Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks
Opini  

Garis Putih di Jalan (Bahasa)

Oleh: Bernardus T. Beding
Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng

Opini-Ketika masuk di kota-kota metropolitan, kota-kota Provinsi, dan kota-kota Kabupaten, kita pasti melihat garis-garis putih yang mencolok dan tebal menghiasan setiap jalan, khususnya jalan raya umum yang hiruk pikuk dengan berbagai aktivitas pejalan kaki maupun kendaraan bermotor. Garis putih membelah setiap jalan merupakan salah satu rambu lalulintas, sekaligus markah jalan yang dilalui oleh banyak orang setiap hari, baik pejalan kaki, para pengayu sepeda ontel, maupun para pengendara kendaraan bermotor. Orang-orang memanfaatkan infrastruktur jalan raya umum untuk aktivitas kehidupan masing-masing.

Markah jalan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, kemudian Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 67 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 34 Tahun 2014 Tentang Markah Jalan. Aturan-aturan tersebut merupakan bukti bahwa Negara hadir sebagai regulator atas memanfaatan ruang publik. Garis putih yang membelah setiap jalan raya umum sebagai wujud nyata regulasi negara terhadap masyarakat pemakainya. Masyarakat penggunanya wajib memahami arti dan mentaati setiap markah garis putih yang digambarkan pada jalan raya.

Sepengetahuan saya, beberapa garis markah yang biasa kita lihat di jalan-jalan raya. Pertama, garis putih penuh berarti setiap pengendara kendaraan bermotor tidak diperkenankan mendahului kendaraan lain di depannya dengan memotong jalan yang dibatasi garis putih penuh melalui sebelah kanan. Kedua, garis putih putus-putus menandakan bahwa pengendara kendaraan bermotor diperbolehkan menyalip kendaraan di depannya dengan memastikan bahwa tidak ada kendaraan dari arah yang berlawanan. Ketiga, garis putih putus-putus dan penuh berarti pengendara kendaraan bermotor diperbolehkan mendahului kendaraan di depannya, namun segera kembali ke jalur seharusnya (jalur kiri) . Keempat, garis diarsir lurik-lurik memberi arti bahwa pengendara bermotor dihimbau untuk keluar dari tanda jalan seperti itu. Kelima, garis kuning berarti pengendara bermotor tidak boleh berhenti dan parkir di area tersebut.

Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa realitas berkata lain. Ketika pemandangan di jalan-jalan raya umum, seperti di daerah perbelanjaan (pertokoan dan pasar), daerah perkantoran dan lembaga-lembaga pendidikan tertentu, pengendara kendaraan bermotor seakan tidak mengerti atau memahami aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk tersebut. Tidak sedikit pengendara kendaraan bermotor berpacu melanggar aturan penempatan garis putih di jalan. Garis putih hanya sebagai hiasan sehingga para pengendara bermotor cendrung mengabaikan eksistensi regulasi yang diwakili garis putih.

Garis Putih di Jalan Bahasa

Garis putih yang membentang di setiap jalan raya umum merupakan bahasa. Saussure (1960) melihat bahasa sebagai salah satu cabang dari semiologi, yakni jenis atau sistem tanda tertentu. Dalam konteks ini, ketika para pengendara kendaraan bermotor lalu-lalang di jalan umum dengan seenaknya melanggar garis putih, para pengendara tersebut dapat dikatakan tidak dapat berbahasa, karena berbahasa sebagai sistem tanda selalu mengungkapkan ide (Saussure, 1966). Ide yang terkandung dalam garis putih yang membentang di jalan raya umum mengungkapkan aturan untuk mencegah serangkaian kekacauan dalam berkendara yang mengakibatkan kecelakaan dan kerugian publik.

