Mahasiswa Masih Kritis atau Terkikis?

Berjudi
Bernardus T. Beding (foto: dok. pribadi)

Bernardus T. Beding

Dosen Prodi PBSI Unika Santu Paulus Ruteng

Ya, hanya dari generasi mudalah dapat timbul perbaikan funddamental. Tapi, apakah generasi muda kita yang sudah terlanjur manja, hedonis, konsumeristik, hanya cari karier, serta sudah diindoktrinasi selama puluhan tahun – agar takut berpikir sendiri, agar apolitis, mampu membuat perubahan mendasar? Jawabannya tak diragukan. Bisa dan mampu!”

Itulah pandangan Romo Y. B. Mangunwijaya yang diabadikan dalam buku Kata-kata Terakhir Romo Mangun yang diterbitkan oleh PT. Kompas Media Nusantara (2014). Romo Mangun mau menunjukkan optimisme dan keyakinannya terhadap kaum muda negeri ini. Rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis sosial, dan pembela wong cilik (rakyat kecil) memandang kaum muda sebagai generasi yang dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan oleh kaum tua. Namun, dalam optimismenya itu, terselip beberapa pertanyaan fundamental. Beliau mempertanyakan loyalitas generasi muda untuk berani berpikir dan berkata secara kritis, atas segala kebijakan yang merugikan masyarakat. Ia pun meyakini, pemuda mampu melakukan kewajibannya sebagai seorang pemuda. Kaum muda dalam benak beliau adalah orang-orang yang tidak manja, tidak hanya ada sebagai pemuda, melainkan meng-ada untuk masyarakat.

Konsep kaum muda sebanarnya terlalu luas untuk dipahami. Saya mengerucut pada kaum muda yang mendapat predikat sebagai “mahasiswa”. Alasannya sederhana saja. Semua pemuda belum tentu mahasiswa. Sebaliknya, semua mahasiswa belum tentu pemuda. Diksi ini dimaksudkan agar tidak muncul multi tafsir tentang pemuda itu sendiri. Saya berpikir bahwa diksi “mahasiswa” lebih tendensi kepada kaum muda yang memiliki kesempatan untuk mengecap ekosistem pendidikan di perguruan tinggi. Tentu, mahasiswa yang sesungguhnya adalah mereka yang mencari, mendapatkan, dan memiliki ilmu serta pengetahuan. Mahasiswa demikian, selanjutnya bermanfaat untuk membantu masyarakat. Ilmu digunakan untuk mengontrol sikap kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak kampus, pemerintah, dan agama. Kehadiran mahasiswa selalu menjadi pelopor perubahan zaman dan kehidupan masyarakat.

Sedikit pengetahuan dari banyaknya pandangan Romo Mangun tentang mahasiswa negeri ini, muncul pertanyaan dalam benak saya, bagaimana dengan mahasiswa sekarang? Apa esensi “mahasiswa” bagi setiap pemuda-pemudi yang menyandang predikat tersebut? Benarkan mahasiswa selalu identik dengan ruang kuliah dan bangku kelas? Apakah IPK merupakan subjek utama  dalam dinamika sebagai mahasiswa? Tugas mahasiswa hanya belajar? Ataukah, mahasiswa seharusnya berfungsi sebagai kontrol terhadap setiap kebijakan kampus, pemerintah, dan agama? Banyak pertanyaan yang memenuhi benak, tetapi saya tidak tuangkan semuanya. Setidaknya, beberapa pertanyaan tersebut dapat digunakan sebagai bentuk refleksi untuk mahasiswa dewasa ini.

Kembali pada Sejarah

Saya coba mengendus aksi mahasiswa di Indonesia berdasarkan perjalanan sejarahnya dalam empat periodik. Pertama, mahasiswa pada era pergerakan nasional merupakan para pemuda dan pemudi yang memiliki semangat berapi-api dalam menantang dan menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Mahasiswa Schook Tot Opleiding Van Inlandsche Arsten (STOVIA) memandang sikap kolaborator Soekarno sebagai sesuatu yang salah. Para mahasiswa STOVIA mengkritisi sikap Soekarno (terlepas dari sikap Soekarno yang ingin menyelamatkan lebih banyak nyawa masyarakat Indonesia) yang terkesan membiarkan masyarakat Indonesia menjadi pekerja paksa (romusha) demi kepentingan Jepang. Selanjutnya, para pemuda kembali menunjukkan tajinya. Peristiwa Rengasdengklok sebagai bukti sejarah, karena para pemuda memaksa Soekarno dan Hatta untuk secepatnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Kedua, mahasiswa masa Orde Lama. Indonesia memperoleh kemerdekaan bukan berarti bebas dari masalah. Malahan perlahan timbul masalah-masalah yang merugikan masyarakat kecil dan menguntungkan kaum berkuasa. Para mahasiswa melihat Soekarno sebagai sosok yang tidak lagi demokratis. Demokrasi terpimpin yang diterapkan Soekarno bukanlah sebuah demokrasi, demikian yang dikatakan Soe Hoe Gie, seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah (1962–1969) dan aktivis keturunan Tionghoa-Indonesia yang menentang kediktatoran berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto.

Tahun 1960-an, para mahasiswa melakukan berbagai aksi menuntut Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan. Bahkan, secara intens mahasiswa yang terhimpun dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) meneriakkan agar Soekarno harus turun dari tampuk kekuasaannya. Soekarno dipandang sebagai sosok pemimpin yang tidak lagi merakyat. Gie menggambarkan kemiskinan masyarakat saat itu dan menyindir sikap Soekarno dengan pernyataan, “Dia bersenang-senang dengan para wanita, sedangkan seratus meter di depannya, rakyatnya memungut makanan dari tempat sampah untuk dimakan”. Walaupun kita akui, mahasiswa pada saat itu ditunggangi oleh kepentingan politik. Akan tetapi, perlu kita lihat sikap kritis dan berani sebagai seorang mahasiswa.

