Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Cinta di Jalan Berlubang

Ket. Foto: Kbr Sulbar

Oleh: Waldus Budiman

Di sudut terminal Carep, seorang gadis duduk seorang diri. Tatapannya penuh ke layar handphone di tangannya. Sesekali dia mengelus rambutnya. Aku terus mengamatinya dari jauh. Sungkan untuk mendekat apa lagi menyebut namanya.

Kemarin dia menyumpahi kesetiaanku sejak kecurigaan dengan perempuan lain dan kini diriku menjadi terdakwah atas tuduhan tersebut. Aku harus berpikir lain dari apa yang dipikirkannya. Sebab perempuan ingin selalu benar dengan apa yang dirasakannya. Dan pada hari ini kami sama-sama menunggu keberangkatan di terminal Carep dengan penumpang lainnya menuju kampung kami masing-masing.

Aku terpaksa menjawab setelah dia menepuk bahuku. Aku berusaha tenang dan sedikit memperbaiki posisi dudukku.

“siapa perempuan di story WhatsAppmu?” berkali-kali Yuniarti meminta penjelasan. Sudah seminggu kami bentrok gara-gara masalah sepele itu. Aku tidak bermaksud menyakitinya. Gadis yang begitu polos dan memiliki pipi lesung adalah gadis pujaanku.

“tolong jelaskan sekarang, siapa perempuan itu?” kali ini dia bertanya sambil menitikkan air mata.

“Yuniarti sayang, dia adalah saudariku,” jawabku singkat.

Aku melihat ada sedikit ketenangan di wajahnya. Aku tidak mungkin mengkhianati kepolosannya. Bukan karena kami LDR, bukan pula aku harus mecintai yang lain. Di kampusku ada banyak yang cantik bahkan ada ratusan yang lebih cantik dari Yuniarti. Tetapi aku menginginkan hal itu terjadi di antara kami dua.

Yuniarti seorang mahasiswi tingkat akhir di kampus UNIKA Ruteng. Selain itu juga dia seorang gadis yang memiliki wawasan luas dan tergabung di beberapa organisasi. Penampilannya sederhana walaupun berasal dari keluarga yang berada. Kami sudah lama berkenalan. Hari ini kami menjadi penumpang yang sama di sebuah oto kol menuju kampung Buti. Dia duduk di sampingku. Jantungku berdebar-debar. Karena sebelumnya kami hanya bertatap lewat layar handphone.

Lagu Ambon terus menemani perjalanan kami menuju kampung tercinta. Aku berusaha tenang meskipun sedikit gugup. Aroma parfum marlboro membangkitkan hasratku. Dia sangat tenang sedangkan aku, ah.. sudahla!

Aku tersentak dari lamunanku saat tangan Yuniarti memegang lenganku.

“maaf kak” katanya. Lagi-lagi jalan berlubang,.
“tidak apa-apa dek” balasku. Itulah percakapan kami sejak berangkat dari terminal. Aku berusaha untuk memulai percakapan. Bagaimanapun juga, aku ini seorang laki-laki yang gentle, jadi.., harus berani di hadapan perempuan. Hal itu aku tunjukan di hadapan Yuniarti. Dari tanya nama, asal, hingga nama orang tua bahkan nama nenek moyang pun aku tanya. Oto kol terus melaju dan lagu Ambon terus menemani perjalanan kami.

Sesekali om sopir membunyikan klakson ketika melihat nona cantik di pinggir jalan. Dasar om sopir, memang om sopir jaman now sedikit nakal. Mereka juga manusia normal. Di samping kami ada seorang kakek yang sedang asik menikmati mbako kasar (rokok yang gulung sendiri) asapnya sangat menggangu pernapasan, khususnya Yuniarti. Beberapa kali dia batuk dan badannya sedikit lemas. Lalu dia meminta untuk menyandarkan bahunya di pundakku, dengan senang hati aku mengijinkannya. Tanpa dia minta pun aku akan berharap. Siapa yang berani membuang kesempatan emas ini.

Dalam hati aku mengucapkan terima kasih kepada kakek di sampingku atas asap tembakaunya. Kini perjalanan kami memasuki hutan lebat setelah melewati tukeng (tanjakan) Ranto yang sedikit terjal. Udara dingin menerpa kami. Aku melihat Yuniarti kedinginan lalu dengan berani aku menawarkan jaketku. Yuniarti tidak tahu kalau jaket itu sudah dua minggu belum di cuci tapi wangi parfum casa blanca menciptakan aromanya yang segar.

Saat-saat seperti ini orang tidak lagi melihat ataupun menilai bersih atau tidaknya, tapi yang paling penting bahwa dia merasa aman dan hangat pastinya. Yuniarti membuktikan hal itu, dia tersenyum ketika tubuhnya dibungkus dengan jaketku.

Dalam hati aku mengucapkan terima kasih kepada alam semesta, kepada Tuhan dan khsususnya kepada pemerintah yang tidak pernah atau memang belum saatnya memperbaiki jalan menuju kampung kami yang masih berbatu. Karena di jalan berlubang aku jatuh cinta. Yuniarti Gadis impian masa depanku. Dia bintang dari bulanku dan mentari dari matahariku.

Penulis saat ini tinggal Lengko Ajang, suka membaca buku, ingin menjadi malaikat dan mencintai mantan orang lain.