Ketika menjelajahi daerah-daerah dan kota-kota di daratan Flores dan Lembata, serta melintasi trans Flores dan Trans Lembata, saya menemukan garis putih di jalan raya umum hilang dari perhatian para pengendara. Secara khusus, jalan raya di daerah perbelanjaan, jalur persekolahan, dan perkantoran dibelah oleh ratusan kendaraan. Terjadi kompetisi pemanfaatan jalan tersebut untuk kepentinga masing-masing, seperti transportasi belanja, sekolah, kuliah, mengajar, masuk kantor, bekerja, ojek, atau sekadar parkir tanpa tujuan. Para pengendara terlihat masa bodoh mengendarai kendaraan di ruas jalan yang dapat dikatakan sempit dengan risiko mencelakakan orang lain maupun diri sendiri dengan melanggar rambu garis putih tersebut. Kelihatan, setiap pengendara tidak mau mengalah untuk membangun budaya antri. Hal inilah dipandang oleh Raihana (2008) sebagai kegagalan masyarakat untuk mengkota. Artinya, para pengendara kendaraan bermotor gagal membaca garis putih di setiap jalan raya umum melalui ide regulasinya. Kesadaran yang tidak memahami regulasi dengan alasan kesusu, terburu-buru, tergesa, sudah terlambat, dan lain sebagainya adalah bukti bahwa masyarakat pengguna jalan masih harus belajar membaca tanda (semiologi) sekaligus bahasa tanda tersebut, apabila tidak ingin dikatakan gagal membaca teks modernitas.

Menengok Kegagalan Teks Modernitas

Giddens (1991) dalam Modernity and Self Identity mengartikan modernitas, yakni Modernity refers to historical period in the time and space with a serious of cultural, social, and economic changes which science and scientific consciousness developed … and the conception of the person as free, autonomous, self-control, and reflective. Konsep Giddens tersebut menekankan beberapa hal. Pertama, change atau perubahan, seperti halnya garis putih yang membujur sepanjang jalan raya umum adalah wujud perubahan untuk menuju peradaban kota dan wilayah. Kedua, scientific consciousness, yaitu garis putih tersebut adalah kesadaran pengetahuan yang memproduksi serangkaian aturan guna menjaga peradaban manusia. Ketiga, modernisasi, yakni kebebasan manusia sebagai individu otonom yang revlective dan berkesadaran atas keberadaan serangkaian aturan yang telah disepakati bersama seperti penempatan garis putih di jalan-jalan raya umum.

Namun, zig-zag kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat di tempat-tempat ramai, daerah-daerah perbelanjaan dan jalur-jalur perkantoran dan sekolah merupakan awal kegagalan membaca teks modernitas. Mengapa? Karena konsekuensi zig-zag dengan melanggar garis putih adalah merebut hak orang lain atas infrastruktur milik publik tersebut dengan berpotensi mencederai. Padahal, modernitas tumbuh dengan alasan meminimalkan cedra masyarakat atas apa pun (misalnya kecelakaan). Gagalnya teks modernitas di sini mengacu pada keengganan masyarakat pengguna jalan untuk belajar sistem tanda yang membahasakan ide tentang aturan berkendara dan berlalulintas. Oleh karena itu, modernitas yang sedang kita lalui ini dapat disebut flawed modernity atau modernitas yang tercederai oleh ketidakmampuan kita membaca garis putih sebagai bahasa yang mengungkapkan ide berkehidupan lebih baik.

Selain itu, kegagalan membaca garis putih di jalan raya umum adalah kegagalan sistem kemasyarakatan. Garis putih yang membujur membelah di jalan adalah signified (yang tertanda) sekaligus sebagai tanda (signifier), di mana ada tanda, di situ ada sistem. Sistem kemasyarakatan modernlah yang memunculkan tanda-tanda tersebut, seperti garis putih yang membujur di setiap jalan raya umum, dengan tujuan menjaga relasional kemasyarakatan. Para pengendara melanggar garis putih tersebut dapat dikatakan bahwa tanda (signifier) tidak mempunyai hubungan makna dengan yang tertanda (signified).

Oleh karena itu, dilanggarnya garis putih sebagai aturan kemasyarakatan mengindikasikan ketidakberesan struktur masyarakat karena tanda, seperti garis putih di jalan raya umum adalah model dari struktur (de Saussure dalam Cours de Linguistique Generale, 1920). Pada akhirnya, garis putih di setiap jalan raya umum tidak lebih dari sekadar coretan di jalan yang tidak mempunyai relasi makna dengan para pengendara. Inilah cedera sistem kemasyarakatan modern.