Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks
Opini  

Gerbang Suksesi, Kecemasan Sang Mantan Penguasa

Oleh: Bernardus T. Beding

Pegiat Literasi dan Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng

Momen 26 Februari 2021 merupakan gerbang suksesi beberapa Pemerintahan Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Waktu yang ditentukan untuk acara pelantikan pasangan calon (paslon) Bupati dan Wakil Bupati terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2020 silam. Berdasarkan berita dari Media Massa Online Koranntt.com (24/2/2021), terdapat lima Paslon yang akan dilantik Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, yakni (1) Drs. David Juandi-Drs. Eusabius Binsasi (Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Timor tengah Utara), (2) Herybertus G.L. Nabit, S.E., M.A-Heribertus Ngabut, S.H (Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Manggarai), (3) Drs. Kristofel A. Praing, M.Si-David Melo Wadu, ST (Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Sumba Timur), (4) Edistasius Endi, S.E-dr. Yulianus Weng, M.Kes (Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Manggarai Barat), dan (5) AKBP (Purn.) Andreas Paru, S.H., M.H-Raimundus Bena, S.S., M.Hum (Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Ngada).

Momentum tersebut menunjukkan bahwa Bupati dan Wakil Bupati yang sempat menduduki kursi nomor satu Pemerintahan Daerah sebagai ‘Sang Penguasa’ telah mendapat predikat ‘mantan’ di mata masyarakatnya. Mereka bangun dari kursi kepemimpinan dan melangkah meninggalkan rumah Pemerintahan dapat dibaca membawa saribu satu perasaan batin. Perasaan senang bisa jadi ada karena mereka bebas dari tanggung jawab besar mengurus Pemerintahan Daerah. Barangkali, perasaan menyesal juga membingkai hati dan pikiran karena tidak lagi dapat mengolah APBD dan berbagai anggaran lainnya. Mungkin juga ada perasaan cemas yang sulit sekali terobati, karena setelah turun dari tahkta kepemimpinan, bisa jadi harus berhadapan dengan pihak hukum akibat kebijakan dan realisasi program yang tidak tepat sasaran selama menduduki kursi Bupati dan Wakil Bupati. Karena itu, suksesi kepemimpinan suatu daerah bagaimana pun damainya, sering menjadi kecemasan bagi sang mantan penguasa.

Sangat menarik kalau kita amati fenomena dan perilaku para mantan penguasa yang diberitakan akhir-akhir ini. Ada kekhawatiran hebat dari penulis, bahwa mekanisme kekuasaan yang ditinggalkan oleh para mantan penguasa seakan mengumpal dan mengembang. Hal ini ketika penulis membaca dan menyimak berbagai pemberitaan media tentang mereka. Hanya saja dengan demikian dan sudah pasti yang namanya kepercayaan politik masyarakat sia-sia belaka, apalagi masyarakat lebih memahami dan menyadari hakikat berpolitik.

Kekuasaan memang mengasikkan dan menggoda sang penguasa untuk berlama-lama di puncak kekuasaan, antara lima sampai dua puluh tahun menduduki kursi kekuasaan. Sementara mereka tidak menyadari bahwa masyarakat dan tidak sedikit bawahannya semakin hari semakin bosan, bahkan tidak suka dengan alur kepemimpinan mereka.

Lord Acton, seorang filsuf Inggris pernah melontarkan sebuah awasan bahwa kekuasaan yang absolut cendrung disalahgunakan dan pelan-pelan rusak. Malah sang penguasa yang absolut akan rusak secara absolut juga.

Apa yang diingatkan Acton tersebut melukiskan sebuah fakta historis. Menjelang kejatuhannya, Ferdinand Marcos, mantan Presiden Filipina berusaha untuk menghirup habis-habisan seluruh elemen kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Namun, ia lupa bahwa dengan itu, ia jadi payah sekali, malah saking mengumpalnya dan mengembangnya kekuasaan yang dikumpulkannya, ia mengalami powerlessness atau ketidakberdayaan akibat kehilangan kekuasaan sama sekali sampai akhirnya ia lari terbirit-birit mencari suaka politik ke luar Negeri.

