang tertentu bila terus dibiarkan, maka akan menghadirkan cap negatif. Hal inilah yang perlu mendorong adanya perubahan.

Perubahan Radikal

Kalau demikian maka apa yang perlu dilakukan agar pelabuhan tidak menjadi citra buruk bagi daerah atau pulau yang sebenarnya tidak ‘seburuk’ yang ditampilkan di pelabuhan laut?

Pertama, perlu ada perubahan yang radikal. Hal ini terjadi karena perilaku portier di pelabuhan Larantuka dan Waiwerang menghadirkan cap negatif. Jalan keluarnya hanya bisa dilakukan dengan mengadakan perubahan radikal.

Model perilaku seperti ini, tentu masih bisa dipahami untuk Waiwerang. Kondisinya bisa disebut ‘mendingan’. Tidak tahu, apakah hal itu terjadi karena di Waiwerang tidak disinggahi kapal Pelni sehingga perilaku ‘biadab’ itu tidak terjadi di Waiwerang. Tetapi khusus Larantuka, julukan sebagai ‘kota suci’ akan segera terhapus oleh perilaku demikian.

Hal mendorong agar perlunya ‘mencek’ keanggotaan para buruh di Larantuka (dan Waiwerang). Secara personal perlu dikenal masing-masingnya dan segera menindak secara pribadi mereka yang melanggar. Tindakan ini akan dilakukan kepada siapa pun juga dari komunitas mana pun. Selagi standar operasionalnya jelas, maka akan mudah mendeteksi perilaku yang lebih tepat disebabkan oleh pribadi yang sama sekali tidak mencerminkan karakter kota apalagi suku.

Kedua, adanya perubahan radikal, tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab aparat keamanan. Bisa disebutkan bahwa kondisi di pelabuhan Larantuka dan Waiwerang telah menyalahi kearifan lokal Lamaholot. Orang Lamaholot terkenal santun, sopan, memiliki jiwa pelayanan, dan senang membantu. Orang Lamaholot juga terkenal sangat santun terhadap tamu. Tamu selalu dianggap sebagai orang yang harus dilindungi.

Atas dasar ini, perilaku ‘bar-bar’ yang terjadi di Pelabuhan Laut Larantuka (dan Waiwerang) sangat tidak mencerminkan budaya Lamaholot. Karena itu, upaya dengan tindakan tegas perlu menjadi sebuah keharusan. Mereka dianggap telah merusak citra diri orang Lamoholot secara keseluruhan. Karena itu, tindakan tegas terhadap meluasnya perilaku seperti ini perlu dilaksanakan.

Tuntutan ini tentu semakin menjadi prioritas untuk Larantuka. Larantuka tidak hanya menjadi kota kabupaten, tetapi telah dianggap sebagai ‘vatikannya Indonesia’. Sebuah julukan suci (sekaligus beban) yang hanya dimiliki oleh dua kota di Indonesia, yaitu Aceh sebagai Serambi Mekkah dan Larantuka sebagai Vatikannya Indonesia (Serambi Vatikan).

Dalam konteks ini, penataan Larantuka menjadi hal yang sangat mendasar. Tentu yang jadi pertanyaan, “Apakah Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Flores Timur (Flotim) berminat menata hal ini atau membiarkannya kepada masyarakat?” Pertanyaan ini saya ajukan sebagai penutup karena di masa lalu, permasalahan kerap hanya ‘diserahkan kepada mekanisme’ dan solusi dari masyarakat.

Tahun 2013 saat Mitra Tiara sebagai koperasi yang tepatnya disebut investasi bodong, Pemda Flotim hanya mengimbau. Malah banyak pegawai yang ikut menabung di investasi yang kemudian melenyapkan Rp 1,7 triliun. Agustus 2013, saat berada di Larantuka, saya hanya mendengar bahwa pemerintah tidak banyak bergerak. Mereka hanya mengimbau (padahal fungsinya untuk menegakkan hukum). Saya justru menginisiasi untuk membongkar hingga hanya dalam sebulan Mitra Tiara itu ditutup.

Hal ini bisa saja sebuah preseden. Pemda saat itu hanya ‘diam’. Apakah Pemda sekarang juga diam terhadap perilaku ‘bar-barian’ di pelabuhan Larantuka dan Waiwerang? Antara Larantuka dan Waiwerang memang dipertaruhkan apakah perilaku seperti itu mencereminkan orang Lamaholot?***