Perempuan Manggarai dalam Dinamika Pembangunan Nuca Lale

Oleh: Bernardus Tube Beding

Pegiat Literasi dan Dosen PBSI UniversitasKatolik Indonesia Santu Paulus Ruteng

(Sisipan buat Tim Penggerak PKK Kabupaten Manggarai)

Suatu kebenaran sejarah bahwa sejak dahulu perempuan banyak berperan, bahkan sampai tingkat paling tinggi. Katakanlah wanita yang dianggap sebagai makhluk lemah itu, bukan main hebatnya. Mereka mampu berbuat hal besar dengan cinta yang besar pula dan tercatat selama dalam sejarah.

Ingatkah kita akan peranan Ratu Cleopatra, Ratu Eleonora, dan Ratu Viktoria? Mereka mampu membuat sejarah, bahkan mampu menoreh sejarah suatu kerajaan atau suatu kekaisaran.

Ada pepatah terkenal dalam sejarah mengatakan, “It was the woman’s smile that smashed the Roman Empire” (adalah senyum wanita yang menghancurkan kekaisaran Romawi). Zaman modern ini muncul banyak tokoh wanita yang namanya mendunia seperti Indra Gandhi, Golda Meir, Margaretha Thatcher yang berani merebut Malvinas, dan Corazon Aquino yang mampu mengusir diktator Marcos ke luar kampung halamannya sendiri.

Di Indonesia, di masyarakat mana saja, pada dasarnya secara tradisi  dalam masyarakat agraris, perempuan dianggap sakti sebagai dewi kesuburan, dewi yang memberikan kelangsungan hidup (Sarina karangan Ir. Soekarno). Di Jawa, Dewi Sri adalah Dewi Padi, Nyai Roro Kidul – ratu penguaa laut selatan yang begitu dihormati sampai disediakan kamar khusus di hotel-hotel besar yang dibangun di tepi laut.

Baca Juga: Bupati Nabit Nyatakan Selalu Terbuka Terhadap Kritikan

Di Flores Timur ada Tonu Wujo, yaitu semacam dewi padi yang dihormati demi keberhasilan panenan. Mungkin ada pula yang lain di masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), yang pada dasarnya mempunyai fungsi serupa.

Sisi lain, Indonesia memperlihatkan betapa bangsa ini memberi tempat terhormat kepada kaum perempuan. Banyak istilah dan/atau kata penting bahasa Indonesia dimulai dengan “ibu” (bukan bapak). Misalnya, ibu kota, ibu negeri, ibu pertiwi, bahasa ibu, bahkan adalah hari ibu dan hari perempuan; dharma wanita, dan lain sebagainya; tetapi juga ada wanita tuna susila (tidak ada pria tuna susila). Lebih dari itu, bangsa Indonesia menyadari pentingnya peranan perempuan, sehingga  mengangkat seorang menteri yang khusus mengatur hal peningkatan partisipasi perempuan dari keterbelakangan dan kebodohan.

Keadaan Kaum Perempuan Manggarai

Kegiatan seminar bertajuk “Peran perempuan Manggarai di Era Digital dan Pandemi Covid-19” dalam rangka merayakan International Woman’s Day yang diprakarsai atas kerja sama PKK Kabupaten Manggarai dan Unika Santu Paulus Ruteng merupakan suatu ‘gerakan pembangunan’ bagi tanah Nuca Lale. Saya memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada Tim Penggerak PKK Kabupaten Manggarai atas ‘gebrakan awal’ kepemimpinan. Sesungguhnya, kegiatan seminar untuk menyoroti peran wanita dalam gerakan pembangunan adalah tepat, karena (1) kita tahu bahwa jumlah manusia perempuan Manggarai lebih banyak daripada jumlah manusia laki-laki, (2) salah satu tujuan pembangunan nasional yang direalisasikan ke daerah-daerah, termasuk daerah Manggarai adalah meningkatkan sumber daya manusia perempuan.

Artinya, kaum perempuan mendapat tempat yang layak dalam rencana pembangunan daerah Manggarai. Berbagai cara dan upaya diadakan untuk meningkatkan peranan perempuan dalam mensukseskan pembangunan daerah. Mudah-mudahan dalam tahun-tahun kepemimpinan ini, Tim PKK Kabupaten Manggarai memanfaatkan perannya  semaksimal mungkin dalam perjuangan memajukan kaum perempuan sendiri, sekaligus mendukung pemerintah daerah dalam proses pembangunan.

