Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Joko Widodo Tiga Periode?

Robert Bala (Foto: Dok. Istimewa)

Robert Bala

Alumnus Resolusi Konflik Asia Pasifik, Facultad Sciencia Politica Universidad de Complutense Madrid – Spanyol.

Apabila ditanya, apakah bisa mengamandemenkan Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 agar presiden bisa menjabat 3 periode? Saya kira banyak orang termasuk saya menjawab: Tidak boleh. Di mana-mana di seluruh dunia, masa jabatan presiden itu tidak lewat 2 periode. Bahkan, ada negara  yang hanya membolehkan satu periode saja agar tidak ada pengekalan kekuasaan. Tetapi bila ditanyakan, apakah dengan kondisi Indonesia sekarang ini (membandingkan dengan periode sebelumnya) dan mempertimbangkan kinerja Jokowi, maka apakah bisa diperhitungkan agar Jokowi bisa menjabat 3 periode?

Saya kira terhadap pertanyaan ini banyak orang yang galau. Galau karena ada rasa tidak nyaman, gelisah, sedih, menyesal, dan bingung. Sedih dan gelisah karena seorang figur teruji kepemimpinannya yang hanya ia lakukan demi bangsa dan negara harus ‘tunduk pada perintah UUD. Kita juga sedih karena terbukti nyata apa yang dikerjakan Jokowi selama 7 tahun yang sudah lewat dan barangkali ada kejutan lain di 3 tahun tersisa. Sekadar membantu ingatan kita, total pembangunan tol di era Jokowi hingga 2020 telah mencapai 1.852 km (dibandingkan 212 kilometer yang dibangun SBY selama 10 tahun atau Soeharto dengan 500-an km). Sama sekali tidak ada perbandingannya. Hal itu belum dihitung dengan aneka jembatan. Pada periode 2015-2018, dibangun jembatan sepanjang  41.063 dan masih akan ditambah lagi 10.029 meter hingga 2020.

Sengaja contoh lain tidak mau dikemukakan agar tidak terkesan ‘membesar-besarkan’ apa yang dilakukan oleh Jokowi. Tetapi dengan contoh ini saja kita tersadarkan bahwa memang Jokowi beda. Yang membuatnya beda barangkali karena ia tidak punya beban masa lampau. Ia tidak ‘terikat’ oleh aneka proyek yang memperkaya dirinya dan keluarga. Dia lakukan hanyalah ingin membangun tanpa sekat. Bayangkan saja pembangunan jalan di Papua yang selama ini dibangun seadanya.

Pemindahan ibu kota ke Kalimantan pun tidak bisa dianggap sebagai hal kecil yang bisa dibebankan pada siapapun. Pikiran besar ini tentu hanya bisa dieksekusi oleh orang setipe Jokowi. Itu fakta yang nyaris tertandingi meski di sana sini ada usaha untuk memperkecil ketercapaian itu dengan coba menghadirkan calon lian yang ‘jago kata’ tetapi nyaris punya gebrakan.

Paling jelas dalam diri seorang Jokowi adalah ia sungguh-sungguh seorang ‘eksekutor’. Seorang eksekutor bertugas mengeksekusi program yang telah dicanangkan. Ia tidak butuh waktu lagi untuk ‘berpikir’ atau baca buku (seperti yang orang kritik Jokowi bahwa ia tidak baca buku atau buku yang dibaca adalah komik). Yang dibutuhkan adalah ‘eksekutor’ karena memang dia adalah pejabat eksekutif.

Di negeri ini sudah banyak orang pintar, cerdas, pandai, ‘kutu buku’, dan baca buku yang berat-berat. (Karena itu, sia-sia si Rocky Gerung yang mempertanyakan buku apa yang dibaca oleh Jokowi). Tetapi untuk jadi presiden, kepala negara, atau kepala daerah, kita butuh ‘eksekutor’ yang kemudian kita sapa sebagai ‘eksekutif’. Dia tidak pandai berkata tetapi berbicara melalui aksinya. Inilah yang ditonjolkan Jokowi selama ini.

Beberapa waktu lalu, saya ke Lembata dan Adonara mengunjungi pengungsi. Dengan ringan Jokowi katakan, “kita akan relokasi warga”. Sesederhana itu. Ia tahu ada uang negara (entah kita punya atau pinjam. Yang penting negara harus hadir dalam kondisi itu).