Bernardus T. Beding
Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng
Saat ini Indonesia boleh dikatakan sedang dalam fase kritis lantaran harus melawan pandemi virus yang dikenal novel corona virus. Virus ini terdeteksi sejak November 2019 di Kota Wuhan, Cina. Sangat cepat virus ini menyebar dan menginfeksi jutaan orang di seluruh dunia. Berbagai media masa tidak luput dari pemberitaan tentang kuantitas maupun kualitas penyebaran Covid-19. World Health Organization (WHO) menyebut jenis virus ini sebagai Covid-19 yang berarti “Covid” singkatan dari Corona Virus Disease, sedangkan angka “19” menunjukkan tahun munculnya virus tersebut.
Dalam bahasa Indonesia disebut virus korona. Nama virus yang diberikan, yakni korona bukan hasil konferensi atau musyawarah umum bahasa, melainkan bersifat manasuka (arbitrer). Istilah korona menjadi semacam nomenklatur, konsep yang dipungut untuk menandainya sebagai sebuah sistem (langue). Hal ini berarti virus korona dapat dipahami melalui jalan bahasa, karena kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari peran bahasa.
Manusia menggunakan bahasa dalam proses komunikasi untuk menyampaikan pikiran, perasaan, peran, dan informasi baik antarpribadi maupun antarkelompok, termasuk seruan tentang mengikuti protokol kesehatan. Bahasa merupakan alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 1997:1). Bahasa dapat membuat pribadi mampu memahami, tetapi juga bisa menciptakan salah paham seseorang. Bahkan, peran bahasa lebih mematikan daripada wabah virus korona dengan berbagai varian.
Jika merujuk dari aspek bahasa, virus korona dipahami sebagai bentuk semiotika. Artinya, virus korona merupakan tanda atau sesuatu yang mewakili yang lain. Barthes (1985) mengartikan tanda sebagai hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah entitas yang membenda (tangible), seperti audio visual atau yang dapat dilihat sekaligus didengar. Sementara, konsep petanda diartikan sebagi sesuatu yang terdapat di balik tanda.
Virus korona dipandang sebagai tanda, karena wujudnya tidak kasat mata sehingga harus menggunakan mikroskop untuk melihat bentuknya. Ketika diperbesarkan dan digambar, virus korona ditampilkan berdasarkan hasil proyeksi lensa dan bukan lagi sebagai bentuk aslinya. Hal ini berarti virus korona yang diwujudkan itu merupakan citra atau image.
Sebagai image, wujud korona dibawa ke dalam media ruang siber, sebuah tempat di mana berbagai citra bermetamorfosis, tempat “meme” (baca: gen yang terus beranak pinak) bergerak ke berbagai arah dengan “kecepatan setan”. Karakter media siber terkadang juga melahirkan kecemasan pada masyarakat siber sendiri (netokrasi, netizen) yang lantas berpengaruh secara signifikan terhadap masyarakat “sosiologis-geografis” (riil-citizen).
Kalau merujuk pada Peirce (Short, 2007), basis encoding tersebut bersifat ikonis. Artinya, virus itu dinamakan korona, karena bentuknya menurut hasil mikroskop mirip mahkota. Nama ini disadur dari kata bahasa Latin, “crown” yang berarti mahkota. Etimologis ini secara semiotika menunjukkan virus korona (coronavirus) sebagai citra ikonis makhluk yang wujud aslinya (real system) tidak kasatmata.
Karena tidak kasatmata, korona jadi sangat menakutkan. Tentu ini di luar fakta bahwa korona memang menimbulkan penyakit dan kematian yang nyaris tidak terhindarkan. Seandainya virus korona kasatmata, tentu secara fisik ia bisa dihindari. Namun, karena tak terlihat, manusia seperti tengah menghadapi sihir jahat (black magic). Bukankah ancaman paling berbahaya adalah musuh yang tidak terlihat?
Informasi dan perbincangan tentang virus korona dilakukan oleh siapa saja, tanpa pandang bulu. Misalnya, berita tentang pribadi yang terkapar korona dan meninggal, bukan sekadar berita kematian, melainkan apa yang disebut Holmes (2005) sebagai drama, orkestra, atau pertunjukan kematian. Informasi korona menjadi pseudo, bahkan dalam banyak hal menjadi patalogi informasi. Akibatnya, ketika virus korona yang telah jadi hantu bagi masyarakat masuk ke dalamnya, segera ia menimbulkan ketakutan dan kepanikan yang luar biasa.
Suasana ketakutan dan kepanikan sebenarnya digerakkan oleh bahasa saintifik, bukan bahasa sains. Sains belum bisa mengidentifikasi penangkal virus korona. Belum ada obatnya. Realitas ‘ketidakberdayaan’ sains ini dibarengi kegagalannya dalam mengirim “pesan substansial” ke publik. Sains tak mampu menjelaskan dalam bahasa populer bahwa belum ditemukan obat bukan berarti tak bisa sembuh. Faktanya, sebagian besar sembuh. Akibatnya, sains cenderung dipahami dan diterima publik sebagai mitos yang diciptakan bahasa, mitos sebagai model artikulasi (Barthes, 1991). Contoh saja, seseorang mau minum obat sakit perut bukan berarti ia tahu kandungan obat itu. Ia hanya yakin pada bahasa yang mendeskripsikannya (misalnya melalui iklan obat). Hal ini berarti bahasa telah melampaui sains.