Jumlah penduduk Kabupaten Manggarai berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2010-2020 (manggaraikab.bps.go.id) sebanyak 324.014 (2020) jiwa yang terdiri atas 165.636 perempuan dan 158.378 laki-laki. Jumlah perempuan yang lebih banyak ini, jikalau tidak diikutsertakan dalam pembangunan daerah maka akan timbul kemiskinan struktural yang kronis. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang timbul karena tidak adanya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Hemat saya, ketiadaan kesempatan kaum perempuan Manggarai untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan daerah, sekaligus menjadi tantangan peran Tim Penggerak PKK Kabupaten Manggarai disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tingkat pendidikan atau keahlian. Pandangan masyarakat umum yang berakar pada adat istiadat dan tradisi terhadap pendidikan kaum perempuan masih negatif. Kesempatan pendidikan masih dipriopritaskan bagi kaum laki-laki. Bahkan muncul pendangan, “Perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Kalau sekolah tinggi, toh kembali ke dapur juga” atau “Biar anak laki-laki saja yang sekolah, perempuan kan nanti ikut suami” merupakan hal-hal klasik. Apabila pandangan tersebut tidak berubah, maka perempuan Manggarai tetap berada di belakang. Kurangnya pendidikan dan latihan, perempuan diremehkan dan statusnya direndahkan. Apabila masyarakat tradisional digantikan sistem perekonomian uang, mereka kehilangan pekerjaan-pekerjaan tradisionalnya. Mekanisme dan otomatisasi menghambat kaum perempuan jika kurang pendidikan dan latihan.

Kedua, derajat kesehatan. Kebanyakan kaum perempuan Manggarai di pedesaan yang masih terikat dengan adat istiadat dan tradisi bekerja keras, menyediakan makanan terbaik untuk suami (laki-laki), bukan untuk dirinya sendiri. Perempuan boleh makan sesudah suami (laki-laki) makan. Ditambah pulah dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi (misalnya, untuk ibu hamil) maka kesehatan perempuan memang menyedihkan dan patut dipertanyakan. Program Keluarga Berencana (KB) pun dapat terlihat ketidakadilan.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan adanya hasrat di pihak kaum perempuan untuk membatasi jumlah anggota keluarga mereka, sedangkan suami-suami mereka menentangnya. Hal ini kadang-kadang disebabkan karena suami mereka lebih menekankan kapasitas ekonomi daripada jumlah anak yang banyak; sedangkan perempuan lebih memperhatikan beban membesarkan dan mendidik anak.

Hal seperti itu merupakan perwujudan dari sikap-sikap tradisional terhadap konsep kebudayaan, yang tidak dengan sendirinya turut berlaku bagi kaum ibu. Selama kaum perempuan masih bertanggung jawab dalam pemeliharaan anak, mereka harus punya lebih banyak hak dalam menentukan jumlah anak.

Ketiga, lapangan kerja. Di mana-mana kaum perempuan berpartisipasi dalam pembangunan, tetapi mereka bukan partisipan yang sederajat karena sering status mereka tidak memungkinkannya mendapat akses yang adil pada pendidikan, latihan, dan pekerjaan. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin berakar jauh dalam sejarah dan mencerminkananeka ragam kebudayaan. Umumnya, dalam kehidupan keluarga dan masyarakat di Manggarai dikenal adanya penggolongan jenis pekerjaan berupa (a) pekerjaan di dalam dan di luar rumah, (b) pekerjaan berat atau kasar dan pekerjaan ringan atau halus. Pekerjaan dalam rumah dan ringan atau halus menjadi tugas dan tanggung jawab kaum perempuan, sedangkan pekerjaan di luar rumah dan pekerjaan berat atau kasar menjadi tugas dan tanggung jawab kaum lelaki.

Di samping pembagian (penggolongan) pekerjaan tersebut, ada jenis pekerjaan tertentu menjadi tugas dan tanggung jawab bersama antara kaum lelaki dan kaum perempuan, seperti berkebun, berladang, bersawah, berdagang, dan sejenisnya. Dengan tradisi ini, maka status dan kewajiban kaum perempuan Manggarai adalah sama. Masalahnya adalah sejauh apa hasil pekerjaan perempuan Manggarai memberi nilai tambah pada kehidupan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat.