Ketiga, mahasiswa masa Orde Baru. Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) tahun 1974 menggambarkan sikap penolakan mahasiswa terhadap investor asal Jepang. Mereka kembali turun ke jalan dan melakukan berbagai aksi penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Akibatnya, pemerintah Orde Baru yang otoriter mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak mahasiswa. Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru, telah mencedrai demokrasi di Indonesia. Pemerintah Orde Baru yang sarat KKN dan memerintah secara otoriter membuat mahasiswa geram.

Keempat, mahasiswa masa transisi. Peristiwa 1998 merupakan akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang telah dirasakan oleh masyarakat Indonesia selama kurang lebih 32 tahun. Krisis yang melanda negeri ini dan diperparah dengan sistem pemerintahan tirani, menjadi salah satu faktor meletusnya peristiwa bersejarah itu. Mahasiswa memiliki peran besar dalam menggulingkan pemerintahan tirani. Mahasiswa pada ketiga periode sebelumnya dan periode ini tidak hanya berkuliah dan menjadikan IPK sebagai “Tuhannya”. Ada kepercayaan dalam diri bahwa mereka adalah rakyat. Jadi, sudah seharusnya mereka berdiri dan bersuara untuk segala kebijakan yang merugikan rakyat.

Akan menjadi sebuah kenaifan, jika kita sebagai pemuda dewasa ini hanya memuji-muji idealisme mahasiswa-mahasiswa masa silam. Itu adalah masa mereka. Mereka telah berbuat sesuatu untuk masanya. Mereka telah melakukan tugasnya sebagai mahasiswa.

Mahasiswa sekarang?

Pertanyaan Romo Mangun di atas telah terjawab lewat sikap sebagaian besar mahasiswa negeri ini. Mahasiswa sekarang membuat saya menjadi miris. Tidak sedikit di anatra sekian banyak mahasiswa era sekarang seperti rombongan bebek yang patut dan tidak berani melawan terhadap tuannya karena takut IPK turun atau tidak lulus semester. IPK bagi mahasiswa dewasa ini adalah “Tuhannya” dalam bidang akademik. Mahasiswa sebagai pemikir yang kritis, justru menjadi mahasiswa yang krisis berpikir. Mereka dalam suasana krisis literasi dan kepekaan sosial. Sikap anti terhadap literasi membuat mahasiswa sekarang menjadi sosok yang “pendiam” yang bisa menggambarkan “kematian” identitas; atau boleh meminjam kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “Diam merupakan wujud lain dari kematian itu sendiri.”

Mahasiswa sekarang terlalu senang dengan dunianya sehingga dia melupakan esensi awal sebagai seorang mahasiswa. Mungkin mereka (mahasiswa) telah lupa bahwa eksistensi mereka sebagai seorang mahasiswa ada berkat masyarakat. Sikap mahasiswa zaman sekarang mengingatkan saya pada pesan setiap orang tua pada anaknya waktu kecil, “harus rajin belajar”.

Tentu, saya tidak menyalakan orang tua. Permasalahannya pada pola pikir mashasiswa yang menerima pesan tersebut secara lurus dan terbawah sejak kecil hingga kuliah. Artinya, mahasiswa berpedoman pada pesan orang tuanya “jangan lupa belajar” merupakan tujuan mereka selama berkuliah. Benar bahwa belajar merupakan hal yang sangat penting. Namun, menjadi cukup naif jika mahasiswa hanya belajar dan melupakan tugasnya sebagai kaum yang katanya memiliki intelektual dan sikap kritis terhadap persoalan sosial.

Ilmu pengetahuan bukan hanya dalam ruang kuliah, melainkan juga dalam lingkungan masyarakat yang menyimpan ilmu pengetahuan tanpa ajaran formalitas dalam dinamika ruang kelas. Pernyataan tersebut akan objektif, jika para mahasiswa memandang sebuah dinamika pencarian ilmu sebagai upaya untuk memperbaiki kehidupan manusia Indonesia. Namun, akan menjadi sebuah subjektivitas, ketika mahasiswa melihat ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk memperoleh nilai-nilai formalis dalam secarik kertas.

Kembali pada Diri

Mahasiswa zaman sekarang patut berefleksi diri, apakah saya pantas mendapat predikat mahasiswa? Apakah saya pantas mendapat sandangan sebagai pemuda kritis”? Mahasiswa yang belajar hanya ketika akan menempuh ujian merupakan pribadi yang munafik. Dia adalah individu yang “melajurkan” diksi mahasiswa. Mahasiswa yang hanya sibuk dengan dunianya dan menutup mata atas segala persoalan di sekitar merupakan mahasiswa yang keblinger. Mahasiswa yang hidup dalam rutinitas kampus kos (rumah/kamar)-kampus kos (rumah/kamar), tidak ada bedanya dengan robot yang terkendali oleh orang lain.

Saya jadi ingat kata-kata Soesilo Toer, “Bukan di mana Anda berkuliah, tapi bagaimana Anda belajar”. Mahasiswa yang telah belajar dan memiliki pengetahuan sebagai seorang mahasiswa, sudah selayaknya menempatkan diri sebagai mahasiswa. Mahasiswa yang selalu resah melihat sesuatu yang salah, akan bertindak untuk mengatasi kesalahan tersebut.

Baik kalau di hari bahagia kamu muda ini, mahasiswa sadar memadahkan sumpahnya bersama Afnan Malay:

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah,

Bertanah air satu, tanah air tanpah penjahat.

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah,

Berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan.

Kami mahasiswa Indonesia bersumpah,

Berbahasa satu, bahassa tanpa kebohongan.