Dr. Mantovanny Tapung: Covid-19 Bisa Menjadi Bentuk Teorisme Jika Tidak Dikritisi

Manggarai.GardaNTT.id-Covid-19 bisa menjadi sebuah bentuk teorisme baru merupakan salah satu bagian kesimpulan yang disampaikan Dr. Mantovanny Tapung ketika membawakan materi seminar dengan judul “Pancasila di Tengah Kecamuk Virus ‘Ideologi’ Covid-19” dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-76, pada Senin, (16/8) waktu setempat.

Seminar yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unika St. Paulus ini bertemakan “Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Pengamalan Nilai Pancasila di Indonesia”. Pembicara lain dalam Seminar ini, Dr. Otto Gusti Madung (Dosen Filsafat STFK Ledalero). Pelaksanaan kegiatan dilakukan secara luring (offline) dan daring (virtual).

“Covid-19 bisa menjadi bentuk tsieorisme baru jika tidak dikritisi dengan baik oleh masyarakat dunia dan Indonesia,” jelas Dosen Filsafat dan Ilmu Sosial di kampus Unika itu.

Menurutnya, merujuk pada defenisi terorisme sebagai sebuah tindak kejahatan yang tidak tunduk kepada aturan apapun, karena nilai kebenarannya terletak dalam dirinya sendiri, serta menyangkal kebenaran pada pihak lain.

Ia menjelaskan, Terorisme merupakan fenomena yang kompleks, tetapi memiliki ciri utama, yaitu penggunaan tindakan pemaksaan kehendak dan ideologi, dan sengaja menciptakan ketakutan massal (Hendropriyono, 2009:435).

Dan jika merujuk pada pendapat Wilkinson (Winarno, 2014: 175), kata Mantovanny, terdapat empat tipologi terorisme yaitu: pertama, terorisme kriminal merupakan tindakan teror dengan tujuan mendapatkan keuntungan material dan finansial; kedua, terorisme psikis, merupakan teror yang berkaitan dengan kepercayaan, mitos, dan magis; ketiga, terorisme perang, merupakan bentuk teror melalui pemusnahan musuh melalui kekerasan fisik; dan keempat, terorisme politik, merupakan upaya kekerasan dan teror yang sistematis guna mencapai kekuasaan politik.

Dalam konteks Indonesia, katanya, terorisme kriminal terjadi ketika beberapa oknum memanfaatkan Bansos Covid-19 dan bantuan-bantuan lainnya untuk kepentingan diri dan kelompok.

“Tindakan koruptif seperti ini, jelas menjadi sebuah teror moral untuk kehidupan bangsa saat ini. Di tengah penderitaan masyarakat dalam menghadapi pandemi, masih ada orang yang berupaya mereguk keuntungan dan menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan diri dan kelompok. Belum lagi rumor yang berkembang tentang praktik men’covid’kan orang yang meninggal demi tujuan tertentu,”ungkap Mantovanny.

Ia menambahkan, terorisme psikis, juga tampak nyata. Informasi tentang semakin banyaknya yang terpapar dan merenggang nyawa akibat Covid-19 menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Silang sengkarut data Covid-19 antara pemerintah pusat dan daerah menjadi gangguan psikis tersendiri bagi masyarakat. Bunyi sirene dari mobil ambulans dalam waktu yang begitu dekat sudah menebar asumpsi tentang adanya orang yang terpapar atau meninggal karena Covid-19.

Menurutnya, teror psikis ini juga berdampak pada pola interaksi yang tidak lazim, sungkan, enggan dan saling curiga. Munculnya berbagai narasi mengenai kepercayaan, mitos, dan bahkan magis yang bertebaran di media sosial untuk menangani dan mencegah Covid-19 membuat masyarakat bingung untuk memilih mempraktekan yang mana. Sementara semuanya itu belum tentu melalui uji klinis yang valid dan bisa menyehatkan. Belum lagi bertebaran berita hoaks yang sangat eskalatif pada masa pandemi, dan mengganggu konsentrasi pemerintah dalam penanganan Covid-19.

Dalam konteks Covid-19, kata dosen Unika itu, terorisme bentuk ketiga dan keempat, tidak terlepas dari konstelasi perang pengaruh negara adidaya seperti China dan Amerika, dan tentu berdampak konsekuensial bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia.

Dr. Mantovanny menjelaskan, perang dunia ke-2 adalah drama perang fisik dan hal itu sudah kedaluwarsa. Drama perang dunia ke-3 sudah bertransformasi ke tingkat tinggi ke model perang biologis (biowar) dan perang psikologis (psywar). Hal ini tentu tidak bisa terlepas dari kehendak untuk berkuasa (will to power) dan rebut pengaruh dari negara adidaya tersebut, tentu dalam bidang ekonomi dan politik.

“Upaya transnasionalisasi ideologi politik komunisme versus demokrasi, atau ideologi ekonomi sosialisme versus liberalisme, menjadi agenda kental dari dua negara ini. Dan Covid-19 dapat diduga dikomodifikasi untuk kepentingan-kepentingan ideologis tersebut. Hal ini bisa mungkin, ketika melihat adanya homogenisasi upaya penanganan Covid-19, seperti kebijakan protokol kesehatan, jenis obatan-obatan dan vaksin, masker dan alkes.” jelas Mantovanny

Analisa asumptif mengenai saling rebut pengaruh dua negara adidaya di tengah pandemi Covid-19, Mantovanny merujuknya pada berapa literatur dan berita media massa dan elektronik nasional dan internasional. Bila benar bahwa Covid-19 adalah skenario dari drama perang dunia ketiga, maka tentu menyalahi konvensi mengenai senjata perang yang sudah ditandatangani kedua belah pihak pada tahun 1984. Tentu, mengenai sahih tidaknya informasi upaya rebut pengaruh dua negara super power pada masa pandemi ini, perlu didalami dan didiskusikan lebih lanjut.

Mantovanny yang merupakan lulusan Universitas Pendidikan Indonesia menegaskan, agar kita tidak terjebak dengan bentuk teror ini, maka ‘conditio sine qua non’ masyarakat Indonesia harus dibekali dengan edukasi dan promosi, selain mengenai protokol kesehatan tetapi juga harus menghindari sikap kritis dalam menanggapi berita-berita hoaks selama masa pandemi ini.

Dalam hal ini katanya, peran pemerintah pusat dan daerah dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan perlu bekerjasama untuk menumbuhkan sikap kritis pada masa pandemi ini, agar masyarakat tidak termakan teror yang bisa menurunkan imunitas tubuhnya.

“Untuk Indonesia, selama ini, teror dalam bentuk apapun sudah terbukti bisa dipatahkan, karena memiliki Pancasila sebagai rujukan nila dan norma perjuangan bangsa,” jelasnya

Pandemi ini adalah momentum refleksi, introspeksi dan sekaligus evaluasi tentang pengamalan dan penghayatan atas nilai-nilai Pancasila.

“Kita meyakini bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila tersebut bersifat universal dan dapat dijadikan landasan bagi pembentukan norma-norma kenegaraan maupun norma-norma moral,” ungkapnya.

Pandemi membangkitkan kesadaran religius tentang relasi antara Tuhan YME, manusia dan alam semesta. Pandemi menuntut pemberdayaan akan kecerdasan spiritual dan kecerdasan ekologis. Pandemi juga menjadi momentum refleksi dan evaluasi atas relasi manusia dengan alam yang sudah tidak harmonis dan seimbang dan menyadarkan situasi batas manusia (point of no return) bahwa manusia begitu rapuh berhadapan dengan kekuatan lain di luar manusia.

Lebih jauh dijelaskannya, Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia memiliki nilai-nilai yang menguatkan Indonesia sebagai bangsa, antara lain persatuan, empati kemanusiaan, kesetiakawanan, solidaritas social dan gotong royong, kesukarelawanan, sense of crisis, sensivitas dan berpikir kritis, empati dan tanggung jawab etis kemanusiaan, yang dibutuhkan dalam menghadapi pandemi

Penulis: Olizh JagomEditor: Adi Jaya