Tradisi dan Budaya

Tradisi dan adat istiada sering menghambat kaum perempuan dalam berperan aktif, seperti dalam hal pengambilan keputusan. Umumnya, kaum perempuan Manggarai kurang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan, terutama mengenai masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Perempuan dianggap kaum yang berada di garis belakang sejak awal sejarah, perempuan adalah makhluk pencipta budaya sehingga tanpa peran perempuan, kelanjutan budaya suatu masyarakat akan terancam punah. Karena itu, proses pembudayaan selalu dimulai dari “mother knee school”.

Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia, termasuk perempuan Manggarai. Masyarakat yang masih terikat tradisi menganggap kaum perempuan sebagai kaum kelas dua (ingat: Bapak/Ibu, Tuan/Nyonya, Saudara/Saudari, dan sebagainya). Namun, tidak pernah dibuktikan bahwa kualitas (baca: intelegensia) perempuan juga nomor dua.

Jumlah perempuan yang sama, bahkan lebih banyak dari laki-laki merupakan modal sumber daya manusia yang sangat potensial, sehingga tanpa usaha untuk mengikutsertakan kaum perempuan secara aktif, jelas merupakan suatu kekeliruan yang besar. Setiap kebijakan, rencana, dan program pembangunan daerah punya pengaruh atas kaum perempuan, dan tidak akan dapat berhasil tanpa partisipasi kaum perempuan. Pembangunan yang membawakan keadilan sangat menghendaki adanya upaya-upaya yang memungkinkan kaum perempuan memperoleh kesempatan peningkatan diri dan pekerjaan-pekerjaan lebih baik.

Peranan Tim PKK Manggarai

Kendati terdapat kandala-kandala tersebut, harus kita akui bahwa perempuan Manggarai sudah banyak berperan dan sudah banyak berprestasi, khususnya di bidang pendidikan. Tidak sedikit kaum perempuan Manggarai yang melanjutkan dan menamatkan pendidikan tinggi. Menghapus pandangan tradisional membutuhkan waktu yang tidak singkat serta usaha dan kehendak baja.

Sekarang ini, perempuan yang bertugas di luar rumah, dan berada sejajar dengan laki-laki sudah menjadi hal biasa bagi sebagian besar masyarakat Manggarai. Ada perempuan yang berpartisipasi dalam politik, memimpin proyek, menjadi pengusaha, peneliti, dan masih banyak lagi. Masih diharapkan akan ada perempuan Manggarai di laut dan di udara.

Untuk mengikis dan menepis pandangan tradisional yang menghambat gerak maju perempuan Manggarai ini perlu peran yang dimainkan oleh Tim PKK. Kalau ada pemula, pasti ada penyusul. Oleh karena itu, tugas meminimalisir berbagai hambatan, bahkan berusaha menghilangkan pandangan klasik di masyarakat Manggarai merupakan tantangan Tim Penggerak PKK yang kini memangku jabatan penting dalam pemerintahan daerah.

Masih banyak perempuan Manggarai yang pekerjaannya hanya melahirkan dan menimang anak, mencari kayu bakar di hutan, mencari air bersih berkilometer jauhnya, dan apalagi yang masih buta aksara? Adalah tugas Tugas Tim PKK Manggarai yang melalui bidang tugas masing-masing menarik mereka dari keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Hendaklah mereka disadarkan bahwa mereka bukan hanya objek pembangunan, tetapi juga subjek yang ikut membangun tanah Nuca Lale ini. Perempuan harus mampu menolong dirinya sendiri untuk tidak ditinggalkan lebih jauh.

Dengan demikian, kaum laki-laki tidak dapat hidup sendiri. Mereka membutuhkan penolong yang tepat sebagai penyangga dalam hidupnya. Demikian pula dalam membangun di daerah Manggarai. Bupati dan Wakil Bupati tidak dapat berhasil dalam membangun daerah dan masyarakat manggarai tanpa partisipasi Tim Penggerak PKK. Artinya, dalam membangun tanah Nuca Lale, pemerintah daerah bersama Tim Penggerak PKK berjuang dalam konsep kesamaan yang komplementer, bukan kesamaan paralel atau linear.***

Desa Haju