Saya tidak menaifkan fakta bahwa virus korona sungguh ganas dan mematikan. Saya sendiri sangat ketakutan ketika membaca dan mendengar berita-berita beraroma virus korona. Saya hanya mencoba melihatnya dari perspektif lain, yaitu melalui jalan bahasa. Hemat saya, jalan ini sebagai salah satu strategi dalam mengatasi masalah pandemi ini.
Pandemi virus korona bukan saja menghadirkan masalah kesehatan, tetapi juga menghadirkan persoalan peradaban di mana bahasa menjadi nadinya. Penyebaran informasi mengenai virus korona melalui media masa dan media sosial tidak luput dari perkara bahasa. Dengan bahasa para pembaca dan atau pemirsa dapat memahami sekaligus salah paham tentang pandemi ini.
Berbagai pemberian istilah (semiosisasi) yang berhubungan dengan kasus ini, baik yang beraroma menyeramkan maupun menyejukan. Istilah yang memberi kesan menyeramkan, seperti orang dalam pengawasan/pantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), orang tanpa gejalah (OTG), dan isolasi. Diksi-diksi tersebut sudah digunakan secara familiar dalam ranah-ranah kejahatan. Istilah ODP dalam ranah kejahatan dikenal dengan ‘orang dalam pencarian’ (wanted). Kata “pengawasan” cenderung bernuansa negatif. Sementara PDP selain bernuansa negatif, istilah ini juga terkesan berlebihan (redundan), karena bagaimana pun ketika menjadi pasien berarti dengan sendirinya merupakan pribadi yang kesehatannya sedang dirawat. Demikian halnya istilah isolasi yang bernuansa militeristik.
Sekarang, pemerintah tidak memakai lagi istilah-istilah tersebut dan diganti dengan istilah kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, dan kontak erat. Padahal, imbauan WHO bahwa kasus probable yang belum ada konfirmasinya (terjangkit Covid-19) dihitung sebagai kematian Covid-19. Pemerintah membangun pemahaman bahwa kasus probable adalah suspek dengan ISPA berat/ARDS/meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Nah, tidak salah kalau pemerintah melaporkan angka kematian yang semakin meningkat akibat virus korona, akibat rujukan pada ‘kasus probable’.
Pemerintah memberi kriteria kasus suspek adalah orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal atau orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable Covid-19. Bahkan, Kemenkes memberi catatan, istilah PDP saat ini dikenal kembali dengan istilah kasus suspek. Kemudian kasus probable adalah suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Menjadi pertanyaan, ODP di mana? Harusnya ODP dan PDP masuk ke suspek, sementara probable itu untuk gejala klinis yang kritis.
Semua itu perkara bahasa. Banyak istilah masih rancu. Wajar kalau dalam situasi pandemi ini Kemenkes tidak jarang merevisi pedoman penanganan penyakit. Perubahan istilah sebaiknya dibarengi upaya menghindari kerancuan. Sayang kalau perubahan istilah malah menambah kerancuan. Kemenkes lebih teliti sebelum menerbitkan aturan tersebut yang merujuk WHO. Sehingga masyarakat dan tenaga kesehatan akan terhindar dari kerancuan.
Kalau merujuk pada semiotika menurut Saussure (1990) tentang relasi sintagmatik vs paradigmatik, istilah-istilah itu merupakan unsur sintagmatik (hadir sebagai fakta bahasa). Sementara secara paradigmatik, istilah-istilah tersebut dapat bertukar dengan istilah yang mirip di ranah kejahatan itu. Artinya, penderita virus korona jadi identik dengan penjahat. Tentu, hal ini sangat menyakitkan dan berkontribusi pada terbentuknya nuansa ketakutan. Bagus kalau istilah-istilah itu jangan dilanjutkan. Penggunaannya dapat dipertimbangkan dengan istilah lain yang lebih menyejukan. Misalnya, orang potensial terjangkiti (OPT) untuk mengganti ODP, pasien yang dilindungi (PYD) untuk mengganti PDP, perlindungan untuk mengganti isolasi.
Sementara, penggunaan istilah social distancing juga tidak tepat karena diterjemahkan menjadi ‘penjarakan sosial’. Penjarakan dimaksud bersifat fisik, tetapi tidak tepat memakai istilah yang sekaligus memisahkan hubungan kemanusiaan. Kalau merujuk taksonomi jarak Hall (1990), yakni intim atau cinta (0-1 meter), personal (2-4 meter), sosial (4-10 meter), dan publik (10-30 meter) berarti jarak 1 meter masih dalam nuansa cinta, tetapi tak intim (not close).
Baik kalau istilah social distancing diubah dengan love distancing (penjarakan cinta). Sebenarnya, jarak 1 meter bersifat menyatukan, bukan memisahkan. Jadi, love distancing menjadi jarak semiosis yang bisa jadi kekuatan sosial-kemanusiaan untuk bersama-sama melawan keganasan wabah ini.
Perkara bahasa bisa menciptakan korona-korona dengan varian baru. Tidak sedikit masyarakat yang takut dan drop hanya karena membaca dan atau mendengar istilah-istilah ‘mematikan’ itu. Karena itu, perlu bangun literasi positif yang sebaliknya membangun imun tubuh. Buat apa cemas dengan perubahan yang terjadi dalam sosial saat ini akibat bahasa yang awalnya karena tuntutan kondisi. Mengapa takut jika korona itu hanya bahasa. Manusia masih punya “budaya”. Cukup patuhi protokol kesehatan.