Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Takdir Bukan Mereka

Oleh: Wandro Julio Haman

Aku mematung di hadapannya. Menatap dia yang mengibas-ngibaskan rambutnya, lalu melirik ke arahku sembari menyajikan senyum. Senyum yang sedari dulu tak pernah berubah. Tetap saja manis. Tetap saja mampu membuat nadiku berhenti berirama. Berselang sepersekian detik, ia merangkul pinggangku dari belakang.

Aku terkejut. Masih tidak percaya jika lengan yang dulu akrab melingkariku kini kembali hadir dengan kehangatan yang sama. Tapi dengan perasaan yang sedikit berbeda. Entah kenapa aku merasakan ada hal yang tidak sebagaimana mestinya. Bahkan aku sempat merasa canggung.

“Ayo jalan,” ia membuyarkan lamunanku.

“Kemana?”

“Terserah. Yang penting jalan-jalan. Terserah kamu mau bawa aku kemana.”

“Baiklah. Pegang yang erat.” Lantas ia semakin mengeratkan pelukannya sambil menopangkan dagunya di pundakku.

Kami melesat di antara keramaian kota, di bawah langit petang yang tengah menyiapkan kanvas untuk melukis senja, menikmati angin sore yang sibuk membelai seisi kota. Aku meliriknya lewat kaca spion. Dia tersenyum dan menikmati perjalanan petang itu. Setelah itu aku giat mengagumi parasnya yang semakin cantik. Tenggelam dalam lesung pipinya yang semakin ranum.

Hari semakin gelap. Kami masih saja setia menyusuri jalanan kota yang semakin ceria dengan lampu-lampu jalan. Udara yang semakin dingin memaksanya untuk semakin mengeratkan pelukan. Malam itu kami menghabiskan waktu berdua selama berjam-jam. Menikmati kopi sambil memandang senyum yang kian menguatkan kecintaanku pada kopi dan juga dia tentu saja.

Ia terlihat sangat menikmati obrolan itu. Menceritakan banyak hal tentang minggu-minggu pertamanya di kota, juga flashback tentang kenangan yang pernah dirangkai bersama. Suasananya sedikit canggung. Tidak seakrab seperti biasanya. Maklum, ini adalah sua pertama selepas sekian musim tidak saling bertegur sapa.

Cahaya lilin yang remang-remang menemani obrolan kami malam itu. Memadu kisah, kesah dan kasih di bawah langit yang sedang tersenyum memamerkan bintang-bintangnya. Hening.

“Selama ini kamu kemana?” suaranya memecah kesunyian.

“Tidak kemana-mana,” jawabku sekenanya.

“Kenapa sama sekali tidak pernah memberi kabar?” tanyanya lirih.

Mampus! Padahal dari tadi aku sebisa mungkin menghindari pertanyaan tersebut. Aku sengaja mengalihkan pembicaraan ketika suasana sedang hening. Tapi akhirnya pertanyaan itu keluar juga. Aku bingung harus jawab apa. Sibuk? Mungkin. Tapi apakah dia percaya? Bisa jadi. Tapi belum tentu juga. Lantas harus jawab apa? Aku membatin.

“Hei,” dia menepuk lenganku sambil mendekatkan wajahnya ke hadapanku. Tatapannya sungguh mengalihkan duniaku. Aku hanya tersenyum.

“Maaf, akhir-akhir ini aku sibuk,”aku menjawabnya terpaksa dan berharap dia percaya.

“Kan sibuknya baru akhir-akhir ini. Sebelum itu kemana?” sepertinya dia membutuhkan jawaban yang membuatnya benar-benar percaya.

Tiba-tiba handphone-ku berdering. Dalam hati aku berkata, syukurlah, akhirnya pembicaraan ini teralihkan. Ditambah lagi ketika dia memintaku untuk segera mengangkat telfon itu. Barangkali penting, imbuhnya lagi. Aku merasa menang kali ini. Aku segera merogoh handphone dari kantong celana.

Aku terbelalak. Shenia, meneleponku. Gadis yang mengalihkan perhatianku selama ini, hingga aku lupa memberi kabar.

Matahari tengah dengan garangnya menyerang. Di bibir sebuah telaga kami bercengkerama melepas lelah. Sementara di bibirnya selalu tersimpul senyum yang cukup mampu untuk menghilangkan dahaga.

Aku menatap ceruk matanya yang selalu menyimpan pelangi. Kemudian saling melempar senyum. Aktivitas hari ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Itulah kenapa Shenia mengajakku ke tempat ini. Tempatnya sejuk dan sangat nyaman. Apalagi jika dipadukan dengan wajah yang selalu membuat hari-harimu lebih berwarna. Semakin menyenangkan bukan? Lantas kami berbagi cerita seputar aktivitas kami masing-masing. Termasuk soal Shenia yang lebih suka menyendiri akhir-akhir ini.

Shenia gadis yang baik. Iya sangat perhatian, ramah dan selalu ceria. Tapi beberapa hari terakhir ia lebih suka menyendiri. Dia belum pernah bercerita mengenai hal tersebut. Aku juga tak pernah berani bertanya. Menunggu sampai dia sendiri ingin bercerita. Tiba-tiba ia menjatuhkan kepalanya di bahuku. Ia tak lagi kuasa membendung air matanya. Ia menangis.

“Are you ok?”

Yes I am,” jawabnya singkat. Aku semakin penasaran. Ada apa dengan gadis ini? Tak seperti biasanya. Baru kali ini aku melihatnya murung, sedih. Apalagi sampai menangis. Aku memintanya untuk menceritakan apa yang dia rasakan. Barangkali aku bisa memberikan solusi. Tapi dia lebih memilih diam. Dia malah memintaku untuk datang ke rumahnya nanti sore. Aku semakin dibuatnya linglung. Aku memilih untuk menyanggupinya. Aku menenangkannya sambil mengeringkan anak sungai yang terbit di balik pipi-pipinya yang memerah itu dengan jari-jariku. Ia menoleh sambil menyibak rambutnya yang tergerai di wajah ayu itu. Lalu kami bertukar senyum.

Sore ini aku menepati janji dengan Shenia. Sepertinya ia sangat membutuhkan seorang pendengar yang mau menampung gundah dan kesahnya kali ini. Tapi kenapa harus ke rumah? Kan bisa di tempat lain. Apalagi aku belum pernah berkenalan dengan orangtuanya. Aku siapanya Shenia? Ah, sudahlah. Yang penting dia merasa bahwa aku pantas untuk dia jadikan teman curhat.

Aku bergegas ke rumah Shenia saat cahaya senja kian temaram. Tenggelam di balik lanskap yang menyembunyikan cahaya jingga, sambil terus memikirkan Shenia yang cenderung menjadi pemurung selama beberapa hari terakhir. Sejatinya aku telah mengenalnya lebih dalam. Dia seorang pribadi yang baik dan dewasa dalam menyikapi segala hal. Tapi tidak untuk kali ini. Bahkan jauh dari pribadi seorang Shenia yang aku kenal bertahun-tahun. Jelas bahwa ia sedang merasakan kecewa yang teramat hebat. Sampai-sampai ia tak kuasa menitikkan air matanya.

Malam semakin dingin. Kami menyalakan api kecil di depan rumah. Sekadar menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk. Segelas teh hangat dan secangkir kopi kasih sayang menemani obrolan kami malam itu. Shenia dengan nada sendu mencurahkan semua hal yang membuatnya sedih. Aku sempat tidak percaya. Bukankah mereka sudah merencanakan pertunangan mereka? Kalau tidak salah, dua minggu lagi. Ia pernah memberitahuku tentang rencana pertunangan itu.

Entah kenapa tiba-tiba dibatalkan. Shenia sendiri tidak mengetahui alasannya secara pasti. Padahal persiapan acaranya sudah sangat matang. Tapi yang pasti, tunangannya tiba-tiba hilang tanpa kabar berita. Tak kelihatan batang hidungnya lagi. Shenia sempat percaya dengan orang yang mengatakan bahwa biasanya orang yang akan menikah itu pasti selalu ada saja tantangan. Tapi itu tidak semuanya benar. Shenia merasakannya saat ini. Sang kekasih benar-benar meninggalkannya. Bahkan sudah berbulan-bulan.

Ia kembali mencucurkan air mata. Aku memahami betapa kecewa ia saat ini. Betapa terlukanya ia karena tungannya hilang entah kemana. Ditinggal pergi saat ia sedang bahagia karena hendak melangsungkan acara lamarannya. Tapi itu semua hilang dalam sekejap. Sirna dengan sendirinya. Lenyap. Apalagi yang ia harapkan dari kekasihnya itu? Masihkah ia mau menunggu hingga kekasihnya pulang? Atau harus mencari keberadaannya saat ini? Perasaannya campur aduk. Hatinya berantakan. Hancur berkeping-keping.

“Sudahlah, Tuhan selalu punya cara untuk mempertemukan kita dengan jodoh kita. Jika berjodoh, dia pasti akan kembali datang menemuimu. Begitu pula sebaliknya,” aku mecoba menenangkan Shenia.

“Aku juga memikirkan hal yang sama,” pungkasnya lirih.

“Pria yang tepat untuk wanita yang tepat,” aku menambahkan sambil meliriknya dengan senyum.

