Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Frater, Salahkah Aku Mencintaimu?

Oleh: Waldus Budiman

 “Aku harus pergi agar dirinya tabah saat mengetahui jika masih ada hal yang aku perjuangkan. Sebab, dunia percintaan tidak memiliki bentuk dan selalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang  datang. Bertahan adalah cara yang menyakitkan kalau saja kehidupan imajinatif hanya sekadar percakapan belaka.”

Tatapannya sangat menyejukkan. Selain karena tampang dan gestur tubuhnya yang elastis juga kegantengnya yang sangat aduhai. Aku sebagai bidan desa dan beberapa teman perempuan yang lain di desa kami ingin memiliki pria ini. Dia adalah pria yang maco  yang aku kenal.

Aku biasa memanggilnya Mas Joni. Sudah satu minggu mas Joni hidup bersama kami di desa terpencil ini. Tetapi kami belum mengetahui motif apa hingga mas Joni tiba-tiba hadir di tengah kami. Kemarin saya sempat tanya pada ketua stasi yang nota bene ayah kandungku. Tetapi beliau dengan senyum menjawab pertanyaanku bahwa mas Joni adalah mahasiswa ppl yang kebetulan tempat praktiknya di kampung kami.

Jika memang demikian, maka aku harus memanggilnya adik. Sebab dua tahun lalu, aku menyelesaikan pendidikan kebidanan. Oleh sebab itu, peluang untuk   memilikinya sangat tidak mungkin menjadi kekasih. Tapi itu bukan mustahil kalau Tuhan meridohi hubungan kami. Ahhh.. khayalanku semakin menjadi-jadi. Aku merasa hari-hariku bersama mas Joni entah di ruang makan, berpapasan di dapur atau saat pergi gereja semotor berdua, tidak punya semangat yang lebih seperti sebelum aku mengetahui identitasnya.

Namun lebih dari itu, aku harus rela saat melihat teman-teman bidan desa yang lain merasa gembira ketika bercengkerama ria di rumah bersama mas Joni. Senyumnya mas Joni bukanlah hal yang istimewa buat aku. Setiap hari aku melihat senyuman itu tersembul dari bibir munggil yang selalu menghipnotis separuh masa depanku.

Aku memang mencintainya. Tapi aku tidak mungkin memilikinya. Ini memang rasa yang sangat sulit untuk ditepis. Kebersamaan yang kami lewati dalam kurun waktu enam bulan lebih seolah-olah penyiksaan bagiku.

Tibalah saat yang menegangkan itu, saat laki-laki yang sudah aku kubur perasaan dengannya tampil di depan altar gereja mendamping pastor paroki dengan mengenakan jubah putih.

Satu gereja hening. Seolah-olah kami semua tidak percaya dengan apa yang terjadi hari itu. Beberapa teman bidan desa yang sebangku dengan aku tertunduk lesu sambil berurai air mata.

Dia  berdiri dengan tenang. Hendaknya aku berteriak. Hatiku memberontak mengapa ayah membohongiku.

Satu minggu setelah perpisahan itu, aku lebih banyak waktu sendiri di dalam kamar.

Nafsu makan pun berkurang. Ayah dan ibu mulai cemas dengan keadaanku saat itu.

Tapi apalah daya, ternyata orang yang hidup di tengah kami selama kurang lebih enam bulan adalah seorang frater. Dan mengapa ayah membohongiku. Ataukah ayah tau jika aku punya perasaan dengan mas Joni.

Mungkin saja, firasat Ayah saat  pertama kali aku bertemu dengan mas Joni. Ini memang perasaan yang salah ataukah situasi yang tidak memungkinkan?

(Penulis: Penyuka Kopi Pahit, suka menyendiri dan mencintai mantan orang lain).