Sekadar untuk dikenang, kita coba menyimak prilaku politik Bung Karno di zaman Orde Lama. Menjelang ketergusurannya dari pentas perpolitikan di negeri ini, ia mencanangkan “demokrasi terpimpin”. Kala itu ia masih belum puas hanya dengan mengeluarkan dekrit pembubaran parpol, lalu menyusul pembriedelan koran, pembungkaman kaum intelektual, budayawan, dan sejenisnya harus tutup mulut. Lantas apa akibat dari permainan kekuasaan yang tak fair seperti itu? Satu sisi memang diakui ia memiliki akumulasi kekuasaan yang berlebihan, tetapi di lain pihak, ia mengalami powerlessness yang menjurus kepada ketidakseimbangan yang ekstrem. Pada akhirnya ia harus menerima kenyataan kehilangan power.

Pada zaman Orde Baru mulai diberlakunya floating mass atau masa mengambang. Alasannya mudah saja. Demi stabilitas politik dan agar masyarakat mengkonsentrasikan diri pada upaya pembangunan. Argumentasi seperti ini bisa saja. Hanya soalnya sekarang, terbunuhnya kesadaran politik pada tingkat desa untuk jangka panjang. Meminjam istilah Sabam Sirait terjadilah apa yang dinamakan the lost generation, yaitu keterlantaran generasi berikutnya dalam mengembangkan sebuah kesadaran politik, yang mestinya dipunyai oleh setiap warga negara Indonesia sebagai calon pemimpin masa depan.

Tentu prilaku politik demikian terjadi juga pada zaman reformasi hingga sekarang, khususnya di pemerintahan daerah pasca terbitnya Undang-Undang Otonom Daerah. Meskipun di era reformasi ini sosok kepemimpinan kepala daerah dikatakan jauh lebih demokratis dengan menerapkan demokrasi Pancasila dan produk hukum dikatakan bersifat responsif, akan tetapi kepemimpinan mereka masing-masing di setiap periodenya pasti masing-masing memiliki dinamika politik dengan berbagai kekurangan dan kelebihan. Kekuarangan yang ditanggap oleh masyarakat akan melahirkan kecemasan pasca turun dari kekuasaan.

Semua fenomena tersebut menunjukkan betapa sang penguasa selalu merasa tak aman, gelisah, cemas, menghadapi saat-saat suksesi kepemimpinan. Karenanya ia berusaha untuk membentengi diri, berprilaku absolut, diktator, otoriter, dan bahkan sampai mempraktikkan terorisme politis sekalipun.

Alternatif solutif untuk menghindar kecemasan pasca meninggalkan kursi kepemimpinan dan meja penguasa, maka tipe ideal bagi seorang pemimpin pemerintahan daerah adalah seseorang yang karena asalusulnya yang baik, berpendidikan, beragama, dari etnis apapun asal memiliki integritas pribadi yang baik, berpikiran maju dan modern, punya komitmen pada kehidupan demokrasi, memiliki visi dan sistem politik yang jelas, serta otoritasnya mampu mengintegrasikan dan mensinergikan seluruh potensi bangsa untuk mencapai kemajuan, kesejahteraan, dan kemerdekaan agar sejajar dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Namun bagaimana dengan sosok pemimpin daerah yang dilantik hari ini? Gambaran tentang sosok pemimpin daerah masa depan, paling tidak menurut persepsi dan penafsiran saya sendiri setelah melihat sejarah perjalanan orang-orang penting yang pernah memimpin daerah, adalah sangat penting untuk dikaji dan diperdebatkan agar daerah ini tidak kehilangan arah dan jati dirinya sebagai daerah yang berdaya saing. Kemudian kaitannya dengan pembangunan karakter, tentu saja sangat relevan karena pemimpin, terutama Bupati dan W!akil Bupati terlantik adalah figur panutan dan contoh teladan bagi masyarakat.

Gerbang suksesi memang sesuatu yang tidak enak buat sang mantan penguasa. Berharap agar para mantan penguasa sadar dan tahu diri bahwa pada waktunya ia mesti berhenti dan turun dari takhta kepemimpinan yang empuk. Barangkali ini yang dimaksudkan Megawati Soekarno Putri, “Saya yakin suatu hari suksesi akan terjadi. Suksesi yang bagaimana? Suksesi yang damai dan konstitusional.” Jangan-jangan ucapan mantan Presiden Republik Indonesia itu membuka gerbang hari ini. Mudah-mudahan.