Thank you, yah,”ucapnya sambil memelukku erat. Dadaku berdegup kencang. Bukan apa-apa. Takut kalau tiba-tiba ayahnya keluar dan melihat kami sedang berpelukan. Bisa-bisa aku dicincang malam ini.

Aku mencari dia ke tempat tinggalnya. Tapi tetap saja tidak ada. Nomornya juga tidak aktif. Aku telah mencarinya kesana kemari, ke setiap tempat di mana dia biasa berkumpul dengan teman-temannya. Nihil.

Kemudian aku menghubungi kakaknya. Menanyakan apakah dia mengabari mereka atau tidak. Aku memberi tahu mereka kalau sekarang nomornya sudah tidak bisa dihubungi. Akhir-akhir ini dia sering keluar. Entah dengan siapa, aku juga kurang tahu. Teman-temannya juga mengatakan hal yang sama. Aku juga bingung harus mencarinya kemana lagi.

Hujan menitipkan rintiknya di ujung senja. Memaksa beberapa orang yang terlihat wara-wiri mencari tempat berteduh. Aku dan Shenia sudah sedari tadi menepi di sebuah kedai kopi. Jauh sebelum gerimis berkunjung. Jalanan sepi, tak seramai biasanya. Di sampingku, Shenia asyik dengan ponselnya. Menonton kartun kesukaannya yang meskipun sudah ia tonton berulang-ulang. Tapi ia tetap saja bahagia. Sekali-kali senyum khasnya itu terbit dari balik kedua lengkung bibirnya. Dia telah melupakan kekasihnya yang gagal melamarnya itu. Aku juga turut senang karena bisa mengalihkan perasaannya dari tunangannya itu.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor menepi tepat di depan aku dan Shenia. Sepasang kawula muda turun bergantian. Mengambil tempat duduk tepat di hadapan kami. Aku memerhatikan mereka satu persatu. Sementara Shenia yang kedinginan sibuk menggandeng lengan kiriku. Sepertinya aku mengenal salah satu dari mereka. Suaranya sudah tak asing lagi bagiku. Tapi siapa? Aku mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Aku terperangah. Aku tak mau Shenia tahu siapa orang di hadapan kami itu.

Dia kekasih Shenia yang gagal tunangan itu. Orang yang membuat Shenia menjadi pemurung akhir-akhir ini. Ia membawa seorang wanita yang tak kukenal. Ia mengenakan masker dan menutupi kepalanya dengan jaket. Potongannya seperti dia yang selama ini kucari. Atau diakah itu? Bisa saja. Mungkin juga tidak. Aku semakin penasaran. Tiba-tiba dia melepas maskernya. Aku semakin terperangah. Dan ternyata benar. Jadi selama ini dia sering keluar dengan mantan tunangan Shenia. 

Aku langsung mengajak Shenia pergi sesegera mungkin, meski gerimis belum juga reda. Untungnya dia tidak menolak. Kami langsung bergegas dari tempat itu. Kami kembali menyusuri jalanan kota dengan penuh hati-hati. Karena hujan menjadikan jalanan licin. Shenia memelukku erat. Kenyamanan yang tiada tara kurasakan, hingga membuatku tersenyum sendiri.

Sepanjang perjalanan aku bergumul. Apakah aku menyukai Shenia, gadis yang sedang bersamaku ini? Ah, entahlah. Tapi dia baik. Perhatiannya juga melebihi siapapun. Aku menatapnya sambil tersenyum. Ia tersipu. Memalingkan wajahnya sambil mengencangkan peluknya. Senja itu kami tenggelam dalam balutan gerimis yang tak hentinya berderai, juga hati yang memaksa jujur dan angan yang terus berandai-andai.

Malam semakin larut. Aku dan Shenia masih saja asyik berbagi tawa di sepanjang perjalanan. Bercengkerama di bawah purnama yang tersipu di balik awan. Seakan lupa dengan dia yang selama ini aku cari. Toh, mungkin dia sudah berbahagia dengan pria yang lain. Sekarang, yang paling penting adalah mengalihkan perasaan Shenia dari mantan tunangannya itu.

Sebab tidaklah baik jika terlalu lama patah hati. Bukankah demikian? Biarkan ia pergi sesukanya. Karena Tuhan pasti telah menyiapkan yang lebih baik. Aku semakin percaya dengan perkataanku. Setiap orang pasti diperuntukkan dengan orang yang tepat. Itu saja.

Penulis: Wandro Julio Haman | mahasiswa Sastra Inggris pada Universitas Wijaya Putra Surabaya. Penulis berasal dari Golo Ngawan, Manggarai Timur. Seorang penikmat sastra yang aktif menullis puisi dan cerpen di beberapa media online.Editor: Os