Kajian Pragmatik Debat Cawapres 2024: Prinsip Kesantunan

Penulis: Antonius Gatul

GardaNTT.id– Masyarakat Indonesia kembali diharapkan dengan pesta Demokrasi pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang akan dilaksankan pada 14 Februari 2024 mendatang. Tanggal tersebut bersamaan dengan 2 perayaan penting. Pertama, seluruh dunia memperingati hari Valentine (Bahasa Inggris: Valentine’s Day) atau hari kasih sayang. Kedua, perayaan hari Rabu Abu untuk umat Kristiani (Katolik).

Melihat keajaiban tanggal tersebut muncullah pertanyaan, “Apakah Demokrasi tahun ini berjalan dengan penuh rahmat dan kasih sayang?” Pertanyaan itu bisa dijawab setiap mayarakat sesuai dengan apa yang mereka lihat dalam debat Capres dan Cawapres meskipun setiap individu memiliki pandangan yang berbeda terhadap setiap argumen yang diutarakan Paslon.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diketuai oleh bapak Hasyim Ashary menetapkan debat Capres dan Cawapres akan dilaksanakan sebanyak 5 kali, mulai Desember 2023 hingga Februari 2024. Maka, Debat politik terutama dalam konteks pilpres, merupakan salah satu wadah utama di mana kandidat mengutarakan visi, program, dan argumen mereka untuk mendapatkan suara rakyat Indonesia. Suara rakyat tidak begitu saja didapatkan. Tentu rakyat mampu menilai program dan argumen mana yang berkualitas dan lebih cocok memimpin negara Indonesia selama lima tahun ke depan.

Namun, dibalik retorika yang ditampilkan, terdapat kajian pragmatik yang dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana bahasa digunakan untuk memengaruhi audiens.

Sebelum itu, kita selami terlebih dahulu pengertian pragmatik. Pragmatik sendiri adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari bahasa dari sudut pandang hubungan antara bahasa dengan konteks pemakaiannya. Pragmatik sering disebut sebagai tempat sampah linguistik. Mengapa demikian? Karena pragmatik mengkaji sesuatu yang tidak dapat dikaji oleh cabang linguistik lainnya.

Pragmatik mengkaji makna ujaran dalam komunikasi, yaitu bagaimana konteks dan situasi mempengaruhi produksi serta interpretasi bahasa, (Yule, George. 1996.)

Dalam konteks debat pilpres 2024, kajian pragmatik memberikan perspektif yang komprehensif, bagaimana kandidat menggunakan bahasa untuk membangun citra, mempengaruhi opini publik, dan memenangkan dukungan pemilih.

Salah satu aspek penting dari kajian pragmatik adalah analisis tuturan atau wacana, aspek tersebut melihat para kandidat merancang berbagai strategi bahasa untuk mencapai tujuan mereka. Tuturan atau wacana tersebut tentu memiliki etika. Bukan retorika semata.

Seperti yang kita saksikan dalam debat Cawapres pada 21 Januari 2024, setiap kandidat menggunakan strategi bahasa seperti “sugesti” atau memberi pengaruh untuk menyampaikan pesan yang kuat kepada pemilih. Hal itu menjadi aspek penting untuk menarik perhatian dan simpatik pemilih. Namun, satu hal yang harus kita lihat dan pahami bersama sebagai bahan pertimbangan kita untuk memilih setiap kandidat, yaitu kesopansantunan dalam bertutur dan bertingkah.

Pragmatik dalam konteks Pilpres 2024, memainkan peran penting dalam menganalisis interaksi bahasa yang terjadi dalam debat para kandidat. Salah satu aspek yang penting dalam kajian pragmatik adalah prinsip kesantunan, yang menjadi kunci dalam memahami bagaimana pesan-pesan politik disampaikan dan diterima oleh masyarakat.

Prinsip kesantunan dalam kajian pragmatik merupakan konsep yang mengatur bagaimana seseorang berkomunikasi secara sopan dan menghormati lawan bicara serta pendengar.

Debat Pilpres 2024 mengandung prinsip kesantunan karena mencerminkan bagaimana kandidat menghadapi lawan debat dan menyampaikan argumen-argumen politiknya secara efektif tanpa melanggar norma-norma kesopanan. Kandidat-kandidat diharapkan menggunakan bahasa yang santun dan menghormati lawan debat, tanpa menyinggung perasaan pendukung lawan atau masyarakat pada umumnya. Prinsip kesantunan akan tercermin dalam pilihan kata, intonasi, serta sikap tubuh kandidat-kandidat tersebut.

Kajian pragmatik menyoroti bahasa tubuh, intonasi, dan ekspresi wajah sebagai bagian penting dari komunikasi non-verbal yang dapat memengaruhi persepsi pemilih terhadap kandidat. Misalnya, seorang kandidat mungkin menggunakan bahasa tubuh yang kuat dan percaya diri untuk menunjukkan keberanian dan ketegasan, sementara kandidat lain mungkin menggunakan senyuman dan kontak mata yang intens untuk menciptakan kedekatan emosional dengan pemilih.

Dalam realitasnya, implementasi prinsip kesantunan dalam debat politik tidak selalu berjalan sesuai harapan. Terkadang, kandidat-kandidat cenderung menggunakan bahasa yang provokatif, menyerang, atau bahkan menyinggung lawan debat dengan tujuan untuk memenangkan simpati pendukung. Hal ini menimbulkan dampak negatif dalam konteks kajian pragmatik, karena melanggar prinsip kesantunan dan dapat menimbulkan ketegangan di antara para pendukung masing-masing kandidat.

Semua itu kembali kepada masyarakat. Masyarakat Indonesia berhak untuk menilai dan memilih sesuai apa yang ada dalam nurani mereka. Masyarakat jangan sampai terpancing dengan retorika indah yang disampaikan oleh para kandidat tanpa melihat bobot realita ucapan sesuai dengan tindakan.

Semoga bersamaan dengan hari Valentine 14 Februari, pesta demokrasi juga berjalan dengan penuh kasih sayang. Itulah yang didambakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.