Puisi-puisi Sindy Janggu

Ilustrasi: Tribun Trevel

Di Ketik Satu-satu

Di ketik satu-satu
Pada kata di dalam perumpamaan yang menasihati langkah
Pada sepinya tuturan dalam perjalanan membelenggu hasrat
Pada perasaan yang dituangkan dalam imajinasi semata.

Di ketik Satu-satu
Pada cerita yang sederhana di dalam manisnya puisi itu

Mencari Nyaman

Aku mencari nyaman, dan aku menemukannya di dalam kamu.
Kita bercerita, menuju canda dan tawa sambil mengulas lagi satu tahun yang redup dari suara dunia, mengalun lepas mengisi waktu.

Semua insan belum mengetahui caraku mencari dengan apa yang ada padaku.
Aku mencoba cari ke tempat lain, namun tetap kutemukan di dalam kamu secara virtual.
Aku tertawa, pun kau mengikutiku.
Kita tertawa, sebab virtual yang aku bilang.
Hmm, terima kasih kepada virtual yang kita sebut, sebab dengannya masih ada pengharapan kita bersatu.

Jarak bertambah lagi, katamu. Jumpa pun makin macet. Kita sama-sama tahu, masih ada yang menghalangi kita. Sebut saja namanya pandemi.
Ah terlalu sadis, tangan tak kunjung digenggam, tangan hanya menaungi mulut dan hidung diselimuti kesendirian.

Aku mencari nyaman, dan kutemukan di dalam kamu yang tak lepas dari caramu merayuku. Jarak yang ada bertambah lagi karena pandemi ini. Kutemukan seribu doa dari bibir yang sendu, menangis memohon ampun. Aku tak lepas dari semuanya, kenangan bersalaman menggema dalam kepalaku.

Di mana harus kucari nyaman, jika virtual juga tak ada, rumah yang tepat untuk aku datang. Benar saja, Sang Khalik masih memberikan senyum-Nya dengan mendatangi virtual, di balik prasangka tangan-tangan corona.

Dunia tak lagi seperti dulu, semua saling benci karena prasangka yang tak jelas. Perihal mencari nyaman semakin tua, membuncah dari hati yang menyimpan banyak kenangan.

Di senja hari, kita tertawa dalam virtual. Bagaimana kabarmu? Tanyamu. Kita saling cerita tentang hari dan tangan-tangan lugu yang bersedekah pada kerinduan.

Sudah kau temukan nyamanmu? Tanyamu lagi. Tak perlu dijawab, bukankah sudah kukatakan mencari ke mana pun tetap, kutemukan dalam kamu secara virtual. Kita tertawa, ya masih tentang virtual, sampai subuh datang menjemput.

Kenyataan yang Semu

Ketika membuka mata, aku merasa bahagia karena bisa berjumpa dengannya. Alhasil pikiran kian terbangun baru aku menyadari, bahwa yang aku jumpai adalah kenyataan yang semu.

Dia tak ada lagi di dunia; raganya sudah menghilang dari rumah. Aku ingat pelukan itu, ingat pada senyuman yang dia berikan padaku beberapa waktu lalu, aku mengingatnya dan sampai saat ini masih merasakan sisa-sisa kehangatan itu.

Aku kembali ke pelukannya, walau saat itu merupakan kenyataan yang semu. Benar bahwa mimpi tak hanya sebuah bunga tidur, tetapi juga alam bawa sadar yang tahu dan mengerti tentang kesepian yang ada.

Penulis: Frederika Sindiana Janggu | Mahasiswa PBSI Unika Santu Paulus RutengEditor: Waldus Budiman