Bernardus T. Beding*
“Nusa Teladan Toleransi” merupakan selogan plesetan pada singkatan NTT yang sesungguhnya merupakan nama Provinsi Nusa Tenggara Timur. NTT dianggap provinsi “toleransi” atau mempunyai toleransi tinggi antarumat beragama sehingga meraih nilai Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tertinggi tahun 2021. NTT menduduki peringkat pertama dengan indeks 81,07% yang dibangun dari beberapa indikator, seperti toleransi, kerja sama, dan kesetaraan.
Sebelumnya, NTT telah menoreh sejarah. Tahun 2015, NTT menerima “Kerukunan Hidup Antarumat Beragama Award” dari pemerintah pusat di Istana Negara. Bahkan, provinsi berbasis kepulauan itu saat ini merupakan daerah yang mempunyai toleransi umat beragama terbaik di dunia. “Karena perbedaan, keragaman, dan kemajemukan, NTT tidak lagi diplesetkan dengan anekdot Nanti Tuhan Tolong atau Nasib Tidak Tentu tetapi Nusa Teladan Toleransi, Nusa Tetap Tentram atau Nusa Terindah Toleransi-nya. Hasilnya, Nikmat Tiada Tara.”Demikian pernyataan pemimpin Provinsi NTT sebelumnya dalam suatu kesempatan.
Pertanyaan muncul, “Apakah benar demikian?” Jangan-jangan, masyarakat NTT terninabobokan dengan selogan plesetan ini dan lupa akan hakikat toleransi sesungguhnya. Toleransi adalah sifat atau sikap toleran (https://kbbi.kemdikbud.go.id/). Sementara, toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (https://kbbi.web.id/). Tim Prima Pena mengartikan toleran adalah bersikap tenggang rasa, bersikap menghargai pendirian orang lain; penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Tentu, setiap orang atau lembaga memiliki pemahaman berbeda tentang toleransi. Walaupun demikian, hakikat toleransi adalah “sabar” (dari bahasa Latin, tolerare).
Hal ini berarti “toleransi” bukan saja berperan pada konteks keragaman agama, suku, dan daerah. Sesungguhnya toleransi berperan pada karakter kehidupan, yakni kesabaran, menghargai, menghormati. Lebih dari itu, toleransi merujuk pada kesadaran diri, ketahanan diri, dan pengendalian diri manusia. Sejauh mana masing-masing pribadi yang berpredikat sebagai manusia mengimplementasikan hakikat toleransi tersebut dalam kehidupan?
Sikap Arogansi
Di ruang tunggu berbagai perkantoran, rumah sakit, warung, hotel, tempat wisata, dan ruang umum lainnya masih terlihat “yang terdahulu menjadi terakhir dan yang terakhir menjadi terdahulu” karena melekat prinsip “dia keluarga saya” sehingga diprioritaskan. Prinsip “ada orang dalam” dan “main pintu belakang” sudah menjadi kebiasaan, bahkan budaya sebagian besar masyarakat NTT. NTT yang menjadi wilayah teladan toleransi hanya selogan dan cerita dalam konteks ini.
Bukan itu saja. Setiap gerbang masuk pasar, terminal, dan tempat-tempat parkir mobil travel menampilkan arogansi dan kesewenang-wenangan pengguna jalan yang satu terhadap pengguna jalan yang lain. Kawasan menjadi macet dan semrawut sehingga membutuhkan kesabaran tinggi para pengguna jalan lain dari arah mana pun.
Bahkan, seseorang yang hidupnya telah dibingkai sikap toleransi dan memprioritaskan etika dalam kehidupan sosial, bisa saja berubah sikap ketika berkendaraan. Contoh realitas, ketika saya melewati jalan raya umum mata tak pernah alpa melihat kendaraan motor roda dua maupun roda empat berusaha mengambil jalur berlawanan dengan jalur lalulintas sebenarnya.
Keberadaan kendaraan bisa memberikan aura karakter yang mampu memengaruhi si biker atau pengguna motor. Karakter pengendara atau pengemudi di jalanan Indonesia cukup beragam, entah saat bergerombol (iring-iringan/konvoi) atau ketika sendirian. Hal ini berarti Si biker saat di jalan raya umum, apalagi yang menggunakan atribut atau sesuatu maka dapat memunculkan eksklusivitas hingga arogansi. Sikap arogansi biker mucul karena beberapa faktor. Pertama, jenis kendaraan yang ditungganginya. Motor yang dikendarai memiliki karakter bawaan. Selain faktor kapasitas mesin, pribadi pengendara memiliki sikap arogansi ngebut, geber-geber, dan merasa superior. Hal ini sangat memengaruhi perilakunya saat di jalan raya umum. Karena itu, menjadi kewajiban setiap pengendara menyadari dan memahami setiap perubahan yang terjadi dalam diri dan dari motornya.
Kedua, berkendaraan secara kelompok. Ketika berkendaraan dalam kelompok, rasa kebersamaan muncul sampai bisa menimbulkan eksklusivitas. Bahkan, bisa mucul arogansi walaupun tidak seluruhnya, karena mengendarai motor dalam kelompok sering muncul sikap “minta hak lebih” atas pengendara lain. Biasanya mereka meminta prioritas alias didahulukan. Hal ini jelas mengusik rasa keadilan dan toleransi sesama pengguna jalan. Padahal, prioritas hanya diberikan bagi pemilik hak utama, seperti ambulans dan pemadam kebakaran. Itu pun ketika mereka sedang menjalankan tugas kemanusiaan. Ini juga tertera di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, berkendaraan dalam kelompok dapat dipandang sebagai potret euforia dan mentalitas massa (baca: anggota kelompok). Euforia berkendaraan ramai-ramai ingin menunjukkan sesuatu, entah eksistensi atau hegemoni. Lalu, mentalitas kelompok membuat keberanian semu. Mereka menggeser rasa bersalah individu ke kelompok.
Di berbagai persimpangan jalan: perlimaan, perempatan, maupun pertigaan masih menampilkan arogansi pengemudi dan pengendara ingin “paling depan” saat antrian lampu merah. Angkutan umum yang secara visual masuk kategori kendaraan besar, truk-truk tronton selalu merasa mempunyai hak terhadap jalan raya yang ditunjukkan secara nyata dan berulang di setiap jalan umum.
Kendaraan yang pengemudinya arogansi ingin “lebih dahulu” melintasi jalur-jalum umum selalu memberi klakson sebagai aba-aba perintah supaya kendaraan lain untuk “minggir”. Apabila tidak ada reaksi dari pengguna jalan, yang kebetulan jalan perlahan di saat lampu traffic light menyala hijau terdengar teriakan umpatan kasar (dengan gaya khas ketimuran) sehingga terdengar balasan makian dari pengguna jalan lain, entah itu pengendara motor atau pengemudi mobil.
Segala umpatan dan makian itu merupakan bentuk dari “mendiamkan yang lain” (the others) karena dianggap mengganggu eksistensi dari “aku” yang dalam hal ini adalah kendaraan angkutan umum yang memang memiliki badan besar. Secara sosiologis, hal ini dapat dikatakan pertarungan kepentingan (clash of interest) antara yang melayani publik dengan badan besar yang merasa mempunyai hak lebih dibanding “aku-aku” yang melayani kepentingan privat dengan motor maupun jenis kendaraan lain. Bahkan, tidak sedikit pula kendaraan besar kaum kapitalis yang arogansi menguasai setiap jalan umum yang dilaluinya; padahal mereka hanya melayani kepentingan perorang atau keluarga.
Pertarungan kepentingan merebutkan eksistensi di jalur-jalur umum yang menambah macet dan ruwet serta semrawut tersebut adalah realitas kontradiktif dari salah satu wujud toleransi dari masyarakat NTT yang diplesetkan menjadi “Nusa Teladan Toleransi” ini. Padahal, toleransi menentang dominasi atas sikap dan tindakan keseharian yang memaksakan kehendak dengan mengurangi hak orang lain karena hal tersebut adalah mendiamkan yang lain.
“Mendiamkan Yang Lain”
Pertarungan kepentingan untuk mendiamkan orang lain juga tampak pada kontestasi iklan di ruang publik. Spanduk papan reklame super besar melintang di jalan, hingga sekadar plang penunjuk toko atau warung merupakan potret pertarungan kepentingan. Pertarungan kepentingan yang berkehendak mengalahkan yang lain lewat kemampuan kapital yang diejawantahkan dengan papan reklame atau iklan super besar tersebut, sehingga mereka yang lain, the others yang tidak mempunyai kekuatan kapital, hanya menunjukkan eksistensinya dengan plang nama yang lusuh dan kadang tidak terbaca lagi.
Realitas “mendiamkan yang lain” dengan kehadiran eksistensi “ke-aku-an” dan “ke-kita-an” seperti tergambar di atas merupakan sikap yang digambarkan Karl Popper sebagai wujud tolerant intolerance, yaitu sikap toleran dalam ketidaktoleran. Artinya bahwa yang kuat, yang besar, dan yang kaya hanya sekadar memberi “ruang” kepada yang kecil, yang lemah, dan yang miskin untuk menunjukkan keberadaan mereka, namun tidak beserta eksistensinya. Eksistensi dalam memperoleh haknya atas “ruang” hidup milik bersama.
Praktik “mendiamkan yang lain” di tengah sandangan predikat sebagai provinsi toleransi yang diplesetkan dengan selogan “Nusa Teladan Toleransi” adalah sebuah ironi. Setiap simpang jalan, ruang-ruang publik, tempat-tempat ramai umum, dan lain sebagainya tidak mengubah prilaku untuk tidak mendiamkan yang lain.
Begitu pula dengan kesewenang-wenangan papan iklan yang membutakan masyarakat NTT atas birunya langit. Jangan-jangan mendiamkan yang lain adalah kodrat manusia; tidak peduli di mana mereka hidup atau berada dan tingkat pengetahuannya. Karena itu, plesetan “Nusa Teladan Toleransi” adalah sia-sia.
Sekadar memberi ruang hidup tanpa memberi hak atas hidup yang dapat kita tengok lewat penyejarahan seperti tindakan Hitler ketika membisukan ratusan lawan politiknya di malam yang dingin tahu 1933, yang terkenal dengan The Night with The Long Knife.
Ketidakjelasan ketegangan adalah pangkat tindakan mendiamkan yang lain. Hal ini biasa terulang (moga-moga tidak lagi) ketika sekelompok politisi yang tentu memiliki intelektual baik, dengan superioritasnya berkehendak “memamerkan” potensi, kualitas maupun kuantitas diri dan kelompoknya dengan kebijakan-kebijakan yang secara tidak langsung untuk mendiamkan masyarakat kecil. Kebaikan dan kebenaran yang dikonstruksi dengan potensi dan dijabarkan kepada “yang lain” lewat kebijakan-kebijakan sepihak dengan legitimasi politik yang menjadi identitas superioritas diri atau kelompok tersebut.
Mendiamkan yang lain karena pertarungan kepentingan dalam masyarakat yang hidup dalam spasial ruang bernama Provinsi NTT, “Nusa Teladan Toleransi” adalah pengingkaran jati diri ke-NTT-an yang saat ini tengah terombang ambing kekhasannya.
Budaya Ketimuran
Budaya “ketimuran” melekat dan menjadi karakter masyarakat NTT karena pemahaman dan penghormatan masyarakatnya terhadap yang lain, yang diberi kebebasan dengan hak yang sama dalam satu ruang bersama bernama Provinsi NTT. Ataukah terombang-ambingnya status “ketimuran” saat ini karena realitas yang ada di setiap kota kabupaten, kota kecamatan, bahkan di desa-desa yang tidak peka lagi terhadap yang lain sehingga yang lain menjadi bisu dan kelu.
Bisu dan kelu dari yang lain adalah puncak dari hasil intolerance atau ketidaktoleran. Tidak ada yang menang atau kalah; yang ada adalah diam bersama karena pembenaran terhadap tindakan mendiamkan dan pembenaran atas pelesetan NTT, “Nusa Teladan Toleransi” yang sebenarnya gamang dan terombang ambing antara realitas dan labelitas.
Kebiasaan sosial di atas bisa diatasi melalui edukasi pentingnya toleransi dan penanaman kesadaran bahwa keselamatan jalan merupakan prioritas. Kalau sudah mengerti aturannya, tinggal diimplementasikan dan menjunjung etika toleransi sebagai nilai luhur di atas hukum. Pihak kepolisian juga perlu maksimal dalam pelaksanaan preemtif, preventif, dan represif. Semoga perilaku-perilaku intoleransi para pengendara dan pengemudi yang arogan (mobil dan motor) “mendiamkan yang lain” di jalan tidak lagi terjadi. Kembali ke hakikat toleransi adalah urgensi dan keniscayaan budaya ketimuran, budaya NTT. dengan ini, bingkai kehidupan masyarakat adalah perdamaian.***
*Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng