Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Menyoal Fungsi Otoritatif BPOLBF

Untuk merealisasikan ‘mimpi politik itu’ Presiden mengeluarkan Perpres soal pembentukan BPOLBF. Karena hanya bertumpu pada mimpi Jakarta, maka kehadiran dan penerapan agenda kerja BPOLBF di sini, tidak mudah untuk diselaraskan dengan visi misi politik Pemda serta pola kerja dari instansi yang bergerak dalam bidang pariwisata di level daerah.

Kedua, dilihat dari sisi fungsi koordinatif, tidak jarang ditemukan fakta tumpang-tindih dalam melaksanakan program. Peran Dinas Pariwisata dan bupati Mabar, tidak lagi dominan untuk tidak dibilang kurang berperan sebab semuanya diambil alih oleh BPOLBF. Gejala ‘penyingkiran Pemda’ itu mulai tampak dalam pelbagai kegiatan pemberdayaan yang diinisiasi BPOLBF.

Ketiga, yang paling mengkhawatirkan adalah penerapan fungsi otoritatif dari lembaga itu. Pemberian wewenang melalui Perpres untuk menguasai/mengelola lahan hutan 400 hektar, memicu kontroversi saat ini. Isu soal alih fungsi hutan Bowosie-Nggorang menjadi area investasi bisnis pariwisata mendapat ‘resistensi’ dari pelbagai elemen masyarakat sipil saat ini. Penolakan publik itu, mengacu pada fakta ‘kerusakan/kehancuran ekologi’ jika skema pengelolaan itu terealisasi.

Hutan Bowosie adalah adalah area tangkapan air sekaligus wilayah penyangga untuk Kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Dari sisi topografi, hutan itu berada pada posisi yang lebih tinggi dari kota Labuan Bajo. Jika kawasan itu dihancurkan, maka potensi hadirnya katastrofi ekologi, semakin besar dan nyata.

Keempat, fungsi otoritatif yang melekat pada BPOLBF semakin memperlihatkan kebijakan politik yang berwatak sentralistik, top down, dan totaliter. Semua desain dan rencana pembangunan untuk sektor pariwisata, diatur secara sepihak oleh Pempus. Pemda dan publik lokal ‘dipaksa’ untuk menerima begitu saja setiap resep pembangunan yang disodorkan Jakarta.

Kelima, dominasi BPOLBF dalam kegiatan pemberdayaan, penataan infrastruktur pendukung pariwisata dan kegiatan fasilitatif lainnya, semakin mempertegas penilaian bahwa ‘orang lokal tidak tahu apa-apa’. Warga Lokal dimobilisasi untuk mengikuti kegiatan seminar, workshop, pelatihan, dll di mana materi dan instrukturnya berasal dari Jakarta. Mereka datang menawarkan ‘pengetahun kejakartaan’ untuk diterapkan di Labuan Bajo. Kita menjadi obyek eksperimentasi politis orang pusat itu.

Dari penjelasan di atas, tuntutan untuk mengevaluasi kehadiran BPOLBF dan kinerjanya, semakin relevan dan urgen. Presiden Joko Widodo dalam salah satu kunjungan di Labuan Bajo pernah menegaskan “jika BPOLBF tidak berguna, maka bubarkan saja”.

Sampai saat ini, saya kira, sebuah kesimpulan definitif soal kontribusi dan sisi plus minus BPOLBF belum bisa dibuat. Kita belum mendapatkan hasil evaluasi komprehensif soal sumbangan BPOLBF dalam mempercepat kemajuan pembangunan pariwisata Flores.

Kendati demikian, mungkin yang perlu dikaji secara serius adalah pelaksanaan fungsi otoritatif dari BPOLBF. Saya berpikir, kewenangan otoritatif inilah yang menjadi ‘biang kerok’ munculnya kecurigaan publik terhadap lembaga ini. Jika harus dievaluasi, saya mengusulkan agar fungsi otoritatif ini dicabut atau dihilangkan.

Dengan demikian, BPOLBF bisa lebih terfokus pada pelaksanaan fungsi koordinatif. Tetapi, catatannya BOPLBF tidak boleh mengintervensi terlalu jauh apa yang menjadi ranah kewenangan Pemda Mabar. Dengan kata lain, BPOLBF mesti memperhatikan aspek kemitraan yang sinergis dengan stakeholder pariwisata lokal melalui jalinan komunikasi dan relasi yang profesional dan produktif.

Secara ideal-teoretis, kehadiran BPOLBF melalui peran koordinatif ini sangat membantu dalam mengakselerasi kemajuan pembangunan Pariwisata di Mabar. Atas dasar itulah, saya berpikir BPOLBF tetap dibutuhkan, tetapi dengan pengurangan kewenangan terutama dalam wilayah fungsi otoritatif.