Bunga Kenangan Stasi Wancang: Cinta yang Dibaluti Kesederhanaan

Manggarai, gardantt.id-Gerah dan panas menjadi kesan pertama yang muncul setelah Rombongan Asistensi PBSI dipimpin oleh Romo Ino Dangku (Kelas 2020A, 2022A, dan 2022B) sampai di Stasi Wancang, Cibal Bea Nio. Keluhan itu terobati ketika pandangan menyebar ke sekeliling kampung yang dipenuhi tumbuhan hijau yang memanjakan mata memberikan kedamaian dan suasana pedesaan yang nyata. Jarak antara rumah cukup jauh sehingga tidak terasa padat. Pohon rindang begitu banyak sehingga menjadi penghiburan ketika berteduh menghindari sang surya.

Pengeras suara mulai terdengar. Ketua Stasi Wancang, Fransiskus Geong bersama seluruh anggota panitia dari dua stasi (stasi Wancang dan Stasi Bea Denger) memulai acara penerimaan dengan Adat Kapu menggunakan ayam dan tuak kapu sebagai bentuk penerimaan dan penyambutan sesuai Budaya Manggarai dan diterima oleh Romo Ino Dangku. Gema suara yang berasal dari gereja itu mengundang tanya dan rasa penasaran warga untuk melihat kedatangan kami. Anak-anak berlarian melihat dengan tatapan penasaran yang dengan sendirinya terbayar karena melihat wajah-wajah baru yang mungkin akan ikut bermain bersama mereka beberapa hari kedepan. Namun, rasa lapar dan capai yang semakin merajalela membuat wajah tak bisa sempurna untuk menyapa ataupun sekedar bercanda dengan anak-anak Stasi Wancang.

Canda tawa dan senyuman yang tulus cukup menjadi melodi indah penghibur penat setelah dua jam perjalanan dari Ruteng hingga sampai di Stasi Wancang. Selesai acara adat kami dipersilahkan untuk menikmati keadaan sekitar sembari menunggu santap siang bersama tiba. Angin sepoi-sepoi mulai menghampiri menyejukkan tubuh hingga keluh berubah menjadi sejuk yang melegakan. Senyuman dan sapaan setiap warga yang lewat pun memberi warna tersendiri selain hijau alam Stasi Wancang. Semua itu sudah cukup membuat kami sadar bahwa kami begitu diterima di kampung yang sederhana ini.

Menjadi bagian dari warga stasi Wancang seperti memulai hidup yang baru dalam beberapa hari. Rm. Ino Dangku selalu berpesan bahwa jadikan suasana yang baru di Stasi Wancang adalah pengalaman yang berharga untuk dijadikan pelajaran. Hati-hati jika berekspetasi terlalu tinggi tentang air dan listrik.

Benar saja. Beradaptasi dengan udara serta keadaan yang jauh dari hiruk pikuk kota membuat Stasi Wancang menjadi tempat yang setiap sudutnya punya nilai tersendiri. Berjalan menuju mata air demi membersihkan diri pun menjadi pengalaman yang tidak enak jika hanya dipikirkan namun terasa seperti menjalani trip atau petualangan ketika dilakukan secara nyata. Semangat ingin belajar membuat setiap lumpur yang lengket di kaki walau habis membersihkan diri dijadikan lelucon yang nantinya akan diceritakan kepada orang-orang berharga.

Tantangan yang cukup terasa sulit bagi kami kaum milenial ketika jaringan dan arus hp tidak seimbang. Arus hp boleh terisi penuh karena telah diisi sepanjang malam saat genset dinyalakan tetapi giliran jaringan yang menjadi penghalang untuk melepas rindu dengan keluarga maupun doi yang berada di tempat lain (tidak terlalu berat bagi kaum Jomblo). Ingin menunggu pun rasanya tidak mampu lagi karena seharusnya sebelum paskah pihak PLN sudah memasang meteran di setiap rumah di Stasi Wancang. Setidaknya jaringan listrik meliputi kabel dan tiang sudah ada duluan sehingga asa masyarakat masih ada seperti yang diinformasikan Bapak Kades Ladur, Valerianus Bagung.

Suasana di Stasi Wancang semakin ramai ketika misa perayaan tri hari suci dimulai. Seluruh umat dari dari dua stasi berkumpul untuk merayakan Paskah atau bahkan sekedar bertegur sapa. Mengapa tidak, Stasi Wancang yang menjadi lokasi perayaan misa dipenuhi oleh ratusan umat yang terpanggil untuk merayakan paskah. Antusiasme begitu terlihat ketika begitu umat yang berdiri di setiap sisi luar gereja Stasi Wancang. Tak perduli anak-anak hingga orang dewasa berdiri sepanjang misa berlangsung. Ada yang mengintip di kaca jendela gereja hanya untuk melihat dan menikmati perayaan yang mereka rindukan untuk dilaksanakan tepat waktu. Ibarat kesederhanaan dan kerelaan untuk mengikuti perayaan paskah menjadi filosofi tersendiri bagi umat Stasi Wancang. Mereka tahu jumlah kursi terbatas tetapi tetap mau mengikuti misa meski dalam kondisi yang kurang nyaman.

Perlakuan setiap keluarga tempat kami menginap ibarat pupuk yang memberi kesuburan bagi bunga yang menjadi lambang kenangan Asistensi Paskah tahun ini. Tanpa ragu, mereka memanggil orang asing dengan sebutan anak. Panggilan yang memiliki arti mendalam bagi tamu yang hanya beberapa hari tinggal bersama di Stasi Wancang. Keramahan dan jaminan keamanan yang begitu sempurna membuat kelopak bunga itu mekar dan tumbuh sangat indah di dalam ruang khusus tempat harapan muncul. Jika ditanya, adakah ekspetasi yang melebihi realita saat berpikir tentang Asistensi Paskah di Stasi Wancang? Tentu ada. Rasa kekeluargaan itu begitu berlebihan terasa erat sampai membekas di sanubari layaknya keluarga kandung. Mereka selalu memberikan yang terbaik sehingga tidak ada satupun angin kencang yang menjatuhkan kelopak bunga kenangan itu.

Stasi Wancang layak dijadikan tempat ternyaman yang disebut keluarga. Banyak hal yang melekat kuat dalam relung ketika senyum kerelaan selalu diperlihatkan saat melayani kami sejak hari pertama. CInta yang dibaluti kesederhanaan berhasil memahat rindu yang kini tak bisa dilupakan. Bukan sebagai orang asing atau tamu. Tapi sudah seperti anak yang berharga. Bukan hanya ada pada tuan rumah tempat kami tinggal. Tetapi juga terlihat pada kerelaan om sopir yang setia mengantar dan menjemput kami ke gereja setiap harinya. Sungguh tak ada alasan bagi kami untuk lupa. Itu adalah luapan hati Fransiskus Dogo, salah satu peserta asistensi asal Weleng, Desa Nampar Tabang.

Bunga kenangan itu semakin tergoncang bukan karena amukan angin kencang, tapi kenyataan bahwa waktu tidak mengizinkan kami lebih lama menetap di Stasi Wancang. Setiap keluarga tempat kami menginap mengantar hingga ke gereja. Menunggu dengan setia waktu pelepasan secara resmi yang juga disaksikan alam sekitar. Kemudian hari, cerita ini hanya abadi pada foto dan ingatan. Entah bagaimana rencana Tuhan sampai memberi waktu penantian yang lama namun terasa begitu cepat ketika sudah terlaksanana. Kami belum siap memahat rindu yang mendalam pada hati yang terasa berat untuk pergi. Melihat sampai akhir pun kami tetap diberi senyum sederhana namun penuh cinta oleh warga Stasi Wancang.

Sampai akhir, Stasi Wancang tetap memberikan yang terbaik walau kami tinggal di empat KBG yang berbeda.
Gerah kali ini terasa begitu menusuk hingga sanubari ketika angin yang menyegarkan tak lagi sama seperti angin di Stasi Wancang. Angin itu melambai bersama tangan mungil anak-anak dan senyuman selamat tinggal bapa mama Stasi Wancang. Jujur, hati kami masih tertinggal di Stasi